Chereads / ENDLESS LADDER / Chapter 5 - V

Chapter 5 - V

Sulit untuk dikatakan dan sukar untuk dilihat, namun anak itu tahu kalau kedua temannya itu menyembunyikan rasa takut yang teramat sangat dalam hati mereka.

Ya, itu tampak pada mata mereka.

Toh Budi selalu melihat sorot tatapan seperti itu setiap hari, hampir setiap saat, pada dirinya sendiri.

Rasanya seperti sedang bercermin.

Begitulah kenyataannya, ketiga anak itu berani memanjat tangga yang tak berujung itu, dan berani untuk melawan keanehan duniawi, semuanya jadi mungkin karena dorongan dari rasa takut.

Mereka ketakutan.

Ketakutan setengah mati.

Zarah berhenti memanjat sejenak, gadis itu mengedarkan pandangannya berkeliling.

Masih tak ada apa-apa yang terlihat sejauh matanya memandang.

Hanya langit malam, awan yang pudar, bintang-bintang, dan bulan.

"Aku lapar." Ari angkat bicara sambil memegang perutnya, namun wajahnya terlihat seperti kebingungan. "Kalian mau makan nggak? Aku punya makanan di tas." Dia memberitahu.

"Ah? Beneran?" Zarah terkejut.

"Iya. Sini."

Ari mengambil posisi duduk, membuka tasnya, dan mengeluarkan beberapa bungkus keripik.

"Nih buat kamu, Budi." Ia memberikan dua bungkus untuk Budi, dan anak itu pun cuma bisa menerimanya dengan wajah heran.

"Dan, ini buat kamu, Rah." Lalu Ari memberikan dua bungkus lainnya pada Zarah.

"Ah, makasih banget ya, Ari." Zarah tampak senang.

"Nah! Ayo makan!"

Lalu pada isyarat Ari, ketiga anak itu pun mulai memakan camilan mereka.

Akan tetapi, tak lama kemudian Budi menyadari sesuatu yang agak aneh soal tas milik Ari.

"Eh... Ari, kok bisa sih semua keripik ini muat di dalam tasmu?" Tanya Budi.

"Ah, iya, kalau selimut ini juga tadi dari dalam tasmu kan ya?" Zarah mengangguk setuju dan juga mulai penasaran.

"Oh, aku juga nggak tahu sih. Soalnya tas ini dikasih sama Aqil tadi siang. Di dalamnya emang udah ada banyak camilan. Aku cuma pulang buat ngambil selimut aja tadi." Ari menjelaskan sambil terus mengunyah dengan lahapnya.

"Di kelas aku nggak pernah benar-benar merhatiin Aqil, tapi sekarang kalau dipikir-pikir, dia beneran aneh banget ya?" Zarah mengungkapkan isi kepalanya.

"Yah aku nggak masalah kok, lagian dia orangnya baik." Komen Ari. "Aku kan jarang bawa uang jajan, tapi Aqil sering beliin aku makanan kalau di sekolah."

"Wah? Iya?" Tanya Zarah.

"Hooh. Hari ini aja aku dibayarin di kantin. Kemarin juga. Kemarin dulu juga. Dua hari yang lalu, tiga hari yang lalu. Pokoknya kemarin-kemarin aku dibayarin mulu sama dia." Ujar Ari kegirangan.

"Lah, Ari... Kalau kayak gitu kan kamu ngerepotin namanya." Zarah mengingatkan.

Meski begitu, anehnya Ari malah tersenyum makin lebar.

"Tapi dia bilang nggak apa-apa kok, soalnya kita kan teman." Jawab anak itu dengan polosnya.

Zarah sempat terdiam, dan begitu pula dengan Budi.

"Teman."

Kalau didengar sekilas, itu memang terdengar sederhana, namun, jika dipikir dalam-dalam, kata itu sebenarnya sangat aneh dan susah untuk dimengerti.

Namun, saat ini, di detik itu juga, Budi menyadari sesuatu yang penting.

Walaupun dia sekarang terjebak di tangga itu, tapi dia merasa cukup bersyukur karena dia tidak sendirian.

Ya, dia bersama kedua temannya disana.

Senyuman kecil terbentuk di bibir Budi.

"Eh? Kamu kenapa?" Tanya Ari yang menyadari kalau Budi sedang tersenyum.

"Ah, nggak." Budi mengelak. "Tapi, ya, kamu itu baik, Ari." Ungkap Budi dengan tulus.

"Hah?" Alis Ari naik sebelah.

Ari awalnya masih sedikit heran, tapi anak itu akhirnya memilih untuk menghiraukannya dan malah tersenyum bahagia karena mendengar perkataan Budi.

"Hehe–iya dong! Aku kan emang baik." Ari mulai terkekeh kesenangan.

"Iya, Ari emang baik, tapi dia nyebelin kalau di kelas." Tambah Zarah yang juga tersenyum.

"Yang penting kan aku baik." Ujar Ari dengan bangganya.

Budi memandangi kedua temannya sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke depan memandangi angkasa malam yang redup.

Ya, awalnya begitu, tapi mendadak di balik awan-awan di kejauhan sana perlahan-lahan mulai tampak sesuatu yang bercahaya.

"Apa itu...?" Zarah bertanya dengan heran.

Cahaya itu perlahan-lahan mulai kelihatan jelas, dan itu terlihat seperti semacam makhluk hidup.

"Itu..." Dari bentuknya, Budi tahu makhluk apa itu, toh dia pernah melihatnya di buku di perpustakaan.

"PAUS! ITU PAUS!" Ari berseru kagum sambil menunjuk pada sosok bercahaya yang nampak di balik awan itu.

"Kok bisa sih ada paus di langit?" Akal sehat Zarah bertanya-tanya.

"Yah, gimana ya, Rah? Kita aja sekarang lagi ada di sini." Budi mengingatkan.

Ya, mereka bahkan sedang memanjat tangga yang menjulang tinggi ke angkasa.

Jadi, untuk apa lagi mempertanyakan soal itu?

"Wah! Itu beneran ikan paus!" Ari berseru lagi sambil memandang Budi dan Zarah bergantian, seakan anak itu pun mencoba untuk meyakinkan kedua temannya.

"Iya, iya, Ri. Kita juga liat kok." Zarah pun cuma bisa menghela nafas dan menerima pemandangan di depan matanya dengan lapang dada.

"HEY! KITA DISINI!" Ari menyahut dengan suara lantang sambil melambaikan tangan dengan harapan agar paus itu menghampiri mereka.

"Heh! Kenapa malah dipanggil!" Zarah seketika naik darah melihat tingkah Ari. "Nanti kalau kita dimakan gimana!?"

"Hah? Kamu nggak baca buku yang di perpustakaan itu? Paus kan nggak makan orang." Ari memandang Zarah dengan bingung, seakan-akan yang aneh disini itu adalah Zarah.

Zarah menepuk jidat.

"Itu kan paus di laut, Ari!"

"Ah nggak apa-apa lah. Kayaknya sama aja kok." Jawab Ari penuh percaya diri. "Iya kan, Budi?"

Bagi Budi, terlibat dalam percakapan itu pun sebenarnya terasa lebih aneh dibanding semua yang terjadi sejauh ini.

Sudah lama sejak dia memutuskan untuk menutup telinganya, bahkan di kelas saja dia cuma memilih untuk mendengar apa yang perlu didengarkan.

Suara guru, suara angin, suara bel pulang, suara burung, dan hal-hal lain yang memang perlu saja.

Dia hampir tidak pernah benar-benar mendengarkan suara obrolan teman sekelasnya, atau bahkan teman yang semeja dengannya.

Bukannya dia bermasa bodoh, hanya saja bagi Budi, dunianya itu hanya sebatas di kamar adiknya saja.

Seakan-akan telinganya tertinggal di sisi adiknya.

Tidak, bukan telinganya.

Tapi separuh dari dirinya, masih berada di kamar itu, duduk di sebelah ranjang sang adik.

Namun, hari ini, malam ini, di momen itu pula, Budi merasa kalau suara Ari dan Zarah itu sangatlah penting dan layak untuk didengar.

"Yah, Ari nggak salah kok, Rah." Kata Budi sambil tersenyum tulus.

Angin dingin berhembus seakan mengikuti kehadiran senyuman Budi, dan entah kenapa baik Ari maupun Zarah kala itu menyadari kalau ada yang salah dengan senyuman Budi.

Zarah terdiam seribu bahasa, sedangkan Ari cuma memonyongkan bibirnya sambil memandang Budi dengan heran.

Selama beberapa saat suasananya terasa aneh, dan hening, hingga akhirnya Ari memutuskan untuk berkotek.

"Rasanya ada yang aneh sama cara Budi senyum." Kata Ari dengan mudahnya.

Mata Budi sedikit terbuka lebar mendengarnya.

"Heh! Kenapa malah diomongin!" Tukas Zarah sambil mencubit pipi Ari.

"Lah! Tapi kan emang gitu." Ari bersikeras.

"Yah! Cuma nggak usah diomongin langsung di depan Budi juga kali!"

Zarah menarik-narik pipi Ari, tapi anak itu anehnya terlihat baik-baik saja dan tetap terpaku pada Budi.

"Yah, gimana ya, soalnya aku juga kadang senyum kayak gitu." Ungkap Ari.

Setelah mendengar itu, tangan Zarah perlahan mulai berhenti mencubit pipi Ari, dan gadis itu kembali terdiam, termenung, tenggelam dalam pikirannya sendiri, seakan mencari-cari sesuatu dalam ingatannya.

"Cuma aku nggak ngerti aja kenapa aku senyumnya kayak gitu." Tambah Ari yang terlihat bingung.

Ya, gadis itu pun sadar kalau dirinya sering pula memasang senyuman semacam itu.

Budi cuma bisa terdiam.

Ketiga anak itu semuanya diam.

Akan tetapi, siluet paus yang bercahaya di sana itu mendadak mengaum dengan suara yang amat keras dan berdengung.

Seolah paus itu menyadari kalau ada Budi, Zarah dan Ari disana, dan memutuskan untuk menyapa mereka.

Suara paus itu amat lantang tapi anehnya terdengar akrab dan menenangkan.

Ya, tetap, ketiga anak itu pun masih diam.

Budi, Ari, dan Zarah, mereka sama-sama memandang ke kejauhan sana dan mengamati bayangan paus yang berenang meliuk-liuk indah di balik awan-awan.

Setelah dipikir sekali lagi, memang apa yang sedang dilihat dengan mata kepala mereka sendiri saat itu benar-benar sangat aneh.

Seperti mimpi.

"Aku masih lapar..." Ari akhirnya angkat bicara sambil membuka bungkus keripik kentang yang kedua.

Zarah pun langsung menyipitkan mata dan menatap Ari dengan heran.

Malam semakin larut dan lambat laun, angkasa di sekeliling mereka pun mulai menjadi tenang tanpa ada satupun hal yang tak lazim.

Ketiga anak itu memutuskan untuk tidur kala itu.

Ari dan Zarah duduk bersebelahan, sementara Budi berada tepat di bawah kaki mereka.

Tangan mereka masing-masing pun sudah terikat erat pada tangga dengan menggunakan dasi, dan bagian ujung selimut mereka pun sudah mereka ikat ke selimut satu sama lain.

Jadi sekarang, mereka hanya perlu terlelap saja.

Tak butuh waktu lama sampai Budi tenggelam dalam mimpinya.

Namun, meskipun setelah semua yang terjadi hari ini, mimpinya tetap sama.

Dia terkurung dalam ruangan yang gelap dan hanya diterangi lilin kecil, sambil membaca buku tua yang tak diinginkan siapapun.

Walaupun kini ada Zarah dan Ari yang menemaninya di ruangan gelap itu namun, entah kenapa, Budi mendadak merasa sangat berat untuk terus membaca buku itu.