Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

ENDLESS LADDER

🇮🇩KEVIN_ESP
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
62
Views
Synopsis
Tangga itu berdiri sendirian di tengah padang rumput, naik ke atas dan menjulang tinggi ke angkasa, dan seolah tak berujung. Entah keajaiban apa yang ada di atas sana.
VIEW MORE

Chapter 1 - I

"Hidup itu... Terlalu lama..."

Budi bergumam, dan disaat itu pula, gambaran soal adiknya yang terbaring tak berdaya di rumah muncul dalam pandangannya.

Remaja yang masih duduk di bangku SMP kelas dua itu menarik nafas berusaha menguatkan dirinya sendiri.

Budi, itulah namanya.

Di dalam kelas yang ramai itu, Budi cuma duduk di bangkunya yang terletak di pojok sambil memandangi angkasa melalui jendela di sebelahnya.

Langitnya kala itu sangat biru, awannya sedikit, dan mataharinya juga tak terlalu terik.

Sungguh pemandangan yang cantik dan tak pernah membosankan.

Sederhana memang, tapi begitu mengagumkan.

Sesekali dia menengok sekelilingnya, berharap bisa menemukan sesuatu yang berarti di antara teman-teman sekelasnya.

Namun, tentu saja ia tak mendapatkan apapun.

Segalanya masih sama, setelah sekian lama.

Meski begitu, ada satu orang yang menarik perhatian Budi, seorang remaja yang duduk di pojok lainnya.

"Aqil."

Budi membisikkan nama temannya itu.

Aqil pun terkadang sama seperti Budi, dia cuma duduk di kursinya setiap hari, hanya saja dia lebih aneh lagi sebenarnya.

Anak itu selalu memandangi halaman kosong dalam buku tulisnya dengan pulpen yang siap di tangan kanannya, seakan dia ingin menulis sesuatu.

Namun, hanya seperti itu saja.

Setiap hari, dari awal masuk sekolah mereka sekelas, bahkan di kelas satu tahun lalu, anak itu cuma diam.

Dan pada akhirnya, dia tak menulis apapun.

Hingga detik ini, halaman itu masih kosong.

Ya, itu kembali membuat Budi kepikiran lagi.

Hidup itu memang terlalu lama.

Budi memeriksa waktu pada ponselnya yang tua, dan jam sudah hampir menunjukkan pukul satu siang.

Cuma tinggal beberapa menit lagi hingga bel pulang berbunyi.

Namun, Budi tidak ingin pulang.

Dia benar-benar takut pulang ke rumahnya.

Rumah papan sederhana, yang terletak dalam di ujung lorong, dan hanya bertetangga dengan pepohonan.

Budi teramat sangat takut untuk kembali ke sana.

Bukan karena rumah itu lapuk, atau karena tak ada makanan yang menantinya di meja, dan bukan pula karena tak ada orang tua yang menantikan kepulangannya.

Tetapi, bagaimana saat dia sampai di rumah nanti, adiknya yang terbaring lemah di ranjang itu, ternyata sudah tak ada lagi disana?

Apa yang akan dilakukannya jika itu terjadi?

Bagaimana?

Hidup?

"Kenapa dunia sialan ini sangat nggak adil? Aku salah apa sebenarnya?" Budi berbisik lagi sambil menggertakkan gigi.

Dia emosi, marah, dan kesal, entah pada siapa.

Hingga akhirnya bel pulang pun berbunyi.

Lalu, entah bagaimana awalnya, Budi pun kini berakhir di padang rumput yang luas itu, bersama dengan Aqil.

Padahal Budi awalnya hanya iseng mengikuti Aqil masuk ke dalam hutan yang berada tak jauh dari sekolah mereka.

Mereka masuk melewati pepohonan, semakin jauh mereka melangkah semakin gelap pula suasananya, dan setibanya di ujung jalan setapak itu, ada cahaya yang menanti mereka, dan sekarang, disinilah mereka berada.

Di tempat itu, rerumputan yang hijau nan harum terhampar di segala penjuru.

Angin yang lembut pun tak hentinya berhembus membawa perasaan yang nyaman dan nostalgia.

Sungguh ajaib.

Tempat ini.

Perasaan ini.

Namun, yang lebih anehnya lagi, adalah keberadaan satu tangga kayu reyot yang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu.

Tangga itu berdiri di sana, dan menjulang tinggi ke langit, menembus awan.

Entah apa yang ada di ujung sana.

"Kamu penasaran ya sama apa yang ada di atas sana?" Aqil bertanya.

Budi memang masih kesulitan untuk menanggapi situasinya kala itu, tapi dia tidak bisa menghiraukan perasaan yang ajaib dalam hatinya.

Apapun itu, selama itu ajaib, adiknya pasti bisa sembuh.

Orang-orang yang tahu soal keadaan adiknya pun semuanya beranggapan seperti itu.

"Cuma keajaiban yang bisa menyembuhkan adikmu saat ini."

Itulah kata mereka.

Apapun yang ada di ujung tangga itu.

Budi menginginkannya.

"Kamu boleh naik kalau kamu mau, tapi kamu nggak bisa pergi sendirian." Ungkap Aqil sembari melangkah pergi.

"Tapi, kenapa?"

"Yah, karena sendirian itu... Sangat menakutkan. Lebih dari apapun."

"Ya, dia ada benarnya."

Kata seorang lain yang ternyata berada di sana bersama-sama dengan mereka.

Seorang gadis berkacamata yang juga sekelas dengan Budi dan Aqil.

Namanya, Zarah.

"Tapi, apa emangnya yang ada di atas sana?" Budi melancarkan pertanyaan terakhirnya.

"Itu tergantung sama kamu aja kok." Aqil tersenyum kecil. "Kalian tenang saja, semua yang ada di sini akan baik-baik aja. Dadah." Itulah kata-kata terakhir Aqil.

Kini hanya Budi dan Zarah yang tersisa di sana.

Keduanya diam mendongak ke atas menatap ujung tangga yang tak terlihat.

Sampai akhirnya, Zarah pun memutuskan untuk memanjat tangga itu.

Namun, ketika tangan Zarah naik menggapai anak tangga yang kedua, Budi mendadak mencegatnya.

"Tunggu. Kamu beneran mau naik ke sana?" Budi bertanya dengan agak ragu.

Zarah pun mengangguk dengan yakin.

"Aku ingin pergi sejauh mungkin dari sini." Balas Zarah penuh tekad. "Aku takut... Kalau harus pulang ke rumah hari ini. Aku... Udah nggak sanggup."

Gadis itu terdiam sejenak seakan tenggelam dalam pikirannya, namun, dia sudah memutuskan untuk memanjat tangga itu.

Budi sejenak menoleh ke belakang sedikit.

Dia jelas ragu, karena semuanya terlalu tiba-tiba.

Meski begitu, pada akhirnya, dia tetap membutuhkan keajaiban.

"Ayo." Ajak Zarah.

"Ya. Ayo."

Ingatan terakhir yang terlintas dalam benaknya sebelum ia memanjat tangga itu dan meninggalkan daratan, adalah adiknya.

Hanya adiknya.

Dengan masih berpakaian sekolah putih-biru, juga ransel di punggung yang penuh dengan buku pelajaran, dua murid sekolah menengah itu pun akhirnya bersama-sama memanjat tangga yang 'seolah' tak berujung itu.

Meski Budi tahu.

Ya, begitulah, terkadang, kehidupan ini sama seperti sebuah buku cerita.

Buku cerita usang dengan lembaran kertas yang lusuh dan yang sudah selayaknya untuk dibuang di tempat sampah karena tak diingini oleh siapapun lagi.

Namun, anak itu mau memungutnya dan membacanya.

Dia terus membaca buku itu di meja tua itu, sendirian di dalam kegelapan ditemani sebuah lilin kecil.

Cahaya lilinnya pun amat mungil, sampai-sampai untuk melihat huruf-hurufnya saja terasa sulit.

Tapi, dia harus membacanya.

Itu adalah satu-satunya cara untuk bisa mengetahui akhirnya.

Meskipun buku itu usang.

Meskipun dia hanya sendirian.

Meskipun ruangan itu gelap.

Toh kehidupan memang seperti itu.

Jadi tak peduli bagaimanapun itu, dia harus terus membaca buku itu.

Dia harus terus hidup.