Chereads / ENDLESS LADDER / Chapter 6 - VI

Chapter 6 - VI

Memanjat tangga yang menjulang tinggi dan tak tak berujung ke angkasa? Itu sebenarnya tidak terlalu aneh.

Namun, memiliki mimpi yang sama selama bertahun-tahun, setiap hari dan setiap malam, bagi Budi itu adalah hal yang paling aneh.

Malahan, itu terasa salah.

Budi akhirnya terbangun dari tidurnya, ia perlahan membuka kelopak matanya.

Langit di sekelilingnya nampak kelabu, dan udaranya dingin.

Meski begitu, Budi menyukai suasananya, karena dunia terasa senyap, tenang, dan hawa dingin itu membuat kehangatan selimutnya yang menutupi badannya jadi terasa amat nyaman.

Anak itu lalu mendongak menoleh ke atas, dan dia pun mendapati kalau kedua temannya masih terlelap disitu.

Ya, ketiga anak itu masih berada di tangga itu, jauh tinggi di atas langit.

"Eh? Kamu udah bangun dari tadi, Budi?" Ari mendadak terbangun saat itu juga, tapi dia tampaknya masih sangat mengantuk.

"Ah, nggak. Barusan aja kok." Balas Budi sembari melepas dasi yang mengikat tangannya pada tangga.

"Wah... Kita beneran masih di sini ya?" Ari bergumam sambil memandang cakrawala di kejauhan.

"Eh... Gitulah." Balas Budi acuh tak acuh.

Budi lalu melirik sedikit wajah Ari, dan disaat itu pula, ia sadar kalau ini adalah kali pertamanya melihat anak itu memasang wajah seperti ini.

Ari seolah tampak kesulitan mempercayai pemandangan yang ada di depan matanya.

Maksudnya, Ari yang Budi kenal itu benar-benar selalu tersenyum, kapanpun dan dimanapun itu, tak peduli bagaimana situasinya.

Bahkan walaupun dia dihukum karena tak mengerjakan PR, atau stres gara-gara tugas yang sulit, senyumnya tetap tak pernah luntur.

Tapi kali ini, wajah Ari sungguh berbeda.

"Eh, Ari, kamu emangnya nggak mau pulang?" Budi bertanya.

"Bukannya aku nggak mau lah." Ari kelihatan agak terkejut dan tampak agak ragu pula. "Cuma ya gitu, mamaku marah mulu kalau lihat aku. Nggak selalu sih, tapi ya seringnya gitu. Dan kalau marah dia pasti suka ngomong hal-hal yang aku nggak ngerti, kayak kenapa kamu bodoh lah, kenapa kamu jelek, kenapa kamu lahir, terus kalau aku jawab ujung-ujungnya malah dapat rotan."

Ari tanpa sadar mengepalkan tangannya dengan keras saat sedang berbicara, tapi Budi melihatnya.

Sepoy angin dingin bertiup dan berhasil membuat Zarah ikut terbangun.

"Huh, dingin juga..." Zarah bergumam sambil mengucek matanya, dia sedikit menggigil.

"Tapi kok mamamu gitu sih?" Budi bertanya lagi.

"Eh?" Zarah tampak terkejut mendengar perkataan Budi.

"Hmm... Gimana ya?" Ari menggembungkan pipinya dan tidak tahu harus berkata seperti apa. "Tapi, ya, yang salah emang aku sih." Ujarnya sambil mengangkat pundak dan tersenyum manis.

Namun, perkataan Ari terdengar final, seakan-akan dia tidak ingin melanjutkan percakapan itu lagi.

Zarah pun cuma bisa menaikkan alisnya, toh dia juga baru bangun.

"Eh, kita lanjut sekarang aja nggak sih? Mumpung masih pagi." Zarah menyarankan.

"Emangnya kamu salah apa–" Belum saja Budi menyelesaikan pertanyaannya, Ari tiba-tiba kembali berkotek dengan nyaring.

"Ah, iya bener, mending lanjut sekarang aja mumpung belum panas!" Kata Ari dengan senyuman lebarnya yang khas.

Budi sejenak terdiam, entah kenapa dia merasa kalau Ari sepertinya tidak menyukai perbincangan barusan, dan memilih untuk menghindar.

Budi menghela nafas dalam.

"Yaudah kalau gitu." Kata Budi.

Lalu mereka bertiga pun bersiap-siap untuk lanjut memanjat.

Lebih tinggi lagi.

Menuju angkasa.

Angkasa yang awalnya masih kelabu, perlahan-lahan berubah menjadi biru nan cerah seiring berjalannya waktu.

Ketiga anak itu terus memanjat naik, tapi sesekali mereka berhenti untuk mengistirahatkan tangan yang terasa agak pegal.

Di tengah perjalanan pun terkadang Ari menyahut soal awan yang memiliki bentuk mirip hewan, seperti kuda, kucing, kelinci, dan ikan? Atau begitulah menurutnya.

Meski begitu, semakin tinggi mereka naik, semakin senyap pula dunia di sekeliling mereka.

Selain suara bisikan angin yang bertiup, memang hampir tak ada suara lain di atas sana.

Jadi mungkin itu adalah salah satu alasan kenapa Ari mencoba untuk selalu berisik.

Yang mana itu juga membuat Budi agak bersyukur, mengingat bagaimana keheningan bisa membuatnya teringat akan hal-hal yang tidak menyenangkan.

Membuatnya terlena.

"Eh, Zarah." Ujar Ari.

"Hmm?"

"Bentar lagi kan mau natal, aku mau ke rumahmu boleh kan?"

"Hah? Tiba-tiba banget sih." Zarah tersentak kaget. "Nggak bisa, Ri, lagian mamaku nggak pernah bikin kue. Orang di rumah pasang pohon natal aja nggak pernah." Jawab Zarah sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali ia melihat pohon natal di ruang tamunya.

Alis Ari naik sebelah.

"Lah, nggak pernah bikin

kue gimana, orang aku pernah kok natalan ke rumahmu waktu SD." Tukas Ari heran.

Zarah terdiam sejenak tenggelam dalam pikirannya, ya kalau diingat-ingat, Ari memang pernah datang ke rumahnya waktu mereka masih bocah.

Ari datang bersama dengan ibunya, dan anehnya setelah dipikir lagi kalau tidak salah, samar-samar Zarah waktu itu melihat ibu ari menggendong seorang bayi kecil.

Untuk beberapa alasan, ingatan soal kunjungan Ari kala itu terpatri jelas dalam kepala Zarah.

"Iya... Aku ingat, aku ingat." Ungkap Zarah.

"Nah! Kalau gitu nanti aku ke rumahmu ya? Barengan sama Budi." Ari memberitahu sambil menengok pada Budi di bawahnya dan tersenyum lebar.

Budi pun sempat bingung, tapi dia membalas dengan senyuman simpulnya.

Zarah pun langsung menyipitkan mata, keheranan dengan tingkah Ari.

"Yah... Itupun kalau kita bisa pulang." Zarah berbisik pada dirinya sendiri.

Namun, setelah dipikir-pikir lagi, kini Zarah jadi agak penasaran dengan bayi kecil itu.

Dia memang tidak terlalu ingat rupa mukanya, tapi warna mata bayi itu terpatri jelas dalam kepalanya.

Hijau cerah, persis seperti warna mata Ari.

Warna mata yang tak biasa untuk orang berdarah Indonesia.

Zarah ingin bertanya soal bayi itu pada Ari, tapi entah kenapa dia merasa sangat ragu tentang itu.

Mengingat selama ini setiap kali ada kerja kelompok, Ari pasti selalu menolak tiap kali mereka berencana untuk mengerjakan PR di rumahnya.

"Kira-kira di atas sana ada apa sih sebenarnya?" Ari angkat suara.

Zarah seketika tersadar dari lamunannya.

"Entahlah." Kata gadis itu sambil mengangkat bahu.

Ari lalu menengok memandang Budi di bawahnya.

"Eh... Emangnya, Aqil nggak ngomong apa-apa ke kamu?" Tanya Budi.

"Hmm... Apa ya?" Ari berpikir keras, berusaha mencari-cari sesuatu dalam kepalanya. "Yah, katanya sih; nggak usah takut, nggak peduli apa yang terjadi."

"Eh? Kenapa dia ngomong gitu?" Budi sedikit heran.

"Ya aku juga nggak ngerti sih." Balas Ari acuh tak acuh.

Padahal, tak ada satupun dari mereka yang takut dengan ketinggian, toh mereka sudah sejauh ini dan masih dalam keadaan waras pula.

"Ah, Budi aku mau nanya, bunga yang di jendela samping tempat tidurnya adikmu itu bunga apa namanya?" Ari berkotek–lagi.

Perkataan Ari kali ini membuat jantung Budi seakan berhenti berdetak, walau hanya sesaat.

Budi langsung teringat dengan cara orang-orang di desa berbicara soal keadaan Sella.

Seolah-olah Sella itu adalah kabar buruk.

Sangat buruk.

"Lah, kamu pernah ke rumah Budi?" Zarah terkejut.

"Eh? Nggak. Aku kan sering main di hutan sama temen-temen, nah dulu pas main petak umpet, aku pernah sembunyi dekat rumahnya Ari, eh terus aku lihat deh bunga yang di jendela kamarnya adiknya Budi. Waktu itu jendelanya kebuka." Jelas Ari.

Awalnya Budi merasa agak resah entah karena apa, tapi saat melihat wajah Ari dihiasi senyuman senang, rasa khawatir dalam dirinya mendadak sirna begitu saja.

"Itu mawar putih punya ibuku dulu." Budi memberitahu.

"Wah, jadi itu bunga mawar? Aku baru pertama kali loh lihatnya. Cantik banget bunganya, aku juga jadi kepengen deh."

Ari tampak kagum. Matanya seperti berkilauan.

"Terus, terus, pernah sekali aku minta izin sama adikmu buat megang bunga itu, tapi dia nggak jawab, tidur sih kayaknya."

Zarah di atas sekali lagi menyipitkan matanya mendengar perkataan Ari.

"Harus banget ya? pakai ganggu adiknya Budi segala?" Tanya Zarah kesal.

"Yah kan aku minta izin. Nggak salah kan, Budi?"

Budi langsung tersenyum kecil mendengar itu.

"Iya, nggak apa-apa, kok. Santai aja." Ujar Budi.

"Nah, kan! Budi aja bilang nggak apa-apa!" Pekik Ari.

"Yah! Tapi kamu kan tahu kalau adiknya Budi lagi sakit, yah nggak usah diganggu dong!" Balas Zarah yang tak mau kalah.

Ya, apa yang dibahas oleh Ari sepertinya memang hanya soal bunga itu saja.

Dia tak memiliki maksud buruk atau ingin mencela Sella.

Budi menghela nafas dalam dan menengok ke samping–ke kejauhan yang tak ada ujungnya.

Hanya warna biru angkasa yang nampak sejauh mata memandang.

"Eh... Hey! Di atas sana ada sesuatu!" Zarah menyahut kegirangan sambil menunjuk sesuatu di atas sana, yang tampak seperti lantai papan.

"Hah!? Yang bener!?" Ari pun melirik sesuatu yang ditunjuk oleh Zarah, dan memang benar ada papan datar disana. "Eh! Iya! Ada kayu papan!"

"Hah...?"

Hati Budi seketika berdegup kencang saat melihat ujung dari tangga itu.

Matanya membelalak lebar, dan nafasnya menjadi pelan sekali.

Budi tidak tahu kenapa, namun perasaan yang timbul dalam hatinya kala itu terasa aneh, dan yang pasti itu bukanlah rasa senang.

"Ayo, ayo, ayo!" Zarah menyahut sambil memanjat dengan cepat dan disusul oleh Ari dan Budi.

Zarah adalah yang pertama sampai di papan datar itu, dia berusaha naik dengan agak susah payah, dan setelah berhasil ia kemudian membantu Ari, dan yang terakhir Budi.

"Ya Tuhan... Kita sampai... Kita sampai!" Zarah langsung merebahkan tubuhnya di lantai itu.

Ari pun ikut berbaring di samping Zarah dan tertawa.

"Ini hebat banget! Serius!" Ujar bocah itu penuh semangat.

Ketiga anak itu akhirnya sampai di puncak tangga itu, dan itu adalah sebuah lantai papan yang cukup lebar, tapi setidaknya mereka merasa lega karena bisa berpijak dengan dua kaki.

Meski begitu, ada sesuatu yang lain disitu.

Sesuatu yang sedang ditatap Budi dengan pandangan kosong.

Sesuatu yang entah kenapa terlihat menakutkan di mata Budi.

Sebuah pintu.