Chereads / Kumpulan Cerita Horror / Chapter 5 - Rumah di Ujung Jalan #5

Chapter 5 - Rumah di Ujung Jalan #5

Bab 5: Jejak yang Hilang

Jeritan dari belakang membekukan langkah Tia sejenak. Ia berbalik, berharap melihat Reza menyusul mereka, namun lorong itu kini kosong. Suara langkah berat makhluk besar masih terdengar samar, tetapi Tia tahu ia tak bisa berhenti terlalu lama.

"Farah, kita harus terus jalan." Tia menggenggam erat tangan Farah yang lemah, menariknya menyusuri lorong yang semakin gelap.

"Apa… yang terjadi sama Reza?" suara Farah terdengar lirih, nyaris tak terdengar di antara gema langkah mereka.

Tia tidak menjawab. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi hatinya merasa kosong. "Kita akan cari tahu nanti," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Lorong itu terasa tak berujung. Dinding-dindingnya kini mulai berdenyut, seperti makhluk hidup yang bernapas. Akar-akar yang sebelumnya hanya diam kini bergerak lambat, merayap di dinding dan lantai, seolah mencoba meraih mereka.

"Kenapa tempat ini berubah?" bisik Farah, matanya yang lemah melirik ke dinding dengan ketakutan.

"Aku nggak tahu. Tapi yang jelas, kita harus keluar dari sini sebelum tempat ini benar-benar hidup."

Setelah beberapa menit berlari, mereka akhirnya sampai di persimpangan. Ada tiga lorong di depan mereka, masing-masing diterangi oleh cahaya redup dari lentera tua yang bergoyang pelan.

"Ke mana sekarang?" tanya Farah, suaranya semakin lemah.

Tia melihat sekeliling, mencoba mencari petunjuk. Namun, semua lorong tampak sama. Bau lembap dan busuk memenuhi udara, membuatnya sulit berpikir jernih.

"Kita pilih yang tengah," katanya akhirnya, memutuskan tanpa banyak pertimbangan.

Mereka masuk ke lorong itu dengan hati-hati. Namun, semakin jauh mereka berjalan, suasana di lorong itu berubah. Suara-suara aneh mulai terdengar—bisikan samar, tawa kecil, dan langkah kaki yang tidak terlihat sumbernya.

"Tia… ada yang mengawasi kita," bisik Farah, menggenggam lengan Tia lebih erat.

"Aku tahu. Jangan berhenti berjalan," balas Tia dengan nada tegas, meskipun jantungnya berdebar kencang.

Namun, tiba-tiba suara tawa itu berubah menjadi jeritan tajam yang menusuk telinga. Lentera di sepanjang lorong padam satu per satu, meninggalkan mereka dalam kegelapan total.

"Tia!" Farah menjerit panik.

"Pegang aku!" Tia meraih tangan Farah, mencoba menenangkan dirinya meskipun kegelapan di sekitarnya begitu pekat. "Kita terus maju!"

Mereka meraba-raba di dalam kegelapan, berjalan perlahan-lahan. Tapi suara langkah kaki lain mulai terdengar, mendekat dengan cepat.

Tia memutar kepalanya, mencoba melihat apa pun di balik kegelapan. "Siapa di sana?!" teriaknya, meskipun ia tahu ia tidak akan mendapat jawaban.

Langkah kaki itu semakin dekat, diiringi suara napas berat yang membuat bulu kuduknya berdiri.

"Lari!" seru Tia.

Namun sebelum mereka bisa bergerak, sesuatu mencengkeram kaki Tia. Ia menjerit, terjatuh ke lantai dengan keras.

"Tia!" Farah berusaha membantu, tetapi cengkeraman itu terlalu kuat.

Tia menendang dengan panik, merasakan kuku-kuku tajam mencakar kulitnya. "Pergi dariku!" jeritnya.

Tiba-tiba, cahaya terang menyilaukan muncul dari belakang mereka. Suara langkah kaki besar terdengar mendekat, tetapi kali ini berbeda. Ada sosok tinggi yang berdiri di ujung lorong, membawa lentera besar yang bersinar terang.

"Cepat ke sini!" teriak suara berat itu.

Tia dan Farah tidak punya pilihan lain. Mereka melepaskan diri dari cengkeraman itu dan berlari menuju sosok tersebut.

Saat mereka mendekat, cahaya lentera itu mengusir bayangan yang mengejar mereka. Sosok tinggi itu, seorang pria tua dengan janggut panjang dan pakaian lusuh, berdiri tegak dengan ekspresi serius.

"Kalian seharusnya tidak berada di sini," katanya dengan suara dalam.

"Siapa… siapa Anda?" tanya Tia, masih terengah-engah.

"Namaku tidak penting. Tapi kalian harus keluar dari tempat ini sebelum terlambat," jawab pria itu sambil memutar tubuhnya. "Ikuti aku."

Pria itu membawa mereka ke sebuah ruangan kecil yang diterangi oleh beberapa lentera. Di dalamnya, ada meja kayu tua dan beberapa buku berserakan.

"Apa tempat ini?" tanya Farah, duduk dengan lemah di salah satu kursi.

"Ini adalah tempat yang terlupakan. Sebuah ruang yang terperangkap antara dunia kalian dan sesuatu yang lebih buruk," jawab pria itu sambil menyalakan lentera tambahan.

"Bagaimana kami bisa keluar?" Tia mendesak.

Pria itu menghela napas berat. "Keluar bukanlah hal yang mudah. Tempat ini memiliki aturan, dan kalian melanggar salah satunya."

"Aturan apa?" tanya Farah dengan suara kecil.

"Jangan pernah mempercayai pantulan," jawab pria itu, matanya tajam memandang mereka.

Tia merasakan bulu kuduknya berdiri. "Tapi kami tidak tahu—"

"Semuanya tahu, tapi tidak semua mendengarkan," potong pria itu. "Setiap cermin, setiap bayangan di tempat ini, adalah perangkap. Kalian sudah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tidur."

"Makhluk besar itu?" tanya Tia, mengingat sosok menyeramkan yang mereka lihat di ruangan cermin.

Pria itu mengangguk. "Ia adalah penjaga. Tapi sekarang ia tahu kalian ada di sini, ia tidak akan berhenti sampai kalian menjadi bagian dari tempat ini."

Farah menatap pria itu dengan wajah penuh ketakutan. "Apa yang harus kami lakukan?"

Pria itu berjalan ke sudut ruangan, mengambil sebuah buku tua dengan sampul yang hampir hancur. Ia membuka buku itu dan menunjukkan sebuah gambar kepada mereka.

Gambar itu menunjukkan simbol aneh yang terlihat seperti mata dengan lingkaran di sekitarnya.

"Ini adalah pintu keluar kalian. Tapi untuk menemukannya, kalian harus menghadapi penjaga itu."

"Kami nggak bisa lawan dia!" seru Tia. "Dia terlalu kuat!"

"Kalian tidak punya pilihan lain," kata pria itu dengan tenang. "Jika kalian tidak melawan, kalian akan terjebak di sini selamanya."

Farah menelan ludah, wajahnya memucat. "Dan Reza? Apa dia masih hidup?"

Pria itu terdiam sejenak sebelum menjawab, "Jika dia kuat, mungkin dia masih bertahan. Tapi kalian tidak punya banyak waktu untuk mencarinya."

Tia mengepalkan tangannya. Ia tahu mereka tidak bisa meninggalkan Reza, tapi mereka juga tidak tahu apakah ia masih hidup.

"Aku akan cari pintu keluar itu," katanya akhirnya, dengan suara tegas. "Tapi kami tidak akan meninggalkan siapa pun."

Pria itu mengangguk pelan. "Kalau begitu, bersiaplah. Perjalanan kalian baru saja dimulai."