Chereads / ENDLESS LADDER / Chapter 2 - II

Chapter 2 - II

"Manusia-manusia sialan..."

Dunia ini memang tak selalu baik, bukannya apa, hanya saja, pemikiran seperti ini terkadang lebih dari cukup untuk membuat orang jadi menyerah, atau malah mendorongnya untuk melangkah lebih jauh.

Padahal, Budi sebenarnya tidak benar-benar ingin berpikir seperti itu, tetapi, keadaan bisa jadi terlalu kejam dan itulah memaksanya.

Kemarin tepatnya, kejadian itu berlangsung cepat, namun hampir membuat Budi merasa kalau menjadi orang baik itu sia-sia.

Tiap-tiap hari sebelum pulang dari pasar, Budi pasti selalu membeli somay untuk Sella, adiknya.

Meski kemarin Budi agak terlambat untungnya mas penjual somay itu menunggu Budi dan menyisakan seporsi untuknya, bukti sederhana kalau mereka memiliki hubungan yang baik.

"Haduh, beneran, makasih banget mas udah nungguin." Kata Budi sambil mencari-cari uang lima ribu dalam tasnya yang dipenuhi uang dua ribuan.

Waktu sudah hampir menandakan pukul enam sore kala itu, suara adzan terdengar berkumandang dari masjid-masjid di kejauhan, langitnya pun sudah agak gelap.

"Iya, Bud, santai aja pokoknya. Kamu itu kan lain cerita, toh udah langganan bertahun-tahun juga. Ah, ngomong-ngomong, mas titip salam ke Sella ya." Kata si mas penjual yang sedang membungkus somay satu per satu.

"Iya, mas, aman, entar aku bilangin. Tapi ya, hari ini pasar rame banget loh. Mungkin karena bentar lagi puasa kali ya?–Nih mas." Ujar Budi sambil mengulurkan uang kepada si mas.

"Ntar, Bud–"

Lalu, tanpa diduga tak ada angin tak ada hujan mendadak ada sebuah mobil hitam yang berhenti di tepat di sebelah mereka.

Jendela mobil perlahan membuka dan terlihatlah sosok seorang pria baya berseragam pegawai negeri di dalamnya.

"Mas, pesanan somay saya udah jadi kan?" Tanya pria itu sambil mengeluarkan dompetnya.

Mas penjual somay tampak amat kebingungan.

"Eh... Haduh pak, maaf sebelumnya, saya kira bapak nggak jadi beli loh tadi, soalnya bapak lama banget baliknya. Udah sejam lebih bapak perginya." Kata si mas yang memaksa tersenyum.

"Ya jadi lah, mas. Tadi saya cuma ada panggilan dadakan aja. Nih, mas, segini cukup kan? Soalnya anak saya yang kecil suka banget sama somaynya mas." Pria itu mengulurkan uang lima puluh ribu pada si mas.

Si mas penjual agak terkejut, dia pun bertukar pandang dengan Budi sejenak.

"Eh... Yaudah, kasih aja mas, aku besok lagi aja." Budi mengangguk pasrah pada si mas sambil tersenyum simpul.

Si mas penjual pun cuma bisa menghela nafas dalam dan memberikan somay itu pada si bapak.

Setelah mobil itu pergi, mas penjual pun angkat bicara dengan wajah yang tampak agak tertekan.

"Kamu nggak bisa gitu mulu, Bud." Katanya.

"Eh? Gitu mulu gimana mas?" Tanya Budi yang baru saja menaikkan standar sepedanya.

"Yah, Bud, mas udah kenal kamu tujuh tahun. Mas udah tahu gerak gerikmu itu kayak gimana." Si mas menjelaskan. "Sifatmu itu loh, selalu aja ngalah. Selalu aja paling belakang. Selalu ngebiarin orang lain seenaknya. Kamu nggak bisa kayak gitu mulu, Bud."

"Yah... Mau gimana lagi mas? Lagian aku juga nggak penting-penting banget kan? Bukan siapa-siapa. Nggak bisa ngapa-ngapain juga. Lihat aja bapak tadi, dia punya mobil kayak gitu, lah aku? Bisa dapat uang buat makan aja udah syukur mas."

"Ya tapi kamu nggak bisa kayak gitu terus, Bud. Pemikiranmu yang kayak gitu tuh, selalu bikin kamu jadi ngerasa kecil. Itu harus diubah, Bud."

Budi pun tersenyum kecil mendengar celotehan mas penjual somay.

"Iya, iya, mas. Cuma ya, untuk saat ini, kenyataanku itu emang kayak gini. Nanti kalau kenyataanku berubah, baru aku bisa ikut berubah juga." Budi naik ke sepeda dan mulai mengayuh rodanya. "Yaudah, mas, aku pulang dulu."

"Lah? Terus Sella makan apa? Nanti aku bawakan somay ke rumahmu, ya?" Mas penjual menyahut.

"Nggak usah repot-repot mas, aku sama Sella bakalan aman-aman aja kok." Budi balas menyahut.

Walau begitu, Budi tetap tak bisa membohongi dirinya sendiri.

Tinju anak itu mengeras hingga bergetar saat menggenggam setir sepedanya.

Munafik namanya kalau dia tidak marah.

Namun, hanya seperti itu, dia cuma bisa diam, dan menahan amarahnya.

Sama seperti sebelum-sebelumnya, toh dia tidak mampu berbuat apapun.

Budi masih enam tahun waktu ibunya meninggal, dan kejadian itu menciptakan terlalu banyak pertanyaan yang jawabannya entah dimana.

Satu nyawa pergi dan insang lainnya pun datang.

Sella lahir.

Ada begitu banyak keributan di ruangan waktu itu, tapi perhatian Budi cuma tertuju pada wajah sang Ibu yang tampak sekarat dan juga adiknya yang terlihat hangat.

Lalu tahun-tahun itu berlalu, dan segalanya berlangsung terlalu cepat, sampai-sampai Budi pun kesulitan untuk mencernanya.

Semua itu lewat telat di depan matanya.

Tangisan, pemakaman, kesenyapan di rumah, wajah kosong ayah, dan entah apa lagi yang telah Budi lihat dengan mata kepalanya.

Waktu terus berjalan dan saat Sella menginjak usia tiga tahun, itulah kali pertama darah mengalir dari mulutnya.

Dan, darah itu tak pernah berhenti.

Semakin dia bergerak, semakin banyak pula darahnya.

Dokter di rumah sakit pun tak tahu apa-apa tentang pendarahannya itu.

Lalu, ayah, karena dia sudah tak tahan lagi dengan semua yang terjadi di rumah itu, dia pun memutuskan untuk pergi begitu saja, meninggalkan Budi dan Sella.

Kalau momen yang ini, Budi kesulitan untuk mengingatnya, ingatannya buram entah karena apa.

Bahkan, Budi tidak ingat lagi kapan tepatnya ayahnya pergi, dan kapan terjadinya, apakah waktu itu siang atau malam, dia sama sekali tidak tahu lagi.

Sangat buram.

Begitulah kenyataan di rumah Budi saat ini.

Budi harus bekerja di pasar membantu para pedagang untuk menghidupi dirinya, membayar uang sekolah yang bukan main, dan juga Sella.

Sedangkan adiknya itu, tiap-tiap hari cuma terbaring tak berdaya di ranjang dan hanya bisa menatap langit-langit rumah yang rapuh setiap harinya sambil menunggu sang kakak kembali ke rumah.

Semua situasi ini membuat Budi selalu berpikir, apakah keajaiban itu nyata adanya atau tidak.

Namun, sungguh, ini sangat tidak adil.

Segalanya amat tidak adil.

Tapi, Budi memiliki beberapa rahasia kecil.

Contohnya setiap kali dia pulang terlambat dari pasar, pasti selalu ada kupu-kupu bercahaya yang muncul, dan menemaninya hingga dia tiba di rumah.

Juga somay si mas, somay itu adalah satu-satunya makanan yang bisa dimakan oleh Sella tanpa harus membuat mulutnya berdarah karena mengunyah.

Ya, sederhana memang, tapi itu bisa dihitung sebagai keajaiban.

Namun, tetap, Budi membutuhkan keajaiban lebih.

Bukannya rakus, tapi, dia sangat butuh.

"Budi, kamu kenapa?."

Suara Zarah yang berada tepat di atasnya membuat Budi tersadar dari lamunannya.

Budi mengedipkan matanya beberapa kali dan memandang berkeliling.

Kedua anak itu masih berada di langit memanjat tangga aneh itu.

"Nggak." Anehnya nafas Budi agak terengah, dan perasaan yang tak mengenakkan membanjiri dirinya.

Ini nyata, pikir anak itu sambil berusaha menenangkan hatinya.

Tangga ini nyata.

"Aku nggak apa-apa." Budi memberitahu gadis berkacamata itu.

Gadis itu mengerutkan keningnya saat mendengar jawaban Budi.

"Ah, yaudah kalau gitu. Ayo." Ujar Zarah sambil lanjut memanjat.

"Iya." Balas Budi singkat.

"Kadang aku penasaran banget loh, Bud... Di kelas kamu cuma diem di mejamu. Kamu belajar, makan, terus pulang."

Budi diam, bingung harus menjawab apa.

"Kamu itu mikirin apaan sebenarnya. Maksudku... Kita ini seumuran, Bud, tapi kamu juga nggak pernah main sama yang lain." Zarah melanjutkan.

"Eh? Tapi kamu sendiri juga lebih sering diem di meja aja kan?" Budi mengerutkan keningnya.

"Yah, aku belajar." Tukas Zarah. "Sedangkan kamu? Kan kamu cuma diam aja, nggak ngapa-ngapain. Kalau nggak tiduran, palingan kamu cuma liat pemandangan dari jendela. Gitu aja."

"Tapi, emangnya itu salah ya?"

Budi bertanya dengan heran, karena menurutnya apa yang dilakukannya di kelas itu sama sekali tak ada hubungannya dengan siapapun.

"Eh... Nggak salah sih." Zarah menyipitkan mata sambil menggembungkan pipinya.

Budi tersenyum kecil.

Rasanya agak lucu sebenarnya, melihat sisi Zarah yang seperti ini.

Toh, Zarah itu murid terpintar di kelasnya, bahkan sebenarnya di sekolah, dia itu nomor satu.

Seorang yang gila belajar bisa dibilang.

Namun, Budi sama sekali tidak menyangka kalau Zarah ternyata memiliki pemikiran seperti itu tentang dirinya.

Ya, bukannya Budi senang mendapatkan perhatian seperti itu dari seseorang, tapi entah kenapa ini terkesan sedikit lucu.

"Cuma... Gimana ya, Bud? Melihat kamu kayak setiap hari, rasanya tuh... Kayak salah." Zarah mengeluarkan uneg-unegnya setelah berpikir agak lama.

Suaranya dingin, dan seolah menekankan apa yang dikatakannya itu adalah kebenaran.

"Semuanya tuh... Kayak salah banget."

Senyum di bibir Budi luntur mendengarnya. Dia terhenti sejenak.

Pikiran Budi kosong seketika.

Namun, dia tak berhenti memanjat, dan ketika Budi menggapai anak tangga yang selanjutnya, mendadak bayang-bayang Sella yang terbaring di kasur kembali muncul dalam pandangannya.

Ya, tetap, anak itu harus memanjat.

Biarlah semuanya itu berlalu.

Untuk saat ini, yang lain tidaklah penting.

Dia cuma perlu memanjat.

Ia harus.