Bab 6: Pengorbanan di Ambang Kegelapan
Keputusan Tia menggema di ruangan kecil itu. Pria tua itu memandangnya dengan sorot mata penuh kelelahan, seolah tahu bahwa pilihan ini akan membawa lebih banyak penderitaan daripada jawaban.
"Ada jalan yang bisa kalian lalui," katanya sambil meraih lentera besar di mejanya. "Tapi jalan itu penuh bahaya. Dan setiap langkah kalian akan membuat penjaga semakin dekat."
Tia menggenggam erat tangan Farah yang masih gemetar. Ia tahu temannya semakin lemah, tetapi mereka tidak bisa berhenti sekarang.
"Kami akan pergi," kata Tia mantap.
Pria itu menatap mereka dalam-dalam sebelum menyerahkan lentera itu kepada Tia. "Jaga cahaya ini tetap hidup. Jika lentera ini padam, kalian tidak akan pernah menemukan jalan keluar."
Tia mengangguk dan menggenggam lentera itu dengan kuat. Ia merasakan kehangatan aneh dari cahaya lentera tersebut, seperti melindunginya dari dingin yang terus merayap di lorong-lorong kegelapan.
"Bagaimana cara kami menemukan simbol itu?" tanya Farah dengan suara pelan.
Pria tua itu membuka salah satu buku di meja, menunjukkan sebuah peta kasar yang digambar dengan tinta hitam. Peta itu menggambarkan lorong-lorong yang saling berbelit, dengan tanda-tanda kecil yang sulit dimengerti.
"Ini adalah tata letak tempat ini," katanya. "Simbol yang kalian cari ada di tengah. Tapi untuk mencapainya, kalian harus melewati ruang pantulan."
"Ruang pantulan?" tanya Tia, mengingat kembali peringatan pria itu tentang cermin dan bayangan.
"Di ruang itu, semua ilusi menjadi nyata," jelas pria itu. "Kalian akan melihat hal-hal yang paling kalian takuti, dan jika kalian tidak cukup kuat, kalian akan terjebak di sana selamanya."
Farah menggigit bibirnya, wajahnya semakin pucat. "Apa tidak ada cara lain?"
"Tidak ada jalan pintas di tempat ini," balas pria itu dingin.
Mereka meninggalkan ruangan itu dengan hati-hati, lentera besar di tangan Tia menjadi satu-satunya sumber cahaya mereka. Lorong yang mereka lalui kini terasa lebih sempit, seolah dindingnya bergerak mendekat setiap kali mereka melangkah maju.
"Farah, kau baik-baik saja?" tanya Tia, melirik temannya yang berjalan tertatih di sampingnya.
Farah mengangguk lemah. "Aku masih bisa. Jangan khawatirkan aku."
Namun, Tia tahu Farah tidak dalam kondisi baik. Langkahnya semakin lambat, dan napasnya terdengar berat.
Lorong itu tiba-tiba bercabang menjadi dua.
"Tia, kita pilih yang mana?" tanya Farah, suaranya dipenuhi kecemasan.
Tia melihat ke dua arah itu. Lorong di kiri tampak gelap total, sementara lorong di kanan diterangi cahaya merah samar yang terasa tidak alami.
"Peta ini tidak terlalu membantu," gumam Tia, membuka kembali peta yang diberikan pria itu. Tidak ada tanda jelas tentang cabang ini.
Tiba-tiba, suara langkah kaki besar terdengar dari belakang mereka.
"Tia, dia datang!" Farah mencengkeram lengan Tia dengan kuat.
Tia memutuskan dengan cepat. "Kanan!"
Mereka berlari ke lorong kanan, berharap itu adalah pilihan yang tepat. Cahaya merah yang memancar dari dinding-dinding lorong terasa menyengat kulit mereka, tetapi mereka tidak punya pilihan lain selain terus maju.
Setelah beberapa menit berlari, mereka tiba di sebuah pintu besar yang terbuat dari logam hitam. Pintu itu memiliki ukiran yang sama dengan simbol yang ada di peta.
"Kita menemukannya," gumam Tia, menatap pintu itu dengan campuran rasa lega dan ketakutan.
Namun, sebelum mereka bisa mendekat, suara berat dari belakang membuat mereka berbalik.
Makhluk itu muncul di ujung lorong, tubuhnya yang besar hampir memenuhi seluruh ruang. Matanya yang merah bersinar terang, menatap mereka dengan intensitas yang membuat darah mereka membeku.
"Tia, dia terlalu dekat!" jerit Farah.
Tia menggenggam lentera dengan erat, melangkah mundur hingga mereka berada di depan pintu. "Bagaimana cara membuka ini?"
Farah mencoba meraba-raba permukaan pintu, mencari mekanisme untuk membukanya. "Tidak ada pegangan atau kunci!"
Makhluk itu melangkah maju, setiap langkahnya mengguncang lantai.
"Tia, kita harus lakukan sesuatu!"
Tia melihat ke lentera di tangannya, mencoba mencari petunjuk. Cahaya lentera itu tampak berdenyut, seolah merespons sesuatu.
"Tunggu…" gumam Tia. Ia mengangkat lentera itu, mendekatkannya ke ukiran simbol di pintu. Cahaya dari lentera mulai mengalir ke simbol itu, membuatnya bersinar terang.
Pintu mulai terbuka perlahan, tetapi makhluk itu semakin dekat.
"Ayo, ayo, cepat!" teriak Farah, mencoba mendorong pintu agar terbuka lebih cepat.
Makhluk itu kini hanya beberapa meter dari mereka. Ia mengangkat salah satu lengannya yang besar, bersiap menyerang.
Tia meraih Farah, menariknya masuk ke celah pintu yang terbuka. Saat mereka masuk, Tia mendorong pintu dengan sekuat tenaga, menutupnya tepat sebelum makhluk itu sempat menyerang mereka.
Mereka terjatuh di lantai ruang lain yang jauh lebih terang. Nafas Tia dan Farah terdengar berat, tetapi mereka selamat—untuk sementara.
Ruangan itu dipenuhi cermin besar yang berdiri di sepanjang dinding. Setiap cermin memantulkan bayangan mereka, tetapi pantulan itu terasa tidak wajar.
"Kita di ruang pantulan," bisik Farah, suaranya dipenuhi ketakutan.
"Jangan lihat ke cermin," peringatan pria tua itu terngiang di kepala Tia.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, salah satu pantulan di cermin mulai bergerak sendiri.
"Tia… Farah…" suara lembut itu terdengar dari salah satu cermin.
Mereka berdua menoleh, melihat bayangan Reza di dalam salah satu cermin.
"Reza?!" Farah hampir berlari ke arah cermin, tetapi Tia menahannya.
"Itu bukan dia," kata Tia dengan tegas, meskipun hatinya berdebar keras.
"Kenapa kau bilang begitu? Itu jelas-jelas Reza!" balas Farah, matanya dipenuhi air mata.
"Tia benar," suara berat pria tua itu bergema di kepala mereka. "Jangan pernah percaya pantulan."
Tia menggenggam tangan Farah erat-erat. "Itu bukan Reza. Kita harus terus maju."
Namun, cermin-cermin di sekitar mereka mulai bergerak, menciptakan ilusi bahwa ruangan itu semakin kecil. Suara tawa dan bisikan mulai memenuhi udara, membuat mereka sulit berpikir.
Farah menjerit, menutup telinganya. "Aku nggak tahan!"
"Farah, fokus padaku!" Tia mengguncang bahu Farah. "Jangan dengarkan mereka. Kita akan keluar dari sini bersama."
Farah mengangguk perlahan, meskipun wajahnya masih dipenuhi ketakutan.
Tia melihat ke depan, mencoba mencari jalan keluar. Tetapi setiap langkah yang mereka ambil terasa membawa mereka kembali ke tempat yang sama.
"Ini labirin," gumam Tia.
"Bagaimana kita bisa keluar?" tanya Farah, suaranya hampir putus asa.
Tia melihat lentera di tangannya. Cahaya lentera itu masih berdenyut, seolah memberi mereka petunjuk.
"Kita ikuti cahayanya," kata Tia.
Mereka melangkah maju, mengikuti arah lentera yang berdenyut lebih kuat. Setiap langkah terasa seperti ujian, tetapi Tia tidak akan menyerah.
Namun, sebelum mereka bisa mencapai pintu keluar, salah satu pantulan menyerang. Bayangan Reza dari cermin melompat keluar, mencengkeram Farah dengan kekuatan yang mengerikan.
"Tia, tolong!" jerit Farah.
Tia harus membuat keputusan cepat. Lentera di tangannya bersinar lebih terang, seolah meminta untuk digunakan.
"Farah, pegang lentera ini!" Tia menyerahkan lentera itu kepada Farah, kemudian melawan bayangan itu dengan tubuhnya sendiri.
Bayangan itu menyerangnya dengan kuku-kuku tajam, tetapi Tia tidak mundur. "Pergilah, Farah! Temukan pintu keluar!"
"Tia, aku nggak bisa meninggalkanmu!"
"Farah, pergilah!" teriak Tia, matanya penuh determinasi.
Farah ragu sejenak sebelum akhirnya berlari, membawa lentera itu menuju cahaya di kejauhan.
Tia, yang kini sendirian, menghadapi bayangan itu dengan keberanian yang tersisa. Ia tahu ini adalah akhir baginya, tetapi ia tidak akan membiarkan temannya terjebak di sini.