Mereka memanjat naik, naik, dan naik, mencoba melampaui awan di angkasa.
Satu demi satu anak tangga mereka gapai dengan tangan, lalu naik ke atas melangkahi anak tangga selanjutnya.
Daratan tampak sudah jauh di bawah sana, bahkan warna hijau dari padang rumput itu sudah pudar dan hampir tak terlihat, ditambah udara pun semakin dingin.
Budi beberapa kali menengok ke bawah.
Tentu saja dia ragu untuk terus memanjat.
Untuk mengikuti sesuatu yang tak masuk akal seperti ini begitu saja.
Namun, meski begitu, dia terus naik.
Adiknya terbaring tak berdaya di rumah.
Dia pun tahu, kalau ini cuma hanya masalah waktu saja.
Ranjang mereka sudah usang, dan selimut putih yang menyelimuti adiknya itu sangat tipis dan kusam tak peduli seberapa sering Budi mencucinya.
Jika saja tadi dia tidak mengikuti Aqil, mungkin Budi saat ini sudah berada di rumahnya, duduk di sebelah ranjang adiknya, dan cuma bisa merawatnya dengan usaha yang seadanya, sekaligus meratapi nasib.
Aqil bilang kalau semuanya akan baik-baik saja di bawah sana.
Dan Budi yakin akan perkataannya.
Dia percaya, bahwa adiknya akan baik-baik saja.
Jadi, yang perlu dilakukannya saat ini, adalah terus memanjat.
Setengah jam berlalu.
Kemudian satu jam.
Dua jam, hingga akhirnya, langit di sekeliling mereka berubah warna yang tadinya biru kini menjadi oranye, dan padang rumput itu pun tak lagi terlihat.
Baik Zarah maupun Budi pun kini sudah kelelahan, jadi mereka memutuskan untuk berhenti sejenak dan menjepit anak tangga dengan lengan mereka agar tak terjatuh.
Entah sudah berapa anak tangga yang mereka panjat, yang pasti lebih dari seribu.
Untungnya lagi, tangga itu cukup lebar, dan anak tangganya pun agak tebal jadi mereka bisa duduk bersebelahan tanpa ada masalah.
Ya, kecuali kalau mereka jatuh.
"Kamu mau minum?" Zarah bertanya pada Budi. Nafas gadis itu tampak terengah.
"Eh... Nggak. Lagian, aku nggak haus." Jawab Budi.
"Aku mau minum, jadi tolong ambilin botol dalam tasku. Sini aku pegangin." Kata gadis itu sembari memegang erat tangan Budi.
Budi pun tanpa pikir panjang mengangguk mengiyakan dan membuka tas di punggung Zarah dengan sebelah tangan lalu mengambil botol air minum miliknya.
"Nih." Budi mengulurkan botol itu pada Zarah dan gadis itu pun minum dengan khidmat.
Budi sekali lagi menengok ke bawah.
Tak ada apapun di sana.
Meski begitu samar-samar dia seperti mendengar suara yang lain yang entah apa.
Namun, ya, dia tidak merasa haus sama sekali.
Lalu, Zarah pun memasang ekspresi wajah yang aneh setelah minum.
Setelahnya, Budi sekali lagi membantu Zarah untuk memasukkan botol itu kembali ke dalam tasnya.
Sungguh, dunia jadi terasa sangat hening saat itu, hampir tak ada suara yang kedengaran selain embusan angin.
Baik Budi maupun Zarah cuma termenung memandang sekelilingnya.
Benar-benar tenang sekali.
Budi tidak terlalu mengenal Zarah, toh gadis itu memang pendiam dan hampir tidak pernah mengobrol dengan siapapun di kelas.
Meski begitu, Budi anehnya terkadang merasa kalau Zarah itu sama seperti dirinya.
Dia diam karena keinginannya sendiri.
"Kenapa kamu takut buat pulang?" Suara Budi memecah keheningan.
"Aku tahu ceritamu, Budi." Ungkap Zarah. "Kamu cuma tinggal berdua dengan adikmu yang sakit keras. Ibumu meninggal waktu melahirkan adikmu, dan ayahmu pergi meninggalkan kalian beberapa tahun lalu."
Budi agak tersentak mendengar itu. Matanya terbuka lebar, dia terkejut.
"Hampir semua orang di desa tahu soal kamu. Dan mereka semua cerita kesana kemari tentang itu dengan seenaknya, seakan-akan masalahmu itu nggak ada artinya."
Zarah lalu melepas dasinya dengan hati-hati menggunakan kedua tangannya, lalu mengikat sebelah lengannya pada anak tangga.
Budi pun juga melakukan hal yang sama setelahnya.
"Rumahku besar dan sangat luas, disana hanya ada aku, mamaku, sama papaku."
Zarah kembali bercerita sambil memandang lurus ke depan. Gadis itu tenggelam dalam pikirannya.
"Kita cuma bertiga loh, tapi anehnya disana malah... Berisik. Berisik sekali. Aku jadi nggak bisa belajar, nggak bisa tidur, nggak bisa makan... Nggak bisa bermain."
Budi melirik wajah Zarah, dan dia terlihat sangat sedih.
"Berisik." Zarah mengulangi kata itu tanpa sadar.
Budi cuma bisa diam dan mendengar tanpa mampu berkata apa-apa.
Dia tidak terlalu paham.
"Aku tahu ini salah, tapi kadang aku merasa iri sama kamu."
Alis Budi seketika melengkung mendengar itu, seakan-akan perkataan Zarah yang barusan itu adalah kesalahan.
"Aku pernah melihat rumahmu sekali."
Mendengar itu membuat Budi kembali teringat dengan rumahnya yang cuma terbuat dari papan dan seolah tampak bisa rubuh kapan saja.
Rumah yang amat sederhana.
"Rumahmu... Kelihatan sangat tenang."
Budi masih tidak mengerti.
Dia tidak tahu apakah perkataan Zarah itu baik adanya, atau malah buruk.
Dia cuma bisa diam dan memandang langit senja di sekelilingnya.
Zarah akhirnya menghela nafas dalam, dan setelahnya gadis itu memeriksa ikatan dasi antara tangannya dan anak tangga untuk memastikan apakah itu aman atau tidak.
Meski begitu, Budi tetap belum terlalu memahami maksud dari cerita Zarah.
"Ujungnya sama sekali belum kelihatan, jadi ya ini solusinya kalau misalnya nanti kita mau tidur." Ujar Zarah sambil melirik pada ikatannya.
"Ah... Gitu, ya?" Jawab Budi mengingat ia juga ikut mengikat tangannya tanpa mengetahui tujuannya.
"Jadi gimana? Kamu mau lanjut?" Zarah bertanya.
Budi terdiam sejenak sambil memandang ke bawah, lalu mendongak ke atas.
Ya, kedua ujung tangganya sama-sama tak terlihat. Entah itu turun atau naik.
Tapi, jawaban Budi sudah jelas.
Budi mengangguk pelan dan berkata: "Naik."
Zarah kala itu bisa melihat dengan jelas kalau tekad Budi sudah kekeuh, hanya saja dia tidak tahu apa alasan anak itu mendaki sejauh ini?
Yang pasti saat ini, adalah mereka harus terus naik.
Zarah juga mengangguk dengan yakin.
Mereka berdua melepas ikatan dasi dan setelahnya, mereka pun kembali lanjut memanjat tangga itu.
Satu demi satu, anak tangga.
Satu demi satu, keraguan.
Satu.
"Menurutmu, berapa lama agar kita bisa sampai di ujung tangga ini?" Zarah bertanya selagi mereka memanjat.
"Eh... Yah, aku juga nggak tahu sih." Jawab Budi ragu-ragu
Demi.
"Ngomong-ngomong, bilang aja kalau kamu lapar, aku punya biskuit di tas." Zarah memberitahu.
"Ah, iya." Budi membalas seadanya.
Satu.
"Kira-kira di atas sana ada apa, ya?"
Budi tak berkata-kata.
Tangan Zarah seketika berhenti.
Budi yang berada di bawah pun ikut berhenti juga.
"Eh? Kenapa–"
"Kenapa kamu memanjat?"
Tanya Zarah mendadak.
"Eh–"
"Kenapa kamu naik ke sini?"
Satu demi satu gambaran muncul dalam benak Budi setelah mendengar pertanyaan itu.
Adiknya yang terbaring di ranjang.
Rumah papan sederhana di antah berantah.
Kekosongan di tiap ruangannya.
Kesenyapan itu.
Serta suara angin yang berhembus pelan melalui jendela di sebelah ranjang.
"Aku takut." Bisik Budi.
"Takut...? Takut apa?" Zarah menyipitkan mata. Gadis itu juga sadar kalau ada begitu banyak hal yang seharusnya ditakuti oleh Budi jika ditinjau dari hidupnya.
"Aku hanya takut... Sangat takut."
Bahkan hanya untuk sekedar membayangkan dirinya membuka pintu rumahnya saja sudah membuat Budi merasa ngeri tanpa alasan yang pasti.
Tangan Budi yang berpegang pada anak tangga mendadak mengeras tanpa ia sadari.
"Tapi, apa yang sebenarnya kamu takutkan? Adikmu?" Zarah pun dibuat heran.
"Bukan... Bukan itu." Budi menggelengkan kepala.
"Jadi?" Zarah bertanya dengan lembut, dia masih bingung tapi dia juga tidak ingin memaksa Budi.
"Aku juga nggak tahu... Aku cuma merasa kalau hidup ini itu... terlalu menakutkan." Ungkap anak itu.
Zarah pun akhirnya bungkam setelah mendengar perkataan Budi.
Keduanya terdiam.
Budi tidak tahu harus berkata seperti apa.
Karena pada akhirnya pada detik ini, bagi Budi kehidupan ini masih sama.
Dia membaca buku tua itu sendirian di tengah kegelapan dan hanya ditemani oleh lilin kecil.