Chereads / AKADEMI WAKTU / Chapter 32 - CHAPTER 32

Chapter 32 - CHAPTER 32

Setelah insiden singkat dengan para prajurit bayaran yang tampaknya lebih suka mengintimidasi daripada bertarung sungguhan, Kael, Lysandra, Riven, Lianara, dan Varic memutuskan untuk melanjutkan rencana mereka. Mereka tidak ingin membiarkan suasana tegang merusak liburan mereka. Meskipun situasi di Pulau Tiaris lebih rumit daripada yang mereka bayangkan, mereka masih bertekad untuk menikmati waktu mereka sejenak, meskipun dengan sedikit kewaspadaan.

Pagi berikutnya, mereka meninggalkan penginapan dan menuju ke pantai yang terkenal di Pulau Tiaris, Pantai Soraya. Pantai itu terkenal dengan pasir putihnya yang halus, air laut yang jernih, dan pemandangan matahari terbenam yang memukau. Sebuah tempat yang sangat kontras dengan atmosfer pulau yang tegang itu. Mereka berharap bisa merasakan ketenangan yang selama ini mereka dambakan, jauh dari konflik dan kekhawatiran.

Saat mereka tiba di pantai, pemandangan yang menyambut mereka cukup memukau. Ombak yang tenang bergulung dengan lembut, memecah karang-karang di tepi laut yang berkilau di bawah sinar matahari. Pasir putih yang halus tampak seperti hamparan kain sutra, sementara angin laut yang segar bertiup perlahan, membawa aroma asin yang menenangkan. Beberapa wisatawan tampak sedang bersantai, namun tidak banyak—sepertinya Pulau Tiaris lebih banyak dikunjungi oleh orang-orang yang memiliki tujuan tertentu daripada pengunjung biasa.

Kael menghela napas panjang, merasakan udara segar yang begitu berbeda dengan ketegangan yang mereka rasakan beberapa jam sebelumnya. "Akhirnya, tempat yang tenang," katanya sambil melepaskan sepatu botnya dan berjalan ke arah pantai.

Lysandra tersenyum, melangkah ringan di sampingnya. "Aku tidak percaya kita sampai di sini. Lihat itu, Kael!" Dia menunjuk ke arah laut yang tenang, di mana beberapa perahu kecil sedang meluncur di atas air. "Itu terlihat seperti surga."

Riven, yang sudah tidak sabar untuk merasakan ketenangan, langsung berlari menuju air, menggulung celana pendeknya dan melompat ke dalam ombak. "Ayo, kita main air! Siapa takut basah?"

Lianara yang biasanya lebih serius, akhirnya mengangguk setuju, meskipun dengan senyum kecil di wajahnya. "Satu-satunya hal yang harus kita khawatirkan di sini adalah pasir yang masuk ke sepatu."

Varic, yang masih sedikit cemas dengan lingkungan sekitar, melangkah lebih pelan. Namun, dia tak bisa menahan senyum ketika melihat teman-temannya menikmati suasana yang jauh lebih santai. "Aku takkan lari ke dalam air, tapi aku rasa aku bisa menikmati sinar matahari ini."

Mereka semua akhirnya melepaskan ketegangan mereka sejenak dan menikmati keindahan pulau itu. Sambil berjalan di sepanjang pantai, mereka berbicara ringan tentang hal-hal yang mereka lakukan sebelum datang ke Pulau Tiaris, mengingat kenangan di Akademi Waktu, dan tertawa bersama. Walaupun mereka tidak bisa sepenuhnya melupakan ancaman yang ada di sekitar mereka, mereka tahu bahwa untuk saat ini, mereka harus menikmati sedikit kedamaian yang ada.

Setelah beberapa jam bersantai, mereka memutuskan untuk mendirikan sebuah tenda di pantai dan beristirahat sejenak. Angin laut yang hangat membawa kedamaian, dan meskipun mereka tidak bisa sepenuhnya melepaskan kewaspadaan mereka, mereka mulai merasa seperti diri mereka yang lama, teman-teman yang hanya ingin beristirahat, jauh dari kekacauan.

Riven berbaring di atas pasir, menatap langit biru yang cerah. "Aku hampir lupa bagaimana rasanya menikmati matahari," katanya dengan suara santai. "Dulu, di Aetheris, kita lebih sering terjebak dalam rutinitas dan tidak punya waktu untuk berhenti sejenak. Rasanya aneh, tapi menyenangkan."

Lysandra duduk di dekatnya, menatap laut yang berkilau. "Ya, kadang kita terlalu sibuk dengan dunia kita sendiri sampai lupa menikmati yang sederhana. Aku rasa kita butuh lebih banyak waktu seperti ini."

Varic, yang sebelumnya agak terpisah dari yang lain, kini duduk bersama mereka di dekat api unggun kecil yang mereka buat. "Mungkin ini yang kita butuhkan, waktu untuk berhenti sejenak dan benar-benar menikmati keindahan dunia kita. Dunia yang bukan hanya dipenuhi oleh waktu dan dimensi yang kita jaga, tapi juga keajaiban sederhana seperti ini."

Lianara yang duduk sambil mengamati mereka, tersenyum kecil. "Kita masih muda. Kita harus menikmati waktu kita. Meskipun dengan segala hal yang harus kita lakukan, kita juga harus tahu kapan saatnya untuk berhenti dan menikmati hidup."

Mereka semua terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang langka ini. Pantai yang tenang, suara ombak yang lembut, dan langit yang membentang luas seolah mengingatkan mereka bahwa ada banyak hal indah di dunia ini, meskipun terkadang mereka terjebak dalam pertempuran dan konflik.

Saat sore menjelang, matahari mulai tenggelam di cakrawala, mewarnai langit dengan nuansa oranye dan merah yang menakjubkan. Mereka semua berdiri, menghadap ke arah matahari terbenam, menikmati keindahan alam yang jarang mereka rasakan di tengah segala kewajiban mereka.

"Lihat itu," kata Kael, mengangguk ke arah matahari yang tenggelam. "Terkadang kita hanya perlu melihat ke langit dan menyadari bahwa waktu terus berjalan, tidak peduli seberapa keras kita berusaha menghentikannya."

Lysandra tersenyum dan menyandarkan dirinya pada Kael. "Dan di setiap detik yang berlalu, kita bisa memilih untuk menikmati hidup."

Riven menepuk bahu Kael dengan senyum lebar. "Setuju. Kadang-kadang, kita terlalu fokus pada apa yang akan datang, sampai kita lupa untuk hidup di saat ini. Ini adalah saat yang kita punya sekarang. Kita harus menggunakannya dengan bijak."

Mereka semua berdiri diam, meresapi momen itu bersama. Tidak ada ancaman, tidak ada pertarungan, hanya mereka dan dunia yang indah di sekitar mereka. Meskipun mereka tahu bahwa tugas mereka belum selesai, dan konflik di Pulau Tiaris masih membayangi, untuk sekarang mereka menikmati waktu mereka bersama, sebuah liburan yang, meskipun berbeda dari yang mereka bayangkan, tetap memiliki nilai kedamaian tersendiri.

Setelah menghabiskan waktu yang tenang di pantai, di bawah langit yang berubah warna seiring matahari terbenam, Kael dan teman-temannya memutuskan untuk kembali ke penginapan. Hari yang penuh dengan relaksasi dan refleksi itu sudah cukup bagi mereka, meskipun mereka tahu bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya lepas dari kewaspadaan, setidaknya mereka dapat merasa sedikit lebih segar untuk hari-hari berikutnya.

Mereka berjalan kembali melalui jalan setapak yang menurun menuju penginapan, berjalan perlahan-lahan sambil berbincang ringan tentang hal-hal yang lebih santai. Rasa lapar mulai muncul setelah seharian bersantai, dan mereka semua menyadari bahwa mereka belum makan malam.

"Sungguh menyenangkan bisa berjalan tanpa terburu-buru," kata Lysandra sambil mengamati langit yang semakin gelap. "Kadang-kadang aku merasa seperti kita selalu terburu-buru ke suatu tempat."

Riven tertawa pelan, menoleh pada Lysandra. "Itulah yang terjadi saat kalian terbiasa dengan kehidupan penuh petualangan. Tapi aku setuju, aku bisa menggunakan waktu untuk makan enak sekarang."

Lianara yang lebih sering berbicara sedikit lebih serius, menambahkan, "Aku ingin makan sesuatu yang sederhana, tapi memuaskan. Sesuatu yang kita nikmati tanpa harus memikirkan apa pun."

Varic, yang sepanjang perjalanan kembali sedikit lebih diam, akhirnya angkat bicara. "Aku berharap makanan di penginapan ini cukup baik. Jika tidak, aku akan meminta mereka memperbaikinya," ujarnya dengan nada serius namun tak mengancam, mengingatkan bahwa meskipun mereka bersantai, Varic tidak pernah meninggalkan perhatian pada hal-hal kecil.

Setibanya di penginapan, mereka disambut oleh aroma makanan yang menggoda, dan suasana hangat dari lampu-lampu redup yang menghiasi ruang makan. Beberapa pengunjung lain sudah duduk dan menikmati makan malam mereka, memberikan suasana yang nyaman dan tidak terlalu ramai. Penginapan ini tidak besar, tetapi cukup menyambut, dengan dekorasi yang sederhana namun elegan.

Mereka duduk di meja besar yang sudah disiapkan untuk mereka. Seorang pelayan datang membawa menu, dan mereka memesan dengan cepat, beberapa di antaranya memilih hidangan laut segar yang terkenal di pulau ini, sementara yang lain memilih hidangan daging panggang yang lebih mengenyangkan.

Sambil menunggu makanan mereka, suasana semakin santai. Kael melepaskan napasnya perlahan, duduk dengan punggung tegak, namun wajahnya lebih rileks. "Aku rasa kita berhak menikmati waktu ini," katanya. "Mungkin ini adalah saat terakhir yang kita punya sebelum kembali menghadapi tantangan yang lebih besar."

Lysandra mengangguk, menyandarkan dirinya pada sandaran kursi. "Aku setuju. Kita mungkin tidak tahu apa yang akan datang, tapi selama kita bisa bersama, aku rasa kita bisa menghadapi apa saja."

Riven menatap langit-langit dengan senyum kecil. "Jangan terlalu khawatirkan masa depan. Kalau kita terlalu memikirkan apa yang akan datang, kita akan lupa menikmati perjalanan yang sedang kita jalani."

Mereka terus berbicara ringan, mengingat kenangan masa lalu dan saling berbagi cerita tentang dunia mereka masing-masing, sebuah kebiasaan yang membuat mereka merasa lebih dekat.

Tak lama setelah itu, makanan yang dipesan tiba. Pelayan membawa piring-piring penuh dengan hidangan laut segar, daging panggang dengan saus beraroma, dan sayuran segar yang tampaknya baru dipetik dari kebun lokal. Aroma yang keluar dari piring-piring tersebut langsung menggugah selera mereka.

"Ini luar biasa," kata Lianara dengan mata yang berbinar. "Akhirnya makanan yang benar-benar enak."

Kael tertawa kecil, mencicipi hidangan laut yang lembut dan kaya rasa. "Aku tidak tahu bagaimana kalian merasa, tapi aku rasa kita sudah layak mendapatkan makan malam ini setelah semua yang kita lalui."

Mereka makan dengan lahap, berbincang sedikit tentang strategi masa depan, tapi lebih banyak bercanda dan tertawa. Beberapa kali, Varic yang lebih sering mengamati suasana diam-diam tersenyum melihat teman-temannya menikmati momen sederhana ini.

Setelah makan malam, mereka memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing. Kelelahan mulai terasa, tubuh mereka merespons liburan yang lebih santai ini. Namun, meskipun tubuh mereka lelah, pikiran mereka tetap penuh dengan perasaan tenang dan damai, setidaknya untuk malam ini.

Kael berdiri, mengangkat cangkir teh yang baru diseduh. "Malam ini, mari kita nikmati kedamaian ini. Tidak perlu terburu-buru, tidak perlu khawatir. Kita hanya perlu tidur dan bersiap untuk hari besok."

Lysandra mengangguk, senyum lembut di wajahnya. "Kamu benar. Kita punya waktu, dan kita bisa menantikan apa yang akan datang tanpa takut."

Mereka berpisah menuju kamar mereka masing-masing, mengucapkan selamat malam satu sama lain. Kael dan yang lainnya, meskipun berada dalam dunia yang penuh ancaman dan tantangan, untuk malam ini merasakan ketenangan yang jarang mereka dapatkan.

Malam itu, di bawah atap yang sama, di sebuah pulau yang jauh dari rumah mereka, mereka merasa sedikit lebih ringan. Meskipun pertempuran dan ancaman mungkin kembali datang besok, untuk sekarang mereka bisa tidur dengan damai, mengetahui bahwa mereka masih memiliki satu sama lain dan bahwa kadang-kadang, kedamaian itu sendiri adalah hadiah yang paling berharga.

Malam di Pulau Tiaris tampak damai, dengan langit yang dipenuhi bintang dan suara ombak yang memecah di pantai. Kael, Lysandra, Riven, Lianara, dan Varic baru saja berbaring di tempat tidur masing-masing setelah menikmati waktu santai di pantai. Ketenangan malam itu terasa sempurna, seolah-olah segala kecemasan yang pernah mereka hadapi di masa lalu bisa dibiarkan hilang. Namun, seperti biasa, ketenangan ini tidak berlangsung lama.

Di luar penginapan, beberapa sosok yang bergerak dengan hati-hati, mengenakan pakaian hitam dan penutup wajah, tengah bergerak menuju bangunan. Mereka adalah prajurit bayaran yang sebelumnya mereka temui di pasar. Tidak bisa menerima kekalahan mereka di pantai, kelompok itu memutuskan untuk membalas dendam dengan cara yang lebih licik: menculik salah satu dari kelompok Kael.

Mereka sudah mengetahui lokasi penginapan tempat Kael dan teman-temannya menginap. Dengan sigap, mereka mulai merencanakan bagaimana menculik satu dari mereka, berharap bisa memeras atau sekadar memberi pelajaran karena merasa dihina. Dengan keahlian mereka yang telah terlatih untuk melakukan aksi diam-diam, mereka yakin ini akan berjalan mulus.

"Ambil salah satu dari mereka. Jangan biarkan mereka melawan," perintah pemimpin kelompok tersebut kepada anak buahnya dengan suara bisik.

Kelompok itu mendekat dengan cepat, berusaha membuka pintu belakang penginapan dengan hati-hati. Mereka berencana menyelinap masuk tanpa menimbulkan keributan. Namun, mereka tidak menyadari bahwa di dalam penginapan, semua mata yang terlatih sedang terjaga.

Di kamar laki-laki, Kael yang sedang berbaring terjaga tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. Meskipun tubuhnya lelah, ada sensasi yang tajam, seolah-olah sesuatu yang buruk sedang mendekat. Suara angin di luar terasa sedikit berbeda, seperti ada yang mengganggu kedamaian malam. Kael menahan napas, mencoba mendengarkan lebih dalam.

Sementara itu, di kamar perempuan, Lysandra terbangun dengan perasaan yang sama, ada sesuatu yang terasa aneh di udara. Walaupun kamar mereka terpisah, ketegangan yang meliputi penginapan itu terasa jelas. Tanpa mengatakan apapun, Kael segera berbisik ke arah Riven, yang tidur di kamar sebelahnya.

"Bangun. Ada yang tidak beres," kata Kael dengan nada serius.

Riven, yang sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, segera merespons, membuka matanya dan mengangguk. "Kita harus memastikan semuanya aman."

Di luar penginapan, para prajurit bayaran itu tengah berusaha membuka pintu belakang penginapan dengan hati-hati. Mereka berusaha dengan cermat dan penuh perhitungan, namun Kael bisa merasakan bahwa mereka belum sepenuhnya waspada terhadap apa yang akan terjadi.

Kael, Lysandra, dan Riven bergerak menuju pintu belakang dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara. Kael mengangkat Kepingan Zaman yang selalu dia bawa dan, dengan konsentrasi, memperlambat waktu sekitar mereka. Efeknya segera terasa, gerakan para prajurit bayaran itu menjadi sangat lambat, seperti mereka bergerak melalui lumpur.

Lysandra, yang mengerti apa yang terjadi, dengan cepat memusatkan energi dimensi di sekeliling mereka, menciptakan sebuah penghalang yang menghalangi jalan keluar para prajurit. Sementara itu, Riven mempersiapkan dirinya, meraih senjatanya dengan gesit.

"Kita pastikan mereka tidak kabur," kata Lysandra, suaranya tenang namun tegas.

Kael mengangguk, kemudian dengan cepat membuka pintu belakang sedikit, melihat kelompok prajurit bayaran yang panik berusaha membuka pintu. "Kalian memilih waktu yang buruk," Kael berkata dengan dingin, meskipun dia tahu para prajurit itu tidak akan bisa bergerak seperti biasanya.

Para prajurit bayaran itu mulai menyadari bahwa mereka sedang terjebak. Meskipun mereka telah terlatih dalam seni penculikan dan pertempuran diam-diam, mereka tidak bisa melawan kekuatan Kael yang mampu memanipulasi waktu. Gerakan mereka semakin melambat, dan suasana yang tadinya terasa mudah untuk dikendalikan kini berbalik menjadi kacau.

Pemimpin kelompok itu menggeram marah. "Awas, mereka bisa mengendalikan waktu! Mundur!" teriaknya kepada anak buahnya, berusaha memimpin mereka melarikan diri.

Namun, secepat mereka mencoba bergerak, mereka terhimpit oleh energi yang diciptakan oleh Kael. Gerakan mereka semakin tertahan, waktu yang seharusnya cepat kini terasa sangat lambat.

Lysandra, yang menyadari para prajurit itu semakin kesulitan, bergerak lebih dekat dengan tenang. "Sudah waktunya kalian menyerah," katanya dengan suara penuh ancaman, menciptakan dinding-dinding dimensi yang menambah kesulitan bagi mereka untuk bergerak.

Riven, yang berada di posisi yang lebih dekat, melangkah maju dengan senjata terhunus. "Kalian tidak akan menang kali ini," katanya dengan tajam.

Para prajurit bayaran itu mulai mundur dengan terburu-buru, memutuskan untuk melarikan diri. Dalam kekacauan, mereka tidak bisa berbuat banyak. Beberapa dari mereka berusaha melawan, namun kekuatan Kael yang mengendalikan waktu membuat mereka tak mampu bergerak dengan bebas.

"Sudah cukup, kalian akan mundur atau menghadapi lebih banyak lagi," Kael menyatakan, menatap mereka dengan tajam.

Mereka tidak punya pilihan selain melarikan diri. Pemimpin kelompok itu berteriak pada pasukannya, dan dengan cepat mereka berbalik, menyelinap kembali ke dalam kegelapan malam.

Dengan ancaman yang akhirnya mereda, Kael, Lysandra, dan Riven kembali ke penginapan. Meskipun sedikit lelah dan hati-hati, mereka merasa lega bahwa mereka berhasil menghalau penculikan yang hampir terjadi.

Setelah memastikan tidak ada bahaya yang tersisa, mereka menutup pintu dengan hati-hati dan kembali ke kamar mereka. "Malam ini hampir berakhir buruk," kata Kael, meskipun ada rasa puas dalam dirinya karena bisa melindungi teman-temannya.

Lysandra mengangguk. "Kita harus lebih waspada ke depannya. Mereka mungkin akan kembali dengan lebih banyak trik licik."

Kael menatap jendela, merenung. "Mereka mungkin akan kembali, tapi kita tak akan membiarkan mereka mengganggu kita lagi."

Riven hanya tersenyum tipis. "Liburan ini sudah cukup penuh kejutan. Kalau begitu, lebih baik kita tidur dan hadapi besok dengan tenang."

Meskipun ancaman malam itu telah berakhir, mereka tahu bahwa hidup mereka akan selalu dipenuhi dengan bahaya yang mengintai di luar sana. Namun, malam ini, mereka berhasil menjaga kedamaian, untuk sementara.

Keesokan harinya, setelah malam yang penuh ketegangan, Kael, Lysandra, Riven, Lianara, dan Varic berkumpul di ruang tengah penginapan, merenung tentang apa yang baru saja terjadi. Mereka tak ingin terus-menerus merasa terancam oleh kelompok prajurit bayaran yang jelas-jelas ingin membalas dendam. Namun, lebih dari itu, mereka juga merasa bahwa mereka bisa memanfaatkan situasi ini untuk tujuan yang lebih besar.

Kael memulai percakapan dengan nada serius. "Mereka pasti akan kembali lagi, tapi kali ini, kita tidak akan hanya bertahan. Kita harus memberikan mereka pelajaran yang lebih berharga, dan mengendalikan situasi ini sepenuhnya."

Lysandra mengangguk, wajahnya menunjukkan keinginan yang sama. "Kita bisa memanfaatkan kelemahan mereka. Kalau mereka ingin membuat kita takut dengan penculikan, kenapa tidak kita balas dengan membuat mereka takut? Tapi kali ini, kita harus bermain di permainan mereka."

Riven, yang dari awal sudah terbiasa dengan strategi dan permainan pikiran, tersenyum tipis. "Mereka pikir kita mudah dikuasai, tapi mereka tidak tahu bahwa kita sudah mempersiapkan sesuatu. Mengalahkan mereka dengan cara mereka, itu bisa menjadi senjata yang sangat ampuh."

Varic, yang lebih banyak tinggal di desa terpencil, tampaknya tidak begitu tertarik dengan taktik langsung, tetapi dia tahu bahwa pertempuran dengan kelompok seperti ini tak bisa hanya dihadapi dengan kekuatan fisik semata. "Bagaimana jika kita membuat mereka merasa bahwa kita lebih lemah dari yang mereka kira?" kata Varic. "Mereka mungkin terlalu percaya diri."

"Ya, kita akan bermain dengan ketakutan mereka," Kael menyetujui. "Kita buat mereka percaya bahwa kita terperangkap, bahwa kita tidak tahu apa yang mereka rencanakan. Lalu, di saat yang tepat, kita balas dengan serangan yang jauh lebih mematikan."

Lianara, yang selalu siap untuk pertempuran, menunjukkan strategi yang lebih langsung. "Kita bisa membuat jebakan untuk mereka. Terutama jika mereka menyerang di tempat yang kita pilih."

Dengan rencana yang sudah diputuskan, mereka merencanakan langkah-langkah taktis mereka. Kael akan memanipulasi waktu dengan lebih cermat, memperlambat atau mempercepat langkah prajurit bayaran sesuai kebutuhan. Lysandra akan memanfaatkan kekuatan dimensi untuk mengelabui mereka, membuat para prajurit bayaran merasa terjebak dan bingung.

Riven dan Lianara, yang lebih terampil dalam pertarungan fisik, akan bersiap menghadapi mereka secara langsung. Sementara itu, Varic akan menyembunyikan jejak mereka, seolah-olah mereka sedang menghindari pertemuan, tetapi di balik itu, dia sudah mempersiapkan medan perang yang pas.

Sebelum kelompok prajurit bayaran itu datang, mereka tahu mereka harus menciptakan ilusi bahwa Kael dan teman-temannya sedang berada dalam posisi yang rentan. Oleh karena itu, mereka mulai berpura-pura berperilaku seolah-olah mereka takut, terdesak, dan bahkan mulai menunjukkan ketidakpastian.

Kael mulai mengurangi kehadirannya di luar penginapan. Riven dan Lianara memutuskan untuk terlihat lebih sering terpisah dari grup, membiarkan seolah-olah ada ketegangan di antara mereka. Varic pergi ke pasar dan mulai berbicara dengan beberapa pedagang, seolah-olah mereka tidak lagi merasa aman, mengisyaratkan bahwa mereka mungkin akan segera meninggalkan pulau.

Sementara itu, Lysandra mulai memperlihatkan kecemasan, berpura-pura resah tentang ancaman yang datang dari para prajurit bayaran. Semua ini, tentu saja, adalah bagian dari rencana mereka untuk menipu musuh.

Malam hari tiba, dan saat kelompok prajurit bayaran kembali bergerak untuk menyerang, mereka melihat tanda-tanda bahwa Kael dan teman-temannya sepertinya terpojok. Mereka melacak jejak yang lebih mudah, memasuki jalan-jalan sepi di sekitar penginapan, berharap bisa menangkap salah satu dari mereka tanpa perlawanan berarti.

Namun, mereka tidak tahu bahwa semua itu adalah bagian dari jebakan.

Kael dan teman-temannya menunggu dengan sabar, mempersiapkan posisi mereka. Begitu kelompok prajurit bayaran itu merasa telah memerangkap mereka, tiba-tiba rencana besar mereka dimulai.

Lysandra adalah yang pertama bertindak. Dengan gerakan halus, dia membuka celah dimensi yang membuat para prajurit bayaran terperangkap dalam ruang yang tampaknya tidak berujung. Mereka berlari, namun setiap belokan hanya mengarah kembali ke tempat yang sama, seolah-olah mereka berjalan di dalam lingkaran yang tak pernah berakhir. Ketakutan mulai merayap di hati mereka, menyadari bahwa mereka telah terjebak dalam dunia yang tidak mereka pahami.

"Kenapa kita tidak bisa keluar?!" salah satu dari mereka berteriak, panik. "Ini pasti kerjaan mereka!"

Sementara itu, Kael memanfaatkan kekuatan waktu untuk mempercepat gerakan mereka, membuat setiap upaya pelarian menjadi lebih sia-sia. Di satu sisi, waktu yang terasa berjalan cepat membuat mereka semakin lelah, sementara di sisi lain, gerakan mereka menjadi lambat dan penuh kebingungan. Kael memutar aliran waktu, membuat mereka merasa terjebak dalam dimensi yang berputar.

"Ini adalah permainan kita sekarang," Kael berkata dengan suara rendah, namun tajam. "Kalian yang terlalu sombong."

Riven dan Lianara muncul di tengah-tengah kekacauan itu, menghalangi jalan keluar para prajurit bayaran dengan senjata terhunus. "Kalian sudah cukup mengganggu," kata Riven dengan nada keras.

Para prajurit bayaran, yang sudah panik dan bingung, mulai berusaha bertahan. Namun, semakin lama mereka melawan, semakin sulit bagi mereka untuk bergerak. Waktu yang mereka rasakan semakin berat, dan mereka semakin kelelahan.

Ketika pemimpin kelompok prajurit bayaran mencoba untuk memberi perintah, dia pun merasa kehilangan kendali. "Lari! Kita harus keluar dari sini!" Namun, sudah terlambat. Para prajurit itu mulai menyerah satu per satu, merasakan tekanan yang semakin besar. Mereka sadar bahwa ini adalah pertempuran yang tidak akan mereka menangkan.

Varic muncul di belakang mereka, memblokir jalan keluar terakhir yang tersisa. "Sudah waktunya kalian menyerah," katanya dengan suara yang penuh kemenangan.

Pada akhirnya, kelompok prajurit bayaran itu menyerah, ketakutan akan apa yang baru saja mereka alami. Mereka tak lagi merasa seperti prajurit yang hebat, melainkan hanya sekelompok orang yang terjebak dalam permainan pikiran yang jauh lebih besar dari mereka.

Kael dan teman-temannya berdiri diam, mengamati kelompok prajurit bayaran yang sekarang hanya bisa tertunduk, merasa malu dan patah semangat. "Kalian datang untuk menculik kami, tapi akhirnya kalian yang terjebak," kata Kael dengan dingin, memandang mereka dengan penuh kemenangan.

Lysandra, Riven, dan Lianara saling bertukar pandang, merasa lega bahwa tak ada yang terluka dalam pertemuan ini. Varic hanya mengangkat bahu, seolah-olah semuanya sudah selesai dengan cara yang mereka inginkan.

Namun, mereka tahu ini belum berakhir sepenuhnya. Mereka hanya berhasil mengendalikan situasi ini dengan baik, tetapi ancaman dari kelompok prajurit bayaran bisa saja muncul kembali di waktu yang tidak terduga.

Sementara itu, mereka bisa menikmati kemenangan kecil mereka, menyadari bahwa kadang-kadang, kemenangan terbesar datang bukan dari kekuatan fisik, tetapi dari kecerdikan dan keberanian untuk bermain di permainan yang lebih besar.

Setelah mengalahkan kelompok prajurit bayaran dengan cara yang sangat tak terduga, Kael dan teman-temannya berdiri dengan tenang di tengah kerumunan yang kacau. Mereka sudah berhasil memanipulasi situasi tersebut, mempermainkan prajurit bayaran yang mencoba menculik mereka, dan kini saatnya untuk mengambil langkah berikutnya. Alih-alih meninggalkan mereka begitu saja atau menghukum mereka lebih lanjut, Kael mulai berpikir tentang cara untuk memanfaatkan kelompok itu agar menguntungkan mereka selama sisa liburan.

Lysandra, yang sudah merasakan ketegangan di udara sejak malam pertama, akhirnya berbicara. "Kael, kita bisa memanfaatkan mereka. Mereka jelas sudah terpojok dan tak berdaya. Kenapa tidak kita perintahkan mereka untuk melindungi kita selama sisa liburan ini?"

Riven, yang lebih pragmatis, mengangkat alisnya. "Melindungi kita? Setelah semua ini? Apa mereka benar-benar akan tunduk pada perintah kita begitu saja?"

"Apakah kita punya pilihan lain?" Kael menjawab. "Mereka mungkin tidak akan pernah menyerah begitu saja, tetapi jika kita membuat mereka merasa bahwa kita bisa memberi mereka kesempatan kedua, kita bisa memanfaatkan keterampilan mereka untuk melindungi kita—dan menghindari pertempuran lebih lanjut."

Lianara yang awalnya ragu, akhirnya mengangguk. "Biar aku yang bicara dengan mereka. Kita perlu memastikan mereka tahu bahwa jika mereka menuruti permintaan kita, mereka bisa pergi tanpa masalah. Tapi kalau mereka mencoba melawan lagi, mereka tak akan keluar dari sini hidup-hidup."

Kael, Lysandra, Riven, Lianara, dan Varic kemudian memutuskan untuk menemui kelompok prajurit bayaran itu, yang kini terlihat lebih terpojok dan lemah. Mereka duduk terdiam di sudut penginapan, masing-masing dengan tatapan murung dan kelelahan setelah dipermainkan. Kael memimpin pertemuan ini, matanya yang tajam menatap mereka satu per satu.

"Sudah cukup," kata Kael dengan suara yang tenang namun penuh wibawa. "Kami memberi kalian pilihan: kalian bekerja untuk kami sebagai penjaga, atau kami akan menyerahkan kalian kepada otoritas lokal dan mereka akan memutuskan nasib kalian."

Pemimpin kelompok prajurit bayaran itu menatap Kael dengan marah, tetapi ada ketakutan yang jelas terlihat di matanya. "Kalian pikir kami akan membiarkan diri kami diperintah oleh kalian?" desisnya, tetapi suaranya kali ini lebih lemah daripada sebelumnya.

"Apakah kalian punya pilihan lain?" Kael bertanya lagi, senyuman tipis muncul di wajahnya. "Kalian sudah kalah. Jika kalian mengikuti rencana kami, kalian akan bisa tetap hidup, dan mungkin melanjutkan hidup kalian dengan cara yang lebih baik."

Lysandra menambahkan, "Kami tidak akan menyiksa kalian. Kalian akan bekerja sesuai permintaan kami, melindungi kami selama liburan ini, dan menjauh dari masalah lain. Jika kalian melakukannya dengan baik, kalian bebas pergi begitu semuanya selesai."

Para prajurit bayaran saling bertukar pandang, beberapa di antaranya tampak bingung, sementara yang lain mulai mempertimbangkan tawaran tersebut. Setelah beberapa saat, pemimpin mereka mengangguk perlahan, meskipun dengan wajah penuh kebencian. "Kami akan melakukannya. Tapi ingat, kita tidak akan tunduk selamanya."

Kael tidak merasa perlu menanggapi ancaman itu. "Kami hanya membutuhkan kalian selama beberapa hari. Setelah itu, kalian bebas pergi. Tapi jangan coba-coba melawan.

Sejak saat itu, para prajurit bayaran yang sebelumnya berniat menculik mereka kini berperan sebagai penjaga pribadi Kael dan teman-temannya selama liburan mereka. Meskipun terlihat tegang, mereka mematuhi perintah dengan hati-hati, menjaga jarak yang jelas namun tetap waspada.

Kael dan kelompoknya memutuskan untuk melanjutkan liburan mereka seperti biasa. Mereka tidak mengubah rencana mereka, tetapi kali ini, mereka lebih berhati-hati. Meskipun para prajurit bayaran itu menjaga mereka, tidak ada yang tahu apakah ancaman sebenarnya sudah benar-benar berakhir.

Lianara, yang tidak terlalu senang dengan keputusan ini, tetap berhati-hati dan memantau para penjaga baru mereka setiap saat. "Jangan terlalu percaya pada mereka," kata Lianara dengan suara serius, sambil memeriksa keadaan di sekitar mereka. "Mereka mungkin sudah kalah, tapi itu tidak berarti mereka akan sepenuhnya setia pada kita."

Varic, yang lebih tenang, hanya tersenyum kecil. "Bahkan jika mereka berkhianat, kita bisa menangkap mereka dalam sekejap. Tapi untuk sekarang, kita perlu menjaga ketenangan. Kita sudah cukup mengganggu mereka."

Seiring berjalannya waktu, para prajurit bayaran mulai beradaptasi dengan posisi mereka yang baru. Mereka tahu bahwa mereka berada di bawah pengawasan ketat, dan jika mereka membuat masalah, mereka akan menghadapi konsekuensi yang jauh lebih buruk daripada sebelumnya.

Pada hari-hari berikutnya, Kael dan teman-temannya melanjutkan aktivitas liburan mereka dengan lebih tenang. Mereka mengunjungi lebih banyak tempat di pulau tersebut, kali ini lebih berhati-hati karena mereka tahu ada mata-mata yang mengawasi mereka—meskipun mata-mata itu sekarang bekerja untuk mereka.

Lysandra menikmati pantai, mencoba untuk menenangkan pikirannya setelah semua kejadian yang menegangkan. Riven dan Lianara mencoba bersantai dengan berlatih bersama di luar, meningkatkan keterampilan mereka. Varic lebih sering menghabiskan waktu di sekitar kota, memastikan bahwa tidak ada ancaman yang datang dari luar.

Namun, meskipun mereka dapat menikmati beberapa hari liburan yang lebih damai, mereka tidak bisa menutupi fakta bahwa ada ketegangan yang masih mengintai. Para prajurit bayaran itu mungkin bekerja untuk mereka sekarang, tetapi Kael dan teman-temannya tahu bahwa di dunia ini, segala sesuatunya bisa berubah dalam sekejap.

Di malam hari, saat mereka kembali ke penginapan, Kael berdiri di luar untuk melihat ke langit yang penuh bintang. "Kita harus tetap waspada," katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun. "Kita sudah bermain dengan api, dan meskipun mereka bekerja untuk kita sekarang, ini bisa berbalik kapan saja."

Lysandra berdiri di sampingnya. "Kita akan tetap aman. Mereka tak akan berani melawan kita lagi, karena mereka tahu apa yang kita mampu lakukan."

Kael mengangguk, tetapi matanya tetap tajam. "Tetapi mereka juga tahu bahwa kita bukan satu-satunya yang berbahaya di dunia ini."

Malam itu, meskipun ada penjaga yang berjaga, Kael dan teman-temannya tahu bahwa mereka harus tetap menjaga kewaspadaan. Liburan ini mungkin tidak akan sepenuhnya bebas dari ancaman, tetapi mereka lebih siap dari sebelumnya, dan mereka tahu mereka bisa menghadapi apa pun yang datang.

Selama beberapa hari ke depan, para prajurit bayaran tetap mengikuti perintah mereka, meskipun Kael dan kelompoknya tidak pernah sepenuhnya merasa nyaman. Liburan mereka mungkin telah terganggu oleh kekacauan, tetapi mereka tahu bahwa dalam dunia seperti ini, kedamaian hanyalah sementara, dan mereka harus selalu siap untuk menghadapi tantangan berikutnya.

Pertempuran yang baru saja terjadi di luar penginapan ternyata bukan tentang Kael dan teman-temannya. Meskipun mereka hampir terperangkap dalam serangan yang datang begitu mendalam, ternyata kelompok prajurit bayaran yang baru tiba tidak menargetkan mereka, mereka hanya tersesat dalam pertempuran internal mereka sendiri.

Kelompok prajurit bayaran itu sebenarnya datang untuk menyelesaikan perselisihan dengan kelompok prajurit bayaran lainnya, yang ternyata adalah musuh bebuyutan mereka. Kael dan kelompoknya hanya kebetulan berada di jalur mereka saat mereka berusaha menyerang, dan tanpa sadar, Kael dan teman-temannya menjadi saksi langsung dari pertempuran yang lebih besar.

"Sepertinya mereka bukan datang untuk kita," kata Kael dengan suara rendah setelah melihat gelagat aneh dari para prajurit bayaran yang lebih awal. "Mereka justru saling bertempur."

Lysandra mengerutkan kening, mengamati medan pertempuran. "Mungkin ini konflik lama di antara mereka. Kita hanya kebetulan ada di sini."

"Kelompok ini bukan musuh kita," Riven menambahkan, sedikit bingung namun tetap waspada. "Mereka lebih terfokus pada kelompok prajurit bayaran yang lain."

Ketika Kael dan teman-temannya melihat lebih jelas, mereka menyadari bahwa pertempuran antara dua kelompok prajurit bayaran itu jauh lebih sengit dari yang mereka kira. Pemimpin salah satu kelompok mengamuk, memimpin serangan terhadap kelompok rivalnya. Sedangkan kelompok yang diserang hanya bisa bertahan dan melawan balik dengan sekuat tenaga.

Lianara, yang tidak membawa senjata, hanya berdiri di belakang Kael, mengamati dengan seksama. Meski tanpa senjata, dia tahu betul bahwa kekuatan dalam dirinya jauh lebih memadai untuk mengalahkan kelompok ini dalam sekejap. Bahkan jika hanya mengerahkan sedikit kekuatan, kelompok musuh yang terlatih itu akan kewalahan.

"Lihat bagaimana mereka bertarung," kata Lianara sambil tersenyum tipis. "Begitu lemah dibandingkan kita."

"Saatnya memberi pelajaran," Lysandra berbisik, matanya berkilat.

Namun, Kael mengangkat tangan, menghentikan mereka. "Kita tidak mencari masalah. Biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri."

Sementara itu, pemimpin salah satu kelompok prajurit bayaran yang masih bertahan mulai menyadari bahwa mereka tidak sedang bertarung dengan musuh yang tepat. Mereka menyadari bahwa kelompok yang mereka serang bukanlah musuh mereka.

"Mereka bukan sasaran kita!" teriak pemimpin itu dengan frustasi. "Kami hanya disuruh menangkap mereka!"

Namun, itu sudah terlambat. Kelompok prajurit bayaran yang tersisa, yang mulai panik setelah menyadari kesalahannya, tidak dapat mundur begitu saja tanpa menghadapi akibat. Salah satu dari mereka berteriak, "Jangan biarkan mereka kabur!"

Tetapi Kael, yang sudah mengendalikan waktu dengan baik, segera memperlambat semua gerakan musuh. Gerakan mereka kini terhenti, dan mereka terlihat bergerak lambat seperti dalam mimpi.

Lysandra, yang sudah siap, melompat maju dan dengan gerakan cepat, menghancurkan pertahanan musuh yang terlambat menghindar. Sementara itu, Riven mengarahkan tombaknya, dengan tepat menusukkan ujungnya ke tanah, menyebabkan gelombang kekuatan tak terlihat menghantam para prajurit bayaran yang masih terperangkap dalam waktu yang terhambat.

Lianara, meskipun tidak membawa senjata, tetap efektif dalam situasi ini. Dengan kekuatan yang tidak terlihat, dia memanipulasi aliran energi di sekelilingnya. Hanya dengan mengerahkan sedikit kekuatan, dia membuat gelombang kejut yang membuat beberapa prajurit terjatuh tanpa bisa melawan.

"Sudah cukup," kata Kael, mengangkat tangannya. "Mereka tidak akan bisa bertarung lebih lama."

Dengan kekuatan waktu yang dia kendalikan, Kael mempercepat kembali aliran waktu, memberikan kesempatan pada musuh untuk mundur dengan selamat. Beberapa prajurit bayaran yang masih tersisa, kini dengan langkah terhuyung-huyung, tidak punya pilihan selain mundur, mengetahui bahwa mereka tidak akan bisa menang.

"Pergi!" teriak pemimpin kelompok yang kalah, sebelum akhirnya dia menarik mundur pasukannya. "Kalian menang kali ini, tapi kami akan kembali."

Dengan itu, kelompok prajurit bayaran yang tersisa, meskipun sangat enggan, akhirnya mundur. Mereka tahu bahwa melawan kelompok Kael adalah pertarungan yang sia-sia, dan mereka tidak akan mampu menang melawan kekuatan luar biasa yang mereka miliki.

Lianara menyeringai kecil. "Mereka tidak tahu betapa beruntungnya mereka bisa mundur begitu saja."

"Jika kita terus ikut campur, kita mungkin berakhir dalam perang yang lebih besar," Kael menjawab, matanya tetap waspada. "Untuk saat ini, biarkan mereka pergi. Kita punya waktu untuk menikmati liburan ini."

Setelah pertempuran yang cepat dan tidak terduga itu berakhir, Kael dan teman-temannya merasa lega. Mereka tidak terluka, dan mereka tidak terperangkap dalam konflik yang lebih besar, setidaknya untuk saat ini.

"Semoga ini yang terakhir," kata Lianara sambil menyeka peluh dari dahinya, meskipun dengan senyum tipis yang tak bisa dia sembunyikan.

"Kurasa kita bisa melanjutkan liburan kita sekarang," jawab Lysandra dengan senyum lelah. "Cukup banyak kejutan untuk satu hari."

Kael mengangguk. "Ini memang liburan yang penuh kejutan. Tapi kita masih bisa menikmati waktu kita di sini. Semua hal yang terjadi akan bisa kita atasi nanti."

Mereka kembali ke penginapan, memutuskan untuk beristirahat dan melanjutkan liburan mereka. Meski ketegangan sempat menghantui mereka, mereka tahu bahwa mereka bisa menghadapinya bersama. Dunia mereka mungkin penuh bahaya, tetapi mereka sudah terbiasa menghadapinya dengan kekuatan yang mereka miliki.

Namun, di balik kedamaian sementara itu, Kael tak bisa menahan pikirannya untuk terus berpacu. Setiap langkah mereka bisa berisiko. Ini bukan hanya soal liburan, ada misteri yang lebih besar yang harus mereka hadapi di masa depan.

Setelah pertempuran singkat yang mengganggu liburan mereka, Kael dan teman-temannya kembali melanjutkan rencana mereka untuk menikmati waktu mereka di luar negeri. Mereka memutuskan untuk berkeliling lebih jauh, mengeksplorasi pantai yang lebih sepi, dan mencari ketenangan yang lebih jauh dari penginapan yang sempat terlibat dalam pertempuran.

Namun, meskipun mereka berusaha mengabaikan kejadian yang baru saja terjadi, ada ketegangan yang masih terasa di udara. Liburan mereka yang semula direncanakan sebagai waktu untuk beristirahat mulai berubah menjadi serangkaian pertemuan yang tidak terduga.

Pada suatu hari, saat mereka sedang bersantai di sebuah kedai kecil dekat tepi pantai, kelompok prajurit bayaran yang lebih muda dan seumuran dengan mereka tiba-tiba muncul. Mereka tampaknya sedang mencari sesuatu, atau seseorang.

"Hei, kalian terlihat familiar," kata salah satu dari mereka, seorang pemuda berambut hitam dengan tubuh tinggi dan tegap, mengenakan pelindung tubuh yang sudah agak usang. Matanya tajam dan penuh kewaspadaan, namun ada senyum tipis yang tersungging di wajahnya.

Kael dan teman-temannya saling memandang, kemudian Kael dengan hati-hati menjawab, "Kami baru saja datang ke sini untuk liburan. Ada yang bisa kami bantu?"

Prajurit muda itu menatap mereka, seolah mencoba membaca niat mereka. Beberapa teman-temannya yang lain, juga muda dan seumuran dengan Kael, berdiri di belakangnya. Mereka tampaknya berpenampilan lebih ringan, mengenakan pelindung tubuh yang lebih sederhana dan membawa senjata berat di tangan.

"Aku kira kita semua berasal dari dunia yang berbeda, tapi kalian sepertinya bukan prajurit biasa," kata pemuda itu lagi, mengangkat alis. "Kalian terlihat... lebih dari sekadar petualang biasa."

Lianara, yang biasanya pendiam dan tidak terlalu tertarik pada percakapan yang tidak penting, memandang prajurit muda itu dengan cermat. "Kamu salah, kami memang petualang biasa. Tapi kami bukan orang yang bisa diremehkan."

Sementara itu, Riven yang biasanya tidak banyak bicara, mulai tertarik dengan percakapan ini. "Kalian juga tampaknya prajurit bayaran," kata Riven. "Tapi kenapa kelihatan seperti... anak muda yang baru saja bergabung?"

Prajurit itu tertawa, menganggap komentar Riven sebagai lelucon. "Anak muda? Kami memang masih muda, tapi kami sudah melalui lebih banyak hal daripada yang kalian kira. Kami berasal dari keluarga yang berbeda, tapi kami juga berlatih keras sejak kecil. Kami bukan sembarang prajurit."

Kael menyandarkan punggungnya pada dinding kedai, memperhatikan para prajurit bayaran muda ini. Mereka memang terlihat seperti kelompok yang baru saja memasuki dunia pertempuran, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara mereka berbicara dan bertindak. Mungkin mereka belum sepenuhnya berpengalaman, namun mereka memiliki potensi yang besar.

"Apa tujuan kalian di sini?" Kael bertanya dengan hati-hati. "Jika kalian mencari sesuatu, kami mungkin bisa membantu."

Pemuda itu memandang Kael sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. "Kami sedang mencari kelompok tertentu. Ada urusan yang belum selesai dengan mereka. Kami mendengar bahwa mereka berada di sekitar sini. Mungkin kalian juga sudah bertemu dengan mereka?"

Kael mengernyitkan dahi. "Kelompok lain? Siapa mereka?"

Pemuda itu mengangguk, lalu menjelaskan lebih lanjut. "Kami memiliki musuh dari kelompok prajurit bayaran lainnya, kelompok yang kami anggap sudah melampaui batas. Mereka sudah banyak mengganggu banyak tempat, dan kami di sini untuk memastikan mereka tahu bahwa mereka tidak bisa begitu saja melakukan apa yang mereka inginkan."

Lysandra, yang biasanya sangat hati-hati dalam menilai situasi, mendekat dan berkata, "Kalian harus hati-hati. Perang antar kelompok seperti itu tidak akan berakhir dengan baik. Terlebih lagi jika kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi."

Prajurit muda itu tersenyum tipis, tetapi ada ketegangan di matanya. "Kami sudah siap. Kami hanya butuh sedikit informasi."

Di tengah percakapan itu, ketegangan di antara kelompok prajurit bayaran muda ini mulai terasa. Meskipun mereka terlihat muda dan seolah penuh semangat, ada keinginan untuk membuktikan diri yang lebih besar. Mereka merasa bahwa mereka lebih unggul dari kelompok-kelompok yang lebih tua dan berpengalaman, dan siap menghadapi segala rintangan.

Varic, yang selama ini jarang berbicara, akhirnya membuka mulut. "Terkadang, niat untuk menang terlalu besar bisa membuat kalian kehilangan perspektif. Jangan terlalu terbawa emosi, atau kalian bisa berakhir dalam perang yang lebih besar dari yang kalian bayangkan."

Pemuda yang memimpin kelompok itu menatap Varic dengan tatapan tajam. "Kami tahu apa yang kami lakukan. Kami tidak takut. Kami ingin menunjukkan bahwa kami lebih baik. Jika kalian ingin tahu, kami bisa mengalahkan mereka dengan cara kami."

Kael bisa merasakan bahwa kelompok ini sedang berada di titik rawan. Mereka terlalu ambisius dan ingin membuktikan diri, dan hal itu bisa membuat mereka bertindak terburu-buru. Sementara itu, Kael dan teman-temannya berusaha menjaga ketenangan dan berfokus pada liburan mereka yang sempat terganggu.

Namun, mereka tahu bahwa pertemuan ini bisa saja menjadi awal dari masalah yang lebih besar. "Kami hanya ingin menikmati waktu kami di sini," kata Kael, berusaha tetap tenang. "Kami tidak ingin terlibat dalam urusan kalian, tetapi jika kalian membutuhkan bantuan, kami mungkin bisa membantu tanpa harus terjun langsung."

Prajurit muda itu mengangguk, seolah mengerti. "Kami akan mengingat itu. Terima kasih."

Setelah percakapan yang agak tegang itu, kelompok prajurit bayaran muda tersebut akhirnya meninggalkan Kael dan teman-temannya untuk melanjutkan pencarian mereka. Meskipun mereka tidak terlibat langsung dalam urusan kelompok itu, Kael dan teman-temannya tahu bahwa ini bukan pertemuan terakhir mereka dengan kelompok ini.

"Kelompok itu memang penuh semangat," kata Kael, mengamati para prajurit yang semakin menjauh.

"Terlalu semangat, sepertinya," tambah Riven. "Mereka bisa jadi masalah nanti."

"Dan kita harus siap," kata Lianara. "Tidak ada yang tahu seberapa besar mereka bisa beraksi."

Mereka kembali melanjutkan liburan mereka, meskipun dalam hati mereka, mereka tahu bahwa ketegangan ini mungkin akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar. Namun, untuk saat ini, mereka tetap fokus pada hari-hari yang tersisa dan menikmati waktu bersama, meski bayang-bayang ancaman tetap menghantui mereka.