Chereads / Kumpulan Cerita Horror / Chapter 2 - Rumah di Ujung Jalan #2

Chapter 2 - Rumah di Ujung Jalan #2

Bab 2: Pintu yang Terbuka Sendiri

Gagang pintu terus berputar perlahan, menghasilkan suara berdecit yang mengiris keheningan. Reza memegang bahu Tia, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik. Farah memeluk dirinya sendiri, berusaha keras untuk tidak berteriak.

"Tia… kita harus keluar sekarang," bisik Farah.

Sebelum ada yang sempat bergerak, pintu terbuka sedikit demi sedikit. Tidak ada siapa pun di sana. Koridor di luar kamar tampak gelap gulita, seolah-olah menanti mereka melangkah keluar.

"Tidak mungkin," bisik Reza. "Tadi pintu itu terkunci. Aku yakin."

"Kalau begitu, siapa yang membuka?" balas Tia dengan suara bergetar.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menggantung, terasa berat di udara.

"Ayo kita pergi," desak Farah. Ia menarik tangan Tia, mencoba memaksanya bergerak.

Namun, Tia tampak terpaku, pandangannya tertuju pada sesuatu di lantai koridor. Sebuah jejak kaki basah, yang muncul satu per satu, seolah-olah ada seseorang yang berjalan menjauh dari kamar itu.

"Ada yang di sini," kata Tia pelan. "Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Kamu gila?!" seru Farah dengan suara tertahan. "Kita seharusnya kabur, bukan malah mengejar!"

Reza, meskipun wajahnya pucat, mencoba menenangkan mereka. "Oke, kita semua takut. Tapi kalau kita panik, nggak bakal ada yang selesai. Kalau ada sesuatu… kita hadapi bersama."

Dengan enggan, Farah mengikuti Tia dan Reza keluar dari kamar. Langkah mereka pelan, dan lantai kayu di bawah mereka terus berderit. Jejak kaki basah itu memimpin mereka menuju ujung koridor, ke sebuah pintu kecil yang tampaknya menuju ke ruangan lain.

Reza mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci. Ia memutar gagangnya keras-keras, namun pintu tetap tidak bergerak.

"Tunggu," kata Tia, menunjuk ke bagian bawah pintu. Cahaya samar berwarna kemerahan terlihat memancar dari sela-sela pintu. "Ada sesuatu di baliknya."

"Jangan coba-coba, Tia," pinta Farah, suaranya hampir seperti rengekan.

Tapi Tia mengabaikannya. Ia menempelkan telinganya ke pintu, mencoba mendengar sesuatu. Sekilas, hanya ada keheningan, tapi kemudian ia mendengar suara seperti orang berbisik—pelan dan seram, seperti banyak suara berbicara sekaligus.

Tia melompat mundur, wajahnya pucat. "Kita harus buka pintu ini."

"Dan kamu pikir itu ide bagus?" tanya Farah. "Suara apa pun yang kamu dengar, kita nggak punya alasan untuk tetap di sini!"

Reza, meskipun ragu, akhirnya mengangguk. "Kalau kita nggak buka sekarang, kita nggak bakal tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Ia melihat sekeliling, mencari sesuatu untuk mendobrak pintu. Akhirnya ia menemukan tongkat kayu tua di sudut ruangan dan mulai memukul gagang pintu. Pukulannya mengeluarkan suara keras yang menggema di seluruh rumah.

"Cepat, sebelum sesuatu—" Farah berhenti berbicara ketika mereka semua mendengar suara langkah kaki lagi, kali ini datang dari bawah.

"Ada yang naik tangga," bisik Tia, matanya membelalak.

Mereka menoleh ke arah tangga di ujung koridor. Langkah-langkah itu berat dan lambat, seperti seseorang yang sedang menyeret sesuatu.

"Cepat buka pintunya!" bisik Farah panik.

Reza memukul lebih keras, dan akhirnya pintu itu terbuka dengan suara keras. Di balik pintu, mereka melihat tangga kecil yang mengarah ke bawah tanah. Udara dingin menyembur keluar, membawa bau tanah basah dan busuk yang membuat mereka semua hampir muntah.

"Kita ke sana?" Farah nyaris menangis.

"Kita nggak punya pilihan," kata Tia sambil menarik lengan Farah. "Ayo!"

Mereka turun satu per satu, langkah mereka terhenti ketika suara langkah kaki di tangga atas semakin mendekat. Akhirnya, mereka sampai di ruang bawah tanah. Dindingnya terbuat dari batu kasar, dan cahaya merah yang mereka lihat tadi berasal dari sebuah lentera tua di tengah ruangan.

Namun, yang menarik perhatian mereka bukan hanya lentera itu. Di lantai, terdapat lingkaran besar yang digambar dengan darah kering. Di sekeliling lingkaran itu, ada simbol-simbol aneh yang tidak bisa mereka mengerti.

"Apa-apaan ini?" tanya Reza, suaranya hampir tidak terdengar.

Tia mendekati lingkaran itu, meskipun Farah berusaha menariknya kembali. Di tengah lingkaran, terdapat buku tua yang terbuka, halamannya penuh dengan tulisan tangan.

Tia membaca beberapa kalimat pertama dengan suara pelan:

"Dengan ini, aku memanggil kekuatan kegelapan. Biarkan jiwaku menyatu dengan dunia ini, biarkan tubuhku menjadi wadah kekuatan abadi…"

Tia berhenti membaca, merasa ada yang salah.

"Tia, kita nggak boleh di sini," kata Farah dengan nada memohon. "Ini… ini semacam ritual. Kita harus keluar!"

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suara langkah kaki tadi berhenti di pintu atas ruang bawah tanah.

Mereka semua menatap ke arah pintu, tubuh mereka membeku. Pintu itu terbuka perlahan, dan kegelapan menyelimuti ruangan di atas.

"Siapa di sana?" tanya Reza dengan suara gemetar.

Tidak ada jawaban. Tapi mereka mendengar sesuatu yang menyeramkan—suara napas berat, seperti seseorang yang sedang berdiri di ambang pintu.

"Tia…" bisik Farah, menarik tangan sahabatnya.

"Diam," balas Tia, meskipun suaranya juga terdengar takut.

Tiba-tiba, lentera di tengah ruangan padam. Kegelapan total menyelimuti mereka, dan suara napas itu semakin dekat.

Dalam kegelapan, Farah menjerit saat ia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh bahunya.