Beberapa bulan telah berlalu sejak pertempuran terakhir melawan Voidwalkers. Akademi Waktu kembali tenang, dan dimensi yang hancur telah pulih. Para murid, yang telah melalui ujian besar dan belajar tentang kekuatan luar biasa waktu, ruang, dan dimensi, kini menikmati kedamaian yang baru. Liburan panjang telah tiba, memberi mereka kesempatan untuk kembali ke dunia mereka masing-masing dan merenung tentang perjalanan yang telah mereka jalani.
Kael, Lysandra, Riven, Lianara, dan Varic berasal dari dunia Aetheris, dunia yang tidak mengenal sihir atau kekuatan magis. Di Aetheris, teknologi sangat maju dan kehidupan berjalan dengan aturan yang sangat berbeda dibandingkan dengan dunia Akademi Waktu. Namun, mereka semua tahu satu hal yang sangat penting, di Akademi Waktu, mereka memperoleh kekuatan luar biasa untuk mengendalikan waktu, ruang, dan dimensi. Kekuatan ini tidak akan hilang begitu mereka kembali ke dunia Aetheris. Namun, mereka juga tahu bahwa dunia mereka tidak siap untuk menerima kemampuan itu. Mereka harus menjaga dunia Aetheris tetap normal dan stabil, tanpa campur tangan kekuatan magis yang bisa mengubah segalanya.
Kael berdiri di balkon kamar, menatap langit senja yang berangsur gelap. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Di satu sisi, ia merasa lega karena akan kembali ke dunia yang lebih sederhana, dunia tempat ia lahir. Tetapi di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang telah ia alami di Akademi Waktu. Kekuatan yang bisa mengubah waktu, mengatur dimensi, itu terasa seperti bagian dari dirinya. Namun, ia tahu bahwa dunia Aetheris tidak mengenal hal seperti itu, dan mereka tidak boleh mengungkapkan kemampuan mereka.
Lysandra mendekat, berdiri di samping Kael, memandang ke arah yang sama. "Kita akan kembali ke Aetheris, Kael. Tapi rasanya aku meninggalkan bagian dari diriku di sini."
Kael mengangguk perlahan. "Aku juga merasa seperti itu. Di sini, kita bisa mengendalikan waktu, bahkan mengubah dimensi jika perlu. Tapi di Aetheris, kita harus menjaga semuanya tetap biasa. Tidak ada yang bisa tahu tentang kemampuan kita."
Lysandra menghela napas. "Aku tahu. Dunia kita di sana sangat berbeda. Tidak ada yang akan mengerti apa yang kita alami di sini. Tapi kita harus tahu batas kita. Kita tidak bisa mengubah dunia mereka hanya karena kita memiliki kemampuan ini. Kita harus menjaga dunia mereka tetap normal."
Kael menatapnya dengan serius. "Aku paham. Kita akan tetap menyembunyikan kemampuan kita. Dunia Aetheris tidak siap untuk mengetahui tentang sihir atau kekuatan yang kita miliki. Kita hanya perlu menggunakannya jika benar-benar dibutuhkan, untuk melindungi, bukan untuk mengubah segalanya."
Lysandra tersenyum tipis. "Kita harus menjaga keseimbangan. Dunia kita tidak membutuhkan kekuatan besar untuk mengubahnya. Kita sudah melihat apa yang bisa terjadi ketika kekuatan itu tidak terkendali. Tapi kita juga tahu, Kael, bahwa kekuatan ini ada di dalam kita. Kita hanya perlu mengendalikannya."
Tak lama setelah itu, Riven dan Lianara muncul, masing-masing dengan tas besar yang telah mereka siapkan. Mereka tampak sedikit cemas, tetapi juga siap untuk pulang. "Bagaimana rasanya kembali?" tanya Riven, matanya sedikit cemas. "Aku sudah lama tidak merasakan kehidupan yang 'biasa'. Dunia Aetheris sangat berbeda setelah kita mengalami semua ini."
Lianara mengangguk. "Aku juga merasa seperti itu. Rasanya aneh harus kembali ke dunia yang tidak mengenal kekuatan kita. Tapi kita harus menjaga semuanya tetap normal. Jika kita terbuka tentang kemampuan kita, kita bisa menarik perhatian yang berbahaya."
Varic masuk ke ruangan, membawa tasnya yang sudah terisi barang-barang. "Benar," katanya. "Kita tahu kita bisa mengendalikan waktu dan dimensi, tapi kita juga tahu bahwa dunia Aetheris tidak akan mengerti itu. Kita harus hidup seperti sebelumnya, normal, tanpa menunjukkan kemampuan kita."
Kael mengangguk, merasa lebih tenang setelah mendengar pendapat teman-temannya. "Kita kembali ke dunia kita, tapi kita harus menjaga keseimbangan. Kita bisa menggunakan kekuatan kita untuk melindungi dunia, tetapi kita harus berhati-hati. Dunia Aetheris tidak siap untuk mengetahui tentang kekuatan yang kita miliki."
Saat mereka berbicara, Risa, yang berasal dari Dunia Keabadian, datang menghampiri mereka. Wajahnya tampak tenang, tetapi ada rasa berat di matanya. "Aku akan kembali ke Dunia Keabadian," kata Risa, suaranya lembut. "Dunia Keabadian sangat berbeda. Di sana, kedamaian abadi lebih penting daripada kekuatan apa pun. Tetapi aku tahu, apa yang kita pelajari di sini akan selalu ada dalam diri kita."
Lysandra tersenyum dan mendekati Risa, memberikan pelukan hangat. "Kami akan merindukanmu, Risa. Tapi aku tahu perjalananmu di Dunia Keabadian adalah bagian dari perjalanan kita semua. Kami akan selalu ada untukmu, meskipun kita berada di dunia yang berbeda."
Risa tersenyum kembali, mengangguk. "Aku juga akan merindukan kalian. Tapi kita akan terus terhubung, bahkan jika kita berada di dunia yang terpisah."
Dengan itu, Risa melangkah menuju portal yang akan membawanya kembali ke Dunia Keabadian. Kael dan yang lainnya menyaksikan perpisahan itu dengan perasaan campur aduk, sedih karena berpisah, tetapi juga berterima kasih atas waktu yang mereka habiskan bersama.
Ketika portal menutup di belakang Risa, Kael berbalik kepada teman-temannya. "Kita mungkin kembali ke dunia Aetheris, tetapi kita tidak akan melupakan semua yang telah kita pelajari di sini. Kita tahu bahwa kekuatan kita untuk mengendalikan waktu dan dimensi masih ada, dan kita bisa menggunakannya jika dunia membutuhkan kita. Tapi kita harus menjaga dunia kita tetap stabil, normal, tanpa mengubahnya."
Lysandra mengangguk setuju. "Kita harus menjaga semuanya tetap seimbang. Dunia kita tidak perlu tahu tentang kekuatan besar yang ada dalam diri kita. Kita akan terus hidup dengan cara yang biasa, seperti yang kita lakukan sebelumnya."
Riven menepuk bahu Kael. "Tapi jika suatu saat kita harus melindungi dunia kita, kita akan siap. Kita akan menggunakan kekuatan kita dengan bijaksana, tanpa menarik perhatian."
Dengan itu, mereka semua melangkah menuju portal yang akan membawa mereka kembali ke dunia Aetheris. Dunia di mana waktu berjalan dengan cara yang berbeda, dan dimensi tidak dapat dengan mudah dilipat seperti di Akademi Waktu. Tetapi mereka tahu bahwa apa yang mereka pelajari akan selalu ada di dalam diri mereka. Dan meskipun dunia mereka tampaknya tidak membutuhkan sihir atau manipulasi waktu, mereka akan selalu siap—siap untuk melindungi dunia mereka, menjaga keseimbangan, dan memastikan semuanya tetap seperti seharusnya.
Setelah berbulan-bulan menjalani kehidupan di Akademi Waktu, Kael, Lysandra, Riven, Lianara, Varic, dan teman-teman mereka akhirnya kembali ke dunia Aetheris. Dunia yang mereka tinggalkan terasa lebih biasa dan jauh dari keajaiban Akademi Waktu. Namun, meskipun kehidupan mereka kembali ke rutinitas semula, mereka tahu bahwa perjalanan mereka, dan kekuatan yang mereka peroleh, belum berakhir. Di dunia Aetheris, mereka harus menyembunyikan kemampuan luar biasa mereka untuk mengendalikan waktu dan dimensi, menjaga dunia tetap stabil dan normal.
Sekarang, mereka kembali ke rumah masing-masing. Beberapa dari mereka merindukan kedamaian dan kehangatan keluarga. Begitu banyak hal yang ingin mereka ceritakan, tetapi mereka tahu bahwa kekuatan yang mereka miliki terlalu besar untuk dibagikan di dunia yang tidak mengenal sihir atau kekuatan magis. Mereka harus berhati-hati, menjaga keseimbangan, dan memastikan kehidupan mereka tetap seperti biasa.
Kael
Kael kembali ke rumahnya yang sederhana di pinggiran kota Aetheris. Begitu ia melangkah masuk, ibunya yang telah menunggu dengan penuh kegembiraan menyambutnya dengan pelukan hangat. Aroma masakan yang familiar langsung mengisi inderanya, dan Kael merasa seolah kembali ke rumah yang selalu ia rindukan.
"Kael! Kau akhirnya pulang!" Ibunya berbicara dengan suara penuh kelegaan. "Aku sangat merindukanmu. Bagaimana perjalananmu? Apa yang kau pelajari di sana?"
Kael tersenyum dan memeluk ibunya lebih erat. "Aku belajar banyak, Bu. Banyak hal yang tidak pernah kuketahui sebelumnya. Tapi... sekarang aku hanya ingin kembali ke rumah, bersama keluarga."
Mereka duduk bersama di meja makan yang penuh dengan makanan hangat, berbicara tentang kehidupan sehari-hari, tetapi Kael merasa ada yang kurang jika ia harus berbagi tentang Akademi Waktu. Dunia Aetheris tidak siap untuk hal seperti itu, dan lebih penting baginya untuk merasa aman dan dicintai, tanpa harus menceritakan kekuatan luar biasa yang ada dalam dirinya.
Lysandra
Lysandra kembali ke rumahnya di pusat kota Aetheris. Ayahnya yang bekerja sebagai ilmuwan terkemuka menyambutnya dengan senyuman penuh harap. Meskipun ia sangat ingin tahu tentang perjalanan Lysandra, ia tidak bisa tidak merasa cemas.
"Lysandra!" Ayahnya membuka pintu dengan senyuman lebar. "Aku sangat senang akhirnya kau kembali. Ceritakan padaku, bagaimana perjalananmu? Apa yang kau pelajari di sana?"
Lysandra merasa sedikit canggung, tetapi ia mengingat nasihat teman-temannya untuk menjaga segalanya tetap normal. "Aku belajar banyak tentang sejarah waktu, Ayah. Banyak hal yang menarik, tapi lebih penting, aku kembali dengan selamat."
Ayahnya mengangguk, meskipun tampaknya masih penasaran. "Aku yakin perjalananmu sangat berharga. Tetapi aku tahu, kamu pasti membawa banyak pengalaman. Jangan ragu untuk berbagi ketika kau siap."
Mereka duduk bersama, menikmati makan malam dengan tenang. Meskipun banyak hal yang ingin Lysandra ceritakan tentang perjalanan mereka, tentang Voidwalkers, tentang kekuatan yang mereka peroleh, ia tahu bahwa dunia Aetheris tidak akan mengerti. Untuk saat ini, ia memilih untuk menikmati momen kebersamaan ini.
Riven
Riven kembali ke rumah keluarganya di desa kecil di pinggiran kota, dikelilingi oleh hutan lebat. Begitu memasuki rumah, ia disambut dengan pelukan ibunya yang penuh kasih.
"Riven! Kau akhirnya pulang!" Ibunya berkata dengan penuh kelegaan. "Kami sangat merindukanmu. Bagaimana perjalananmu?"
Riven menghela napas lega, merasa tenang berada di rumah. "Iya, Bu. Aku belajar banyak. Akademi Waktu adalah tempat yang luar biasa, tapi sekarang aku hanya ingin kembali ke sini. Aku merasa rumahku ada di sini."
Mereka duduk bersama di meja makan, menikmati hidangan yang sederhana namun penuh rasa kasih. Riven tahu bahwa dunia mereka tidak siap untuk menerima tentang sihir atau kekuatan luar biasa yang mereka miliki. Namun, di rumah ini, dia merasa aman. Tidak perlu menyembunyikan apa pun.
Lianara
Lianara kembali ke rumahnya di pinggiran kota, dekat dengan tepi hutan. Rumahnya sederhana, dengan pemandangan alam yang tenang. Ayahnya, seorang penjaga kota yang tegas namun penyayang, menyambutnya dengan pelukan hangat.
"Anakku! Kau akhirnya pulang!" Ayahnya berkata dengan senyuman penuh kasih. "Kami sangat khawatir padamu. Bagaimana perjalananmu?"
Lianara tersenyum dan mengangguk. "Aku baik-baik saja, Ayah. Banyak hal yang aku pelajari di sana, tetapi yang terpenting, aku kembali dengan selamat."
Mereka duduk bersama menikmati makanan yang telah disiapkan ibunya. Lianara tahu bahwa mereka harus menjaga segalanya tetap sederhana. Akademi Waktu adalah tempat yang penuh dengan keajaiban, tetapi bagi keluarganya, dunia mereka harus tetap seperti biasa.
Varic
Varic kembali ke desa terpencil tempat keluarganya tinggal. Desa ini terletak jauh dari keramaian Aetheris, dikelilingi oleh pegunungan dan hutan yang luas. Keluarga Varic bukan keluarga biasa, mereka adalah keturunan Aric, salah satu pelayan terhormat dari Akademi Waktu yang dulu datang ke dunia Aetheris untuk menjaga keseimbangan antara dimensi. Meskipun hidup mereka sederhana di luar kota, keluarga Varic memiliki bisnis yang mencakup seluruh dunia Aetheris, mengelola berbagai perusahaan dan perdagangan. Bisnis keluarga ini sangat berpengaruh, meskipun tidak banyak yang tahu asal-usul mereka.
Begitu Varic memasuki rumah, ayahnya menyambutnya dengan tatapan penuh perhatian. "Varic, kau akhirnya pulang," kata ayahnya dengan suara tenang namun penuh pengertian. "Aku sudah mendengar kabar baik tentang perjalananmu. Ceritakan lebih banyak tentang apa yang kau pelajari di sana."
Varic tersenyum, tetapi ada sedikit rasa canggung di dalam hatinya. "Aku belajar banyak, Ayah. Akademi Waktu... itu adalah tempat yang luar biasa. Aku... aku juga merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku setelah kembali."
Ayahnya menatapnya dengan mata penuh pengertian, seolah tahu bahwa Varic membawa lebih dari sekadar cerita dari Akademi Waktu. "Aku tahu, Varic. Keluarga kita mungkin tidak hidup di tengah kota besar, tapi kita memiliki peran yang lebih besar di dunia ini. Kita harus berhati-hati dengan apa yang kita bawa kembali. Kekuatan kita, meskipun besar, harus digunakan dengan bijaksana."
Meskipun keluarga Varic hidup jauh dari pusat peradaban, mereka sangat terhubung dengan banyak pengaruh di dunia Aetheris. Ayahnya sering bepergian, mengurus bisnis keluarga yang tersebar di seluruh dunia, sementara ibunya lebih sering berada di rumah, mengelola urusan rumah tangga. Namun, Varic tahu bahwa meskipun hidup mereka tampak tenang dan terpencil, mereka memiliki kekuatan besar yang tersembunyi di balik kedamaian itu.
Malam itu, setelah makan malam bersama, Varic duduk dengan ayahnya di ruang keluarga. "Ayah, ada banyak hal yang aku ingin ceritakan, tapi aku tahu dunia kita belum siap untuk mendengarnya. Akademi Waktu mengajarkan kita banyak hal, dan kekuatan itu... itu tidak bisa sembarangan dibagikan."
Ayahnya mengangguk bijaksana. "Benar, Varic. Dunia ini mungkin tidak siap untuk menerima kekuatan itu. Tapi yang paling penting adalah kita tahu bagaimana menggunakannya dengan bijaksana. Dunia kita perlu keseimbangan, dan kita, sebagai keluarga, harus menjaga itu."
Varic menatap keluar jendela, merasakan kedamaian yang datang dari mengetahui bahwa ia memiliki tempat yang aman untuk kembali, sebuah rumah yang terhubung dengan kekuatan yang lebih besar dari sekadar bisnis atau kedudukan. Keluarga mereka mungkin tinggal di desa terpencil, jauh dari keramaian, tetapi mereka memiliki peran yang lebih besar di dunia Aetheris, sebuah peran yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang berasal dari garis keturunan Aric.
Kembali ke rumah membawa kedamaian yang mendalam bagi Kael, Lysandra, Riven, Lianara, Varic, dan teman-teman mereka. Mereka tahu bahwa kekuatan luar biasa yang mereka peroleh di Akademi Waktu tetap ada dalam diri mereka, tetapi di dunia Aetheris, mereka harus menjaga semuanya tetap sederhana dan normal. Dunia mereka tidak siap untuk menerima kekuatan yang mengubah waktu dan dimensi, dan mereka harus menjaga keseimbangan tanpa menarik perhatian.
Namun, meskipun mereka memilih untuk menyembunyikan kekuatan mereka, mereka tahu bahwa keluarga adalah tempat yang aman, tempat di mana mereka bisa merasa diterima, dicintai, dan dihargai. Dunia Aetheris mungkin tidak tahu tentang sihir atau kemampuan luar biasa yang mereka miliki, tetapi keluarga mereka adalah tempat di mana mereka selalu bisa kembali.
Setelah kembali ke dunia Aetheris, kehidupan mereka kembali ke rutinitas yang lebih tenang, namun setiap dari mereka memiliki cara sendiri untuk meresapi kedamaian yang datang setelah melalui perjalanan panjang dan penuh tantangan. Meskipun dunia mereka tidak mengenal sihir atau kekuatan luar biasa, mereka tahu bahwa bagian dari mereka telah berubah, dan mereka harus menemukan cara untuk menikmati kehidupan mereka yang baru ini dengan cara yang lebih sederhana.
Kael memilih untuk menghabiskan waktu luangnya dengan berjalan-jalan di alam bebas, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota. Di tengah hutan yang rimbun, dia menemukan kedamaian. Bagi Kael, alam selalu memberi rasa ketenangan yang sulit dia dapatkan di tempat lain. Setiap kali dia berjalan di antara pepohonan tinggi yang berdiri kokoh, dia bisa merasakan waktu seakan melambat, memberikan ruang untuk bernapas, tanpa tekanan dari kekuatan yang ada dalam dirinya.
Suatu sore, setelah berjalan cukup jauh, Kael duduk di sebuah batu besar di tepi sungai, menatap aliran air yang jernih. Ia menutup matanya dan membiarkan angin berhembus, merasakan setiap desiran angin yang menggerakkan daun-daun di atasnya. Hatinya menjadi tenang, dan meskipun dia tahu banyak hal yang harus dia hadapi, untuk saat ini, dia hanya ingin menikmati ketenangan ini.
Kadang, Kael merasa kesepian, teringat akan teman-temannya di Akademi Waktu, tetapi dia tahu mereka semua memiliki jalan masing-masing. Mungkin, dalam waktu yang tepat, mereka akan kembali bersama lagi untuk melawan ancaman yang lebih besar. Namun, untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati waktu untuk dirinya sendiri, sebuah istirahat dari dunia yang penuh dengan keajaiban dan kekuatan besar.
Lysandra, yang selalu bersemangat mengejar pengetahuan, menemukan ketenangan dalam kesendirian dan buku. Kembali ke rumahnya di kota, dia sering menghabiskan waktu di perpustakaan pribadi keluarganya, membaca berbagai buku yang berisi sejarah, teori, dan filosofi, semua hal yang sering ia pelajari selama di Akademi Waktu.
Namun, kali ini, ia tidak hanya membaca untuk mencari jawaban, tetapi juga untuk merenung. Dia memikirkan semua yang telah dia alami, tentang Voidwalkers, tentang kekuatan yang mereka temukan di dalam diri mereka, dan tentang dimensi yang terancam runtuh. Meskipun ia bisa mengendalikan waktu, ia tahu bahwa kekuatan itu adalah pedang bermata dua. Dunia Aetheris tidak siap untuk mengenal mereka sebagai sosok yang dapat mengubah kenyataan, dan Lysandra merasa bahwa terlalu banyak pengetahuan juga bisa menjadi beban.
Pada suatu sore yang tenang, setelah membaca buku tebal yang berisi sejarah peradaban kuno Aetheris, Lysandra duduk di balkon rumahnya, memandang matahari terbenam. Ia tidak perlu berbicara dengan siapa pun; hanya dengan melihat langit yang berubah warna, ia merasa damai. Tidak ada pertarungan, tidak ada ancaman yang menggantung di atas kepalanya. Hanya kedamaian, dan itu cukup untuk sementara waktu.
Riven, yang memiliki jiwa petualang, merasa tenang ketika berada di luar ruangan, menguji batas-batas fisiknya. Meskipun di dunia Aetheris sihir dan kekuatan magis tidak bisa begitu saja digunakan dengan bebas, dia masih memiliki keterampilan bela diri yang telah dia pelajari sepanjang hidupnya. Dia sering berlatih di sebuah lapangan terbuka yang terletak di luar kota. Di sana, dengan bantuan pedang dan tombaknya, ia mengasah teknik bertarungnya.
Namun, kali ini, berlatih bukan hanya tentang mempertajam keahlian bertarung, tetapi juga tentang menemukan kembali rasa keseimbangan dalam dirinya. Riven mengingat kembali saat-saat di Akademi Waktu ketika dia harus melawan makhluk-makhluk mengerikan dan berjuang untuk menjaga teman-temannya tetap aman. Meskipun dia bisa mengendalikan waktu dan dimensi, dia sadar bahwa ia juga harus menjaga fisiknya tetap kuat.
Setelah beberapa jam berlatih, Riven duduk di tepi lapangan, menarik napas panjang. Ia menatap langit, merasakan angin yang sejuk menyentuh kulitnya. Dia tahu perjalanan mereka belum selesai, tetapi untuk saat ini, ia merasa puas. Ia tahu bahwa ketenangan bisa ditemukan dalam gerakan, dalam fokus, dan dalam kedamaian yang datang setelah latihan panjang.
Lianara selalu merasa nyaman berada di rumah, dikelilingi oleh keluarganya. Setelah lama berada di Akademi Waktu, kembali ke rumah memberi rasa damai yang sulit diungkapkan. Dia menghabiskan waktu dengan ibunya di dapur, membantu menyiapkan makanan, atau bermain dengan adiknya di halaman rumah mereka. Meskipun rumah mereka sederhana, suasana hangat dan penuh kebersamaan membuatnya merasa tenang.
Suatu hari, saat sedang duduk bersama keluarganya di ruang makan, Lianara tersenyum bahagia. Dia menyadari betapa pentingnya waktu bersama orang-orang yang dia cintai. Mereka tidak tahu apa yang telah dia alami di Akademi Waktu, namun bagi Lianara, tidak ada yang lebih berharga daripada kebersamaan mereka. Meskipun dunia di luar sana penuh dengan ancaman yang mengintai, di sini, dia merasa aman. Dunia Aetheris bisa saja berubah, tetapi keluarga adalah tempat yang selalu bisa diaandalkan.
Varic, meskipun berasal dari keturunan Aric dan hidup dalam keluarga yang terhormat, lebih memilih untuk menyendiri di desa terpencil tempat keluarganya tinggal. Desa ini dikelilingi oleh alam yang tenang, dan bagi Varic, ini adalah tempat di mana ia bisa melepaskan beban yang dibawanya. Meskipun keluarganya memiliki bisnis besar yang mencakup seluruh dunia Aetheris, Varic merasa lebih nyaman di tengah kedamaian desa yang jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.
Pada suatu pagi, saat matahari baru saja terbit, Varic berjalan di sekitar desa, menghirup udara segar. Tanpa ada yang mengganggu, ia bisa berpikir jernih. Dia tahu bahwa dirinya memiliki tanggung jawab besar, tetapi untuk saat ini, ia memilih untuk menikmati momen ini. Desa ini, dengan keheningannya, memberikan rasa tenang yang tidak bisa dia temukan di tempat lain.
Di sana, Varic duduk di sebuah bangku tua di tepi sungai yang mengalir perlahan, menatap air yang memantulkan cahaya matahari. Dalam diam, dia meresapi kehidupan yang tenang, jauh dari konflik yang pernah mereka hadapi di Akademi Waktu. Mungkin di masa depan, dunia mereka akan kembali menghadapi ancaman, tetapi untuk sekarang, Varic merasa puas dengan kedamaian yang dia rasakan.
Setelah berbulan-bulan menjalani kehidupan yang penuh tantangan dan petualangan di Akademi Waktu, para teman-teman Kael, Lysandra, Riven, Lianara, dan Varic merasa bahwa mereka sangat membutuhkan waktu untuk bersantai dan melepaskan diri dari segala tekanan yang ada. Walaupun mereka kembali ke kehidupan normal di dunia Aetheris, mereka tahu bahwa ada banyak hal yang harus mereka jaga, dan tanggung jawab besar yang mereka pikul.
Namun, meskipun dunia mereka penuh dengan misteri dan bahaya yang tak terduga, mereka memutuskan untuk meluangkan waktu bersama, melepaskan diri sejenak dari segala kewajiban dan menjelajahi dunia Aetheris dengan cara yang berbeda. Mereka merencanakan sebuah liburan bersama, perjalanan yang akan membawa mereka keluar dari rutinitas harian dan memberi mereka kesempatan untuk menikmati kebersamaan tanpa tekanan.
Suatu malam, ketika Kael mengundang teman-temannya untuk berkumpul di rumahnya, mereka duduk bersama di ruang tamu yang hangat, ditemani cahaya api unggun yang menghangatkan ruangan. Kael tersenyum, melihat setiap wajah teman-temannya yang tampak lebih tenang, meskipun masih ada kilatan semangat petualang dalam mata mereka.
"Aku rasa sudah saatnya kita merencanakan sesuatu yang menyenangkan," kata Kael, memecah keheningan malam. "Kita semua sudah melalui banyak hal, keputusan besar, pertarungan, dan tugas berat. Tapi untuk sekali ini, bagaimana kalau kita pergi ke tempat yang jauh, jauh dari semua masalah ini?"
Lysandra, yang duduk di dekat jendela sambil menatap langit malam, menoleh dan menyeringai. "Kau tahu, itu ide yang menarik, Kael. Liburan, ya? Setelah semua yang terjadi, kita semua butuh sedikit pelarian."
Riven, yang duduk di pojok ruangan dengan ekspresi serius, mengangguk setuju. "Kita sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama tanpa tekanan. Tidak ada ancaman Voidwalkers, tidak ada dimensi yang runtuh, hanya kita, teman-teman yang bersenang-senang."
Lianara tersenyum lebar, mengingat bagaimana mereka selalu bisa mengandalkan satu sama lain selama masa-masa sulit. "Aku setuju. Tapi kemana kita pergi? Dunia Aetheris memiliki begitu banyak tempat indah yang belum kita eksplorasi."
Varic, yang biasanya lebih pendiam, kali ini berbicara dengan antusias. "Aku pernah mendengar tentang tempat-tempat di luar negeri yang indah, pantai yang sangat tenang dan kota-kota yang penuh sejarah. Aku bisa mencari tahu lebih banyak."
Kael mengangguk, lalu membuka peta dunia Aetheris yang ada di meja tengah. "Apa pendapat kalian tentang sebuah perjalanan ke luar negeri? Kita bisa mengunjungi tempat yang belum pernah kita lihat sebelumnya, saatnya melihat dunia ini dari sisi yang berbeda."
Malam itu, mereka mulai merencanakan destinasi mereka. Meskipun dunia Aetheris tidak mengenal sihir seperti di Akademi Waktu, dunia ini memiliki berbagai tempat eksotis dan luar biasa yang bahkan para pengembara dan petualang pun jarang bisa lihat. Dari pegunungan tinggi hingga pantai yang tak tersentuh, banyak tempat yang menawarkan kedamaian dan keindahan.
"Apa pendapat kalian tentang pulau-pulau Tiaris?" tanya Lianara, menatap peta yang terbuka di depan mereka. "Ada banyak pantai indah, tempat yang sempurna untuk beristirahat. Selain itu, suasananya sangat damai—aku rasa kita bisa menikmati waktu di sana."
Riven menambahkan, "Tiaris terdengar bagus, tapi aku juga mendengar tentang kota kuno Helon, sebuah kota yang dibangun di atas tebing dengan pemandangan luar biasa. Di sana, kita bisa belajar lebih banyak tentang sejarah dunia ini, tetapi juga bersantai menikmati keindahan alam."
Lysandra menyeringai, seolah memikirkan sesuatu yang lebih eksotis. "Aku lebih suka tempat yang sedikit lebih tenang, kita bisa pergi ke Liora, sebuah desa yang terletak di tengah hutan purba. Tidak ada keramaian, hanya alam dan udara segar."
Varic, yang lebih tahu tentang tempat-tempat terpencil, berkata, "Aku pernah mendengar tentang sebuah wilayah di wilayah timur—Lembah Hendra. Banyak tempat yang masih belum terjamah di sana. Bisa jadi tempat yang bagus untuk kita semua beristirahat, jauh dari segala keributan."
Mereka saling berpandangan, merenungkan opsi yang ada. Kael mengangguk setuju. "Semua tempat itu terdengar menarik. Mungkin kita bisa mulai dengan pulau Tiaris, menikmati pantai dan ketenangan, lalu melanjutkan perjalanan ke tempat lain jika kita merasa ingin lebih banyak petualangan."
Setelah berdiskusi lebih lanjut, mereka akhirnya sepakat untuk memulai perjalanan mereka di Pulau Tiaris, sebuah tempat yang dikenal dengan pasir putihnya yang lembut dan laut yang jernih. Mereka memutuskan untuk menghabiskan beberapa hari di sana, menjelajahi pulau, bersantai di pantai, dan menikmati kebersamaan tanpa kekhawatiran.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan persiapan untuk perjalanan mereka. Meskipun mereka tidak lagi harus khawatir tentang ancaman dari Voidwalkers atau dimensi yang terancam runtuh, mereka tetap harus merencanakan perjalanan mereka dengan hati-hati. Mereka membeli perlengkapan perjalanan, memilih tempat tinggal, dan mempelajari lebih banyak tentang budaya dan tempat yang akan mereka kunjungi.
Kael merasa senang melihat teman-temannya begitu antusias, meskipun mereka semua masih berusaha menjaga kekuatan mereka tetap tersembunyi. Tidak ada sihir, tidak ada manipulasi waktu, hanya mereka, sekelompok teman yang mencari ketenangan dan kebersamaan.
Varic, meskipun berasal dari keluarga yang sangat terhormat, menikmati kesempatan ini untuk melepaskan diri dari dunia bisnis dan segala kewajiban yang ada. Ia merasa bahwa liburan ini adalah cara terbaik untuk lebih mengenal teman-temannya dan menikmati kebersamaan tanpa tekanan.
Lianara yang selalu ceria, memimpin banyak percakapan, dan Riven, yang biasanya lebih pendiam, lebih banyak tersenyum dan berinteraksi. Momen itu, bagi mereka semua, adalah kesempatan untuk melepaskan beban yang selama ini mereka pikul, setidaknya untuk sementara waktu.
Pada hari terakhir sebelum mereka berangkat, Kael mengajak teman-temannya untuk berkumpul sekali lagi, kali ini di taman belakang rumahnya. Mereka duduk bersama di bawah pohon besar yang teduh, sambil menikmati teh hangat yang dibuat oleh ibunya.
"Aku merasa... seperti ini adalah momen yang kita butuhkan," kata Kael dengan penuh rasa syukur. "Kita selalu berjuang bersama, dan sekarang kita bisa bersantai bersama. Tidak ada yang lebih penting daripada ini."
Lysandra, yang duduk di samping Kael, tersenyum. "Aku rasa kita semua membutuhkan waktu untuk berhenti sejenak, menikmati hidup tanpa harus memikirkan dunia yang terancam hancur."
Riven, dengan wajah yang lebih ringan, mengangguk. "Ya, kita butuh ini. Kadang-kadang, hidup bukan hanya tentang bertahan atau melawan, tapi tentang menikmati saat-saat kecil yang membuat kita merasa hidup."
Varic, yang biasanya lebih tertutup, berbicara dengan serius, "Aku setuju. Ini kesempatan kita untuk merasakan kebahagiaan dalam keheningan, tanpa harus takut akan ancaman yang datang dari luar."
Mereka semua saling bertukar pandang, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka merasa seolah beban berat yang mereka pikul selama ini bisa sedikit terangkat. Liburan bersama ini bukan hanya tentang pergi ke tempat baru, tetapi tentang mempererat hubungan mereka dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.
Setelah berhari-hari mempersiapkan perjalanan dan akhirnya berangkat menuju Pulau Tiaris, kelompok Kael, Lysandra, Riven, Lianara, dan Varic tiba di tujuan mereka. Mereka telah menempuh perjalanan laut yang cukup panjang, dan sekarang mereka berlabuh di sebuah pelabuhan kecil yang mengarah ke pantai berpasir putih yang terkenal di Pulau Tiaris.
Namun, begitu kaki mereka menginjakkan diri di tanah pulau yang indah itu, mereka segera merasakan ada sesuatu yang aneh. Pulau itu, yang seharusnya menjadi tempat yang damai dan menyenangkan, ternyata memiliki atmosfer yang berbeda. Udara terasa lebih berat, dan meskipun pemandangan pantainya menawan, ada aura yang tidak biasa menyelimuti pulau itu.
"Sepertinya tidak seperti yang kita bayangkan," kata Lianara sambil menatap sekitar, mencoba mencari tahu apa yang tidak beres.
Mereka memasuki sebuah kota kecil di tepi pantai, yang seharusnya menjadi tempat wisata yang tenang dan ramah. Namun, sesampainya di sana, mereka disambut oleh pemandangan yang jauh berbeda dari harapan mereka. Banyak orang yang tampaknya lebih kasar dan berpakaian serba hitam, dengan ekspresi wajah yang tajam dan penuh kewaspadaan. Beberapa di antara mereka terlihat memegang senjata, pedang, belati, bahkan senjata berat lainnya, seperti para prajurit yang bersiap untuk berperang.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Lysandra dengan suara pelan, namun heran. "Ini tidak seperti tempat liburan yang kita bayangkan."
Varic yang berada di paling depan, merasakan ketegangan yang semakin meningkat. "Ini... tidak seperti yang aku dengar tentang Tiaris. Tempat ini... tampaknya dihuni oleh para prajurit bayaran."
"Prajurit bayaran?" tanya Kael, memutar badan dan mengamati lebih dekat para penduduk yang tampaknya lebih memilih untuk berdiam di luar keramaian, atau tampak sedang berlatih dengan senjata. "Kenapa mereka ada di sini?"
Riven yang selalu waspada, mengerutkan keningnya. "Sepertinya ada lebih banyak yang terjadi di pulau ini daripada yang kita ketahui. Tidak ada yang kelihatan seperti wisatawan."
Ketika mereka berjalan lebih jauh, mereka melihat tanda-tanda yang semakin menguatkan dugaan mereka: sebuah gedung besar yang terletak di ujung kota, dengan beberapa prajurit berpakaian seragam yang tampaknya tidak hanya bertugas menjaga, tetapi juga mengawasi orang-orang di sekitar mereka. Di atas gedung itu, terpasang sebuah bendera merah darah yang menandakan sebuah kelompok yang cukup besar dan terorganisir.
"Prajurit bayaran biasanya beroperasi di daerah yang lebih terpencil," kata Varic, berbicara dengan serius. "Mereka lebih sering disewa untuk melindungi atau menyerang demi uang. Tapi, mereka tidak biasanya menetap di tempat seperti ini. Ada yang tidak beres di sini."
Mereka memutuskan untuk mendekati salah satu penjaga di pelabuhan untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang apa yang terjadi di pulau itu. Seorang pria bertubuh kekar dengan mata yang tajam dan tatapan penuh curiga menghalangi mereka saat mereka mencoba berbicara.
"Ke mana kalian ingin pergi?" pria itu bertanya, suaranya berat dan tegas.
Kael mengambil napas dalam-dalam dan mencoba untuk tetap tenang. "Kami hanya mencari tempat yang tenang, untuk beristirahat. Kami mendengar bahwa Pulau Tiaris adalah tempat yang indah untuk berlibur."
Pria itu menatap mereka dengan mata penuh kecurigaan. "Indah? Mungkin. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk berlibur. Pulau ini sedang tidak dalam keadaan damai. Ada banyak yang terjadi di sini, kalian tidak akan menemukan apa yang kalian cari di tempat ini. Lebih baik kalian segera pergi."
"Kenapa?" tanya Riven, mencoba mencari tahu lebih dalam. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Pria itu menatapnya sejenak, sebelum akhirnya bergumam, "Prajurit bayaran yang datang ke sini bukan hanya untuk menjaga. Mereka terlibat dalam konflik yang lebih besar. Ada kelompok yang berlindung di sini, dan mereka selalu mencari uang untuk membiayai perang mereka. Pulau ini jadi tempat bertahan mereka. Kalau kalian tidak ingin masalah, sebaiknya kalian pergi."
Lianara, yang tidak suka terjebak dalam situasi seperti ini, berbicara dengan nada tajam, "Kami tidak berencana untuk bertempur dengan siapa pun. Kami hanya ingin berlibur. Jadi, beri kami sedikit informasi, apakah ada tempat yang aman untuk beristirahat?"
Pria itu mengangguk, meskipun masih terlihat tidak senang. "Jika kalian ingin menginap, pergi saja ke penginapan dekat pelabuhan. Tapi ingat, jaga jarak dengan penduduk di sini. Mereka lebih banyak yang bekerja untuk kelompok prajurit bayaran dan lebih memilih untuk tidak berurusan dengan orang luar."
Setelah mendapatkan petunjuk, mereka memutuskan untuk pergi ke penginapan yang disebutkan oleh pria itu. Mereka berjalan menuju tempat itu dengan langkah hati-hati, menatap sekitar dengan waspada. Sesampainya di penginapan, mereka melihat ada beberapa prajurit bayaran yang duduk di sekitar meja, meminum minuman keras dan tertawa keras. Tempat itu tampaknya dipenuhi oleh orang-orang yang tidak ingin diakui, dari berbagai kalangan, tentara, pedagang, dan bahkan orang-orang dengan latar belakang yang lebih misterius.
Malam pun datang, dan meskipun mereka merasa sedikit cemas tentang situasi yang mereka hadapi, mereka tetap memutuskan untuk tinggal di penginapan tersebut. Namun, mereka sangat berhati-hati. Rencana mereka untuk berlibur dan menikmati ketenangan sepertinya akan tertunda, pulau ini tidak menawarkan apa yang mereka harapkan.
Sambil menikmati makan malam yang sederhana di penginapan, Kael berbicara dengan serius, "Kita harus berhati-hati. Pulau ini bukan tempat yang aman seperti yang kita kira. Prajurit bayaran ini bisa berbahaya. Kita harus terus waspada dan tidak terbawa suasana."
Lysandra menatap sekeliling dengan penuh perhatian. "Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa kelompok ini begitu banyak? Apa yang mereka inginkan?"
Varic, yang lebih tahu tentang dunia yang lebih gelap, menjawab dengan tenang, "Ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di sini. Mereka mungkin sedang mengatur sesuatu yang akan mempengaruhi lebih dari sekadar pulau ini."
Lianara menyandarkan dirinya pada kursi, tampak kecewa. "Jadi ini liburan kita? Bersembunyi dari prajurit bayaran?"
Riven menggelengkan kepala. "Kita bisa pergi kapan saja. Tapi kita perlu mencari tahu apa yang sedang terjadi di sini. Kita tidak bisa hanya mengabaikannya."
Sementara mereka duduk di meja, berbicara dengan serius tentang rencana mereka, mereka tiba-tiba mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari pintu penginapan. Pintu terbuka, dan seorang prajurit bayaran tinggi besar masuk, membawa aroma alkohol yang kuat. Matanya langsung menatap mereka, penuh kecurigaan.
"Baru datang ke pulau ini, ya?" katanya dengan suara berat. "Jangan coba-coba ikut campur dengan urusan kami, atau kalian akan menyesal."
Dengan ekspresi yang tidak terlalu ramah, dia melangkah lebih dekat. Kael, Lysandra, Riven, dan yang lainnya saling bertukar pandang. Ini tidak akan menjadi liburan yang mereka harapkan.
Malam itu, suasana di penginapan semakin tegang. Kael, Lysandra, Riven, Lianara, dan Varic duduk di meja mereka, mencoba mengatur langkah selanjutnya setelah peringatan dari prajurit bayaran yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Mereka tahu, meskipun liburan ini telah berubah menjadi sebuah tantangan, mereka harus tetap menjaga kewaspadaan. Tapi dalam hati mereka, masih ada rasa ingin tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini, dan apakah mereka bisa tetap tenang tanpa terlibat terlalu jauh.
Pria besar yang baru saja masuk ke penginapan itu, seorang prajurit bayaran dengan tubuh kekar dan wajah yang keras, berjalan mendekat ke meja mereka. Mata tajamnya memandang mereka dengan penuh kecurigaan, namun Kael tidak terpengaruh. Mereka semua tahu betul bahwa mereka lebih dari mampu menghadapi satu atau dua prajurit biasa, apalagi di antara mereka terdapat kekuatan manipulasi waktu dan dimensi.
"Dengar, aku hanya ingin memberitahu kalian satu hal," prajurit itu berkata, suaranya berat dan mengancam. "Tempat ini bukan untuk orang-orang lemah. Kami punya urusan kami sendiri, dan kalian lebih baik tetap berada di tempat kalian, atau kalian akan menyesal."
Lysandra melirik Kael, lalu menghela napas. "Jika dia terus berbicara seperti itu, aku rasa kita harus menunjukkan siapa yang sebenarnya harus menyesal," katanya dengan nada setengah mengejek, meski tetap waspada.
Kael, yang selalu lebih tenang dalam menghadapi situasi seperti ini, tersenyum tipis. "Lysandra, sabar. Kita tidak perlu terlibat dalam urusan mereka. Mereka tampaknya hanya ingin menakut-nakuti kita. Jangan beri mereka alasan untuk menguji kemampuan kita."
Namun, saat prajurit bayaran itu melangkah lebih dekat, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tanpa memberikan peringatan lebih lanjut, prajurit itu melontarkan kata-kata sinis, "Kalian benar-benar pikir bisa mengalahkan kami? Apa kalian pikir kalian lebih hebat hanya karena kalian terlihat berbeda? Kalau kalian ingin bermain, kami siap memberikan pelajaran."
Senyum tipis terbentuk di wajah Kael, dan dia berdiri perlahan. "Tidak perlu mengancam. Kalau kalian ingin bertarung, kami lebih dari siap."
Lysandra menatap Kael, kemudian memandang ke Riven dan Lianara yang sudah bersiap. Mereka tahu ini bisa berujung pada pertarungan, tetapi mereka juga tahu bahwa situasi ini tidak akan sulit bagi mereka. Mereka semua memiliki kemampuan yang lebih besar dari yang tampak, dan mereka tidak berniat membiarkan prajurit bayaran ini meremehkan mereka.
Prajurit itu, melihat Kael yang tenang dan seolah tidak takut, mulai tersenyum sinis. "Kalian pikir ini permainan, ya? Kami bukan anak kecil yang bisa kalian taklukkan dengan kekuatan kalian yang teramat lemah itu."
Namun, begitu dia maju untuk memulai pertempuran, sesuatu yang aneh terjadi. Kael, yang telah mengendalikan waktu dan dimensi selama berbulan-bulan, memutuskan untuk memberi mereka sedikit pelajaran tanpa menggunakan kekuatan penuh mereka.
Dengan satu gerakan cepat, Kael mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, dan dalam sekejap, waktu seakan-akan melambat. Pria besar itu terhenti di tempatnya, langkahnya tiba-tiba terasa seperti berlari di lumpur. Riven, yang berada di dekatnya, hanya tersenyum kecil. "Kau benar, itu bukan pertarungan yang pantas untuk orang dewasa," kata Riven, dengan nada santai, lalu menendang kursi di depan prajurit itu sehingga membuatnya terjatuh.
"Eh, apa yang terjadi?" prajurit itu berteriak, mencoba bangkit, namun setiap gerakannya terasa lambat, seolah tubuhnya tidak bisa bergerak normal. Waktu telah dihentikan sejenak, membuatnya seperti berada dalam mimpi yang buram.
Lianara, yang juga sudah tidak sabar, menoleh pada teman-temannya, lalu berkata dengan nada tak kalah mengejek, "Kau benar-benar merasa lebih hebat hanya karena mengenakan baju perang itu?" Dia melangkah maju dan dengan mudah mengangkat tangan prajurit itu, lalu memutar tubuhnya seolah dia hanya seberat angin, membuat prajurit itu terhuyung mundur, jatuh ke tanah dengan keras.
Para prajurit bayaran yang ada di sekitar mereka mulai berdiri, melihat apa yang terjadi. Beberapa dari mereka tampak terkejut, sementara yang lain mulai menyadari bahwa Kael dan teman-temannya bukanlah lawan yang mudah. Satu prajurit lain, yang sepertinya lebih berpengalaman, mencoba untuk melangkah maju dan menantang mereka. "Jangan terlalu sombong! Kami lebih dari sekadar tentara biasa!"
Varic, yang jarang menunjukkan emosinya, hanya mengangkat bahunya. "Jika kalian ingin bertarung, kami bisa memberinya pelajaran. Tapi hanya jika kalian merasa ini layak," katanya, dengan suara yang lebih terdengar seperti peringatan daripada ancaman.
Sementara itu, Kael dan yang lainnya tidak bergerak. Mereka hanya berdiri santai, menunjukkan bahwa mereka tidak terpengaruh dengan ancaman apa pun. Dalam beberapa detik, prajurit bayaran yang lebih muda itu akhirnya sadar bahwa mereka sedang tidak berhadapan dengan musuh biasa.
Salah seorang prajurit yang lebih tua, dengan wajah lebih serius, akhirnya angkat bicara. "Cukup! Kalian memang tidak seharusnya diremehkan. Tapi kami bukan musuh kalian. Cobalah untuk tidak terlalu menarik perhatian. Pulau ini bukan tempat untuk bermain-main."
Dengan kekuatan mereka yang luar biasa, Kael dan teman-temannya berhasil menunjukkan kepada prajurit bayaran itu bahwa mereka tidak boleh dianggap remeh. Namun, mereka juga tahu bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk memperlihatkan kemampuan penuh mereka. Liburan mereka sudah berubah menjadi sesuatu yang lebih besar dari yang mereka bayangkan, dan mereka menyadari bahwa meskipun mereka lebih kuat dari para prajurit ini, mereka tetap harus berhati-hati agar tidak menambah masalah yang lebih besar.