Chereads / Kumpulan Cerita Horror / Chapter 4 - Rumah di Ujung Jalan #4

Chapter 4 - Rumah di Ujung Jalan #4

Bab 4: Pantulan yang Terkutuk

Jeritan Tia menggema, mengguncang seluruh ruangan penuh cermin. Namun, suara itu tidak menghentikan bayangan-bayangan yang perlahan mendekat. Sosok menyeramkan yang menyerupai dirinya sendiri berdiri di depan, senyumnya menyeringai dengan sudut bibir yang terlalu lebar untuk menjadi manusia.

Farah berjongkok, tubuhnya gemetar tanpa henti. "Apa yang mereka inginkan dari kita? Kenapa… kenapa kita dibawa ke tempat ini?"

Reza, yang berdiri paling dekat dengan Farah, mencoba menariknya berdiri. "Kita harus tetap bergerak! Kalau kita diam di sini, mereka akan menangkap kita!"

"Tapi ke mana?" tanya Tia putus asa. Ia menoleh ke sekeliling, mencari celah di antara pantulan-pantulan yang semakin menyesakkan. "Ruangan ini nggak ada jalan keluarnya!"

Sosok-sosok di cermin tidak hanya meniru mereka lagi—mereka bergerak bebas, perlahan keluar dari permukaan cermin. Tubuh mereka tampak seperti bayangan gelap yang hampir cair, namun mata mereka bersinar merah seperti bara api.

"Coba pecahkan salah satu cermin!" seru Tia, ide itu tiba-tiba muncul di benaknya.

Reza mengangguk cepat. Ia meraih kursi tua yang berada di sudut ruangan dan melemparkannya ke salah satu cermin besar. Suara kaca pecah menggema keras, tapi tidak ada yang terjadi.

"Tidak berguna!" Reza berteriak frustrasi.

Namun, Tia memperhatikan sesuatu. Ketika salah satu cermin pecah, salah satu bayangan yang keluar dari cermin itu berhenti bergerak. Tubuhnya yang menyeramkan membeku, sebelum hancur menjadi debu yang lenyap di udara.

"Itu berhasil!" teriak Tia. "Kalau kita pecahkan semua cermin, mungkin kita bisa menghentikan mereka!"

Farah berdiri dengan gemetar, namun keberanian kecil muncul di matanya. "Kita nggak punya pilihan lain."

Mereka bertiga mulai meraih benda apa pun yang bisa digunakan sebagai senjata: kursi, pecahan kayu, bahkan batu kecil yang mereka temukan di lantai. Mereka menghantam cermin-cermin satu per satu, membuat suara kaca pecah memenuhi ruangan.

Setiap kali satu cermin pecah, salah satu bayangan menghilang. Namun, beberapa cermin tidak mudah pecah. Bahkan ketika Reza menghantamnya dengan sekuat tenaga, cermin itu hanya bergetar, seolah dilindungi oleh kekuatan yang tidak terlihat.

"Cepat!" seru Tia, suaranya dipenuhi kepanikan. Bayangan-bayangan yang tersisa semakin dekat, tangan mereka yang seperti cakar mencoba meraih mereka.

Salah satu bayangan berhasil menyentuh Farah. Ia menjerit kesakitan saat merasakan kulitnya terbakar. Tangan bayangan itu meninggalkan bekas luka hitam di lengannya, seperti tanda yang menggerogoti dagingnya.

"Farah!" Tia berlari ke arahnya, menghantam bayangan itu dengan pecahan kayu. Bayangan itu menghilang, tapi Farah sudah terjatuh, tubuhnya melemah.

"Aku nggak kuat," bisik Farah dengan air mata mengalir di pipinya. "Kalian… kalian harus pergi tanpa aku."

"Jangan ngomong bodoh!" Tia memeluk Farah dengan erat. "Kita nggak akan meninggalkan siapa pun di sini!"

Reza, yang masih sibuk menghancurkan cermin, menoleh ke mereka dengan napas tersengal. "Tia, bawa Farah keluar dari ruangan ini. Aku akan coba selesaikan sisanya."

Tia menggeleng keras. "Nggak! Kita harus bersama—"

Suara keras menghentikan percakapan mereka. Cermin terbesar di ruangan itu, yang berada di dinding paling belakang, tiba-tiba bergetar hebat. Dari permukaannya, muncul sosok yang jauh lebih besar dan menyeramkan daripada bayangan-bayangan sebelumnya.

Makhluk itu tampak seperti gabungan dari semua bayangan yang telah mereka hancurkan—tinggi, dengan tubuh seperti asap hitam, namun wajahnya menyerupai manusia yang terdistorsi. Matanya yang merah bersinar terang, menatap mereka dengan kebencian yang mendalam.

"Pergi sekarang!" Reza berteriak. "Aku akan tahan dia!"

"Tapi—"

"Pergi, Tia! Jangan sia-siakan kesempatan ini!"

Dengan air mata yang mengalir di wajahnya, Tia akhirnya menyeret Farah keluar dari ruangan, melewati pintu yang entah bagaimana terbuka kembali.

---

Lorong yang mereka masuki terasa berbeda. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan akar-akar tua yang bergerak perlahan, seolah-olah hidup. Cahaya samar dari lentera yang tergantung di langit-langit memberikan sedikit penerangan, tapi udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seperti menekan dada mereka.

"Tia…" Farah berbisik lemah. "Aku… nggak bisa jalan lagi."

Tia berhenti, menempatkan Farah di sudut lorong. Ia memeriksa luka di lengan Farah, yang semakin menghitam. Tanda itu tampak seperti menyebar, seperti racun yang mengalir melalui pembuluh darahnya.

"Aku akan cari sesuatu untuk menghentikan ini," kata Tia, meskipun ia tidak tahu harus mencari ke mana.

Namun, sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari ujung lorong. Tia menegang, matanya memperhatikan bayangan yang mulai muncul dari kegelapan.

"Reza?" ia memanggil dengan harapan kecil.

Tapi bukan Reza yang muncul.

Sosok itu adalah bayangan yang lebih kecil dari makhluk besar yang mereka lihat di ruangan cermin, namun tetap sama menyeramkan. Ia merangkak dengan kecepatan tidak wajar, seperti hewan buas yang mengejar mangsa.

Farah menjerit, mencoba berdiri, tapi tubuhnya terlalu lemah. Tia mengambil pecahan kayu yang ia bawa sebelumnya dan bersiap melawan.

"Jangan dekati kami!" teriak Tia.

Makhluk itu berhenti, mengeluarkan suara seperti tawa yang pelan namun mengerikan. Tia menggenggam kayu itu lebih erat, meskipun tangannya gemetar hebat.

Namun, sebelum makhluk itu menyerang, suara lain terdengar dari belakang mereka—suara langkah kaki yang berat dan berirama.

Sosok besar yang mereka lihat di ruangan cermin muncul di ujung lorong. Matanya bersinar lebih terang, dan ia memandang langsung ke arah Tia dan Farah.

"Tidak… Tidak mungkin," bisik Tia, tubuhnya mulai kehilangan kekuatan.

Makhluk kecil itu tampak ketakutan oleh kehadiran sosok besar tersebut. Ia mundur perlahan, sebelum menghilang kembali ke dalam bayangan.

Tia dan Farah terdiam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sosok besar itu melangkah lebih dekat, setiap langkahnya membuat dinding lorong bergetar.

Tia menarik Farah lebih dekat, memeluknya dengan erat. "Apa pun yang terjadi… aku akan melindungi kita," bisiknya, meskipun ia tidak yakin bisa melawan makhluk sebesar itu.

Sosok besar itu berhenti di depan mereka. Ia mengulurkan tangannya, seolah-olah ingin menyentuh mereka. Namun, sebelum ia bisa melakukan apa pun, suara lain terdengar dari balik lorong.

"Pergi dari mereka!"

Itu suara Reza. Ia muncul dengan wajah penuh amarah, membawa sebuah obor yang menyala terang.

Makhluk besar itu tampak ragu, seperti terganggu oleh cahaya dari obor Reza.

"Cepat, Tia! Bawa Farah keluar!" seru Reza.

Tia tidak berpikir dua kali. Ia menarik Farah dan mulai berlari, meninggalkan Reza yang berdiri menghadapi makhluk itu sendirian.

Namun, saat mereka berlari, Tia mendengar suara benturan keras dan jeritan dari belakang.

Thank you yang udah baca