Chereads / Kumpulan Cerita Horror / Chapter 7 - Rumah di Ujung Jalan #7

Chapter 7 - Rumah di Ujung Jalan #7

Bab 7: Melawan Bayangan, Mengejar Harapan

Farah berlari sekuat tenaga, menggenggam lentera yang bersinar terang di tangannya. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar, tetapi suara Tia yang memintanya terus maju menggema di pikirannya. Ia menoleh sekali ke belakang, melihat Tia masih berusaha melawan bayangan yang menyerangnya.

"Aku akan kembali untukmu, Tia," bisik Farah lirih, air matanya jatuh tanpa henti.

Lorong-lorong di ruang pantulan semakin sempit dan meliuk-liuk, seolah mencoba menghentikan langkahnya. Cermin-cermin di sepanjang dinding memantulkan wajahnya yang lelah, tetapi pantulan itu berubah semakin mengerikan setiap ia menatapnya.

"Farah…" suara lembut dan familiar terdengar dari salah satu cermin.

Farah terhenti. Itu suara ibunya.

"Sayangku, kenapa kau meninggalkan kami? Kau bisa pulang. Kau hanya perlu menyerah," kata pantulan ibunya dalam cermin, matanya penuh kasih sayang.

Farah terisak, kakinya hampir melangkah ke arah cermin itu. Namun lentera di tangannya tiba-tiba menyala lebih terang, membakar udara di sekitarnya.

"Jangan dengarkan mereka!" teriak suara Tia di dalam pikirannya.

Farah mundur, menggigit bibirnya untuk mengusir rasa takut yang menguasainya. Ia tahu ini hanya ilusi, jebakan dari ruang pantulan.

"Aku tidak akan menyerah," gumamnya, menguatkan diri.

---

Di sisi lain, Tia masih berhadapan dengan bayangan yang menyerangnya. Kuku-kuku tajam bayangan itu menggores lengannya, meninggalkan luka yang menyakitkan.

"Tia…" suara bayangan itu menyerupai suara Farah. "Kau tidak bisa melindungi dia. Kau hanya akan gagal."

Tia menggeram, mencoba mengusir pikiran itu dari kepalanya. "Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan kami!"

Bayangan itu tertawa, suaranya menggema seperti ribuan suara sekaligus. "Kau sudah kalah, Tia. Cahaya lentera itu adalah satu-satunya kekuatanmu, dan kau telah memberikannya kepada Farah. Kau sekarang tidak lebih dari seorang pejuang yang lemah."

Namun, Tia tidak peduli. Ia tahu Farah membutuhkan lentera itu untuk keluar, dan jika ia harus mengorbankan dirinya, ia sudah siap.

Dengan keberanian yang tersisa, Tia meraih pecahan cermin di lantai, menggunakannya sebagai senjata. Ia melompat ke arah bayangan itu, menancapkan pecahan cermin ke tubuhnya.

Bayangan itu menjerit, tubuhnya mulai memudar. Tetapi sebelum benar-benar lenyap, bayangan itu mendorong Tia ke dinding dengan kekuatan besar. Tia terjatuh, darah mengalir dari luka di dahinya.

---

Farah akhirnya tiba di sebuah ruangan besar dengan sebuah altar di tengahnya. Di atas altar itu, sebuah simbol yang sama seperti di peta tampak bersinar terang. Cahaya dari lentera di tangannya semakin kuat, hampir membakar kulitnya.

"Ini harusnya jalan keluarnya," gumam Farah.

Ia mendekati altar itu, meletakkan lentera di atasnya. Cahaya lentera menyatu dengan simbol, menciptakan sinar yang menyilaukan.

Namun, saat cahaya itu menyebar, makhluk besar yang mereka lihat sebelumnya muncul di belakangnya.

"Tidak!" Farah berteriak, berusaha menarik lentera itu kembali. Tetapi makhluk itu melangkah maju, menciptakan tekanan udara yang membuat Farah terjatuh.

Cahaya dari lentera tampak membuat makhluk itu kesakitan, tetapi tidak cukup untuk menghentikannya.

Farah memejamkan mata, merasakan keputusasaan merayap di hatinya.

"Tia…" gumamnya pelan, air matanya kembali mengalir.

---

Di saat yang sama, Tia terhuyung-huyung bangun dari lantai. Luka di tubuhnya membuatnya sulit bergerak, tetapi ia tidak bisa berhenti.

"Farah butuh aku," katanya pada dirinya sendiri.

Ia meraih pecahan cermin lainnya, menggunakan cahaya samar di ruangan itu untuk mencari jalan keluar. Ia tahu ia tidak punya waktu banyak.

Setiap langkah terasa menyakitkan, tetapi Tia akhirnya menemukan pintu lain. Di balik pintu itu, ia bisa merasakan kehadiran Farah.

"Tunggu aku, Farah," gumamnya, menyalakan semangat terakhir yang tersisa di dirinya.

Farah berdiri di depan altar, menghadapi makhluk besar itu. Lentera di tangannya mulai memudar, seolah kehilangan kekuatan.

"Tia…" ia memanggil nama temannya dengan putus asa.

Tepat saat makhluk itu mengayunkan lengannya ke arah Farah, Tia muncul dari pintu.

"Farah, menjauh dari situ!" teriak Tia.

Farah menoleh, melihat Tia yang berlumuran darah tetapi masih berdiri dengan teguh.

"Tia! Kau masih hidup!"

Makhluk itu mengalihkan perhatiannya ke Tia, memberikan Farah kesempatan untuk mundur.

"Tia, apa yang harus kita lakukan?!" tanya Farah panik.

Tia melihat ke lentera yang masih bersinar redup. "Kita harus menggabungkan kekuatannya dengan simbol itu! Itu satu-satunya cara untuk menghancurkan tempat ini!"

Farah mengangguk, meskipun ia tidak sepenuhnya mengerti. Ia mengangkat lentera itu lagi, mencoba menyelaraskannya dengan simbol di altar.

Makhluk itu meraung, menyerang mereka dengan kekuatan penuh. Tetapi sebelum serangan itu mencapai mereka, cahaya dari lentera dan simbol bersatu, menciptakan gelombang energi yang menghancurkan ruangan itu.

Makhluk itu terlempar ke belakang, tubuhnya mulai hancur menjadi debu.

Tia dan Farah terjatuh ke lantai, kelelahan tetapi selamat.

---

Ketika mereka membuka mata, mereka menemukan diri mereka di luar kastil. Langit yang kelam kini digantikan dengan cahaya pagi yang hangat.

"Kita berhasil…" gumam Farah, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya.

Tia tersenyum lemah. "Ya… kita berhasil."

Tetapi di sudut pikirannya, Tia tahu ini bukan akhir dari kegelapan. Kastil itu mungkin hancur, tetapi bayangan yang mereka lawan akan selalu menjadi bagian dari mereka.