Chereads / ENDLESS LADDER / Chapter 4 - IV

Chapter 4 - IV

Anak itu tersenyum kecil.

Namun, gadis itu sama sekali tidak paham apa maksud senyuman itu.

Budi memasang senyuman simpul pada bibirnya sementara di matanya dipenuhi oleh duka.

Zarah yang tidak punya hak untuk memaksa akhirnya menghela nafas dalam, dan mereka pun lanjut memanjat tangga itu semakin tinggi ke angkasa, menembus langit senja.

Malam hampir tiba, hanya tinggal menunggu waktu saja hingga warna gelap itu datang.

Udaranya juga semakin dingin, sementara kedua anak itu hanya sekedar mengenakan pakaian seragam sekolah dengan kain yang tipis.

"Hey! Tunggu aku!"

Sahut seseorang dari bawah.

Zarah dan Budi seketika terkejut setengah mati mendengarnya, dan ketika mereka menengok ke bawah, mereka mendapati ada seorang anak yang juga berpakaian putih biru sama seperti mereka.

"Ari!?" Zarah menyahut tak percaya.

"Kalian jangan bergerak!" Anak itu berteriak sambil memanjat tangga itu dengan cepat.

"Eh! Pelan-pelan, Ri!" Rasanya begitu horor melihat anak itu memanjat dengan ceroboh seperti itu.

"Tenang aja! Aku nggak bakalan jatuh kok!" Anak itu tak memedulikan Zarah dan terus memanjat hingga akhirnya dia sampai di sebelah Budi.

"Kok kamu bisa naik kesini...?" Budi bertanya dengan heran.

Zarah di atas masih terlihat amat syok.

Ari, itulah nama anak bertubuh kecil dan berambut gondrong ini.

Dia juga sekelas dengan Budi dan Zarah, tapi bedanya, Ari sangat cerewet.

Mungkin anak paling cerewet di kelas.

"Aku tadi ketemu Aqil di hutan, dan katanya kalian butuh selimut karena di atas langit pasti dingin, jadi nih makanya aku bawain." Anak itu mengeluarkan dua selimut dari dalam tasnya dan memberikannya pada Budi dan Zarah.

Budi menerima pemberian Ari dengan ragu lalu menengok ke bawah sejenak.

"KAMU PEGANG TANGGANYA YANG BENAR DONG!" Zarah menjerit emosi karena saking tidak tahannya melihat tingkah Ari yang amat blak-blakkan dan tanpa kehati-hatian sama sekali.

"Iya, iya, tenang aja ah." Balas Ari sambil tersenyum kecil sembari mengulurkan selimut pada Zarah.

"Ah, iya, makasih kalau gitu." Zarah pun menerima selimut itu tanpa komentar tambahan.

Mereka kemudian melingkarkan selimut itu di leher mereka dan mengikatnya dengan cukup erat.

"Jadi, ayo lanjut!" Ujar Ari penuh semangat. Mata anak itu terbuka lebar dan seolah berbinar-binar.

Budi lalu bertukar pandang dengan Zarah, dan gadis itu cuma mengangkat bahu.

"Yaudah, sekarang kamu manjatnya yang benar kalau gitu!" Zarah memberitahu sembari kembali memanjat.

"Siap, bos!"

Budi cuma tersenyum kecil melihat tingkah Ari.

Mereka pun melanjutkan perjalanan.

"HAHAHAHAHA! TINGGI BANGET KITA!" Ari bersorak senang sambil mengedarkan pandangannya.

Budi memang tidak terlalu mengenal Zarah, tapi kalau Ari berbeda, anak itu seperti buku yang terbuka lebar.

Ari itu anak paling girang di kelas, paling banyak omong, paling banyak tingkah, dan dia juga anak yang baik hati.

Ari pun sering mencoba mengajak Budi untuk ngobrol, tapi sayangnya Budi terlalu lelah untuk itu. Dan entah kenapa Budi sekarang jadi agak merasa sedikit bersalah pada Ari.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu malah ikutan manjat?" Budi bertanya murni karena penasaran.

"Yah... Aku takut pulang ke rumah." Jawab Ari sambil nyengir lebar. Namun, horor yang ada di matanya terlihat begitu jelas.

"Eh? Kenapa?" Tanya Zarah.

"Aku takut sama rotan mamaku. Dan minuman botol yang selalu diminum ayahku baunya nggak enak. Baunya dimana-mana di rumah, dan bikin aku mau muntah."

Budi dan Zarah sempat berhenti memanjat sejenak setelah mendengar itu.

Budi selalu tahu, kalau semua orang punya masalahnya sendiri, tapi rasanya terlalu berat bahkan hanya untuk sekedar mengingatnya.

Jadi, budi cuma berusaha untuk berpura-pura tidak tahu.

Toh, hidupnya sendiri pun kacau.

"Eh, gimana selimutnya?" Ari bertanya, suara anak itu seakan selalu dipenuhi semangat.

"Ya, ini enak kok, aku udah nggak terlalu kedinginan." Ujar Zarah sambil tersenyum tipis dan merasakan kehangatan pada selimut yang melingkar di lehernya.

"Hehe–" Ari lalu menoleh memandang ke bawahnya, tepatnya kearah Budi, dan anak itu tampak seakan mengharapkan jawaban dari Budi.

"Ah, iya, makasih ya, Ri." Ungkap Budi.

"Santai lah!" Ari tersenyum lebar mendengar jawaban Budi lalu kembali memandang sekeliling.

Langit sudah semakin gelap, dan dunia seolah menjadi redup.

"Tapi beneran, ini ajaib banget. Aku jadi heran, kok bisa ya kita ada disini sekarang?" Ujar Ari yang tampak kagum sekaligus heran dengan semua yang terjadi saat ini.

"Hmm... Iya juga kalau dipikir-pikir, ya." Ujar Zarah sambil menimang dalam benaknya.

Mendengar itu, Budi pun jadi kepikiran hal yang sama.

Kenapa?

Kenapa mereka menemukan tangga ini?

Kenapa mereka memanjatnya?

Kenapa mereka terus naik?

Lalu, kegelapan akhirnya menyelimuti angkasa, dan satu-satunya sumber pencahayaan mereka adalah sinar bulan dan bintang-bintang.

Namun, Budi teringat kalau dia memiliki senter di dalam tasnya.

"Tunggu." Budi segera membuka tasnya.

"Eh? Kenapa?" Tanya Zarah.

"Aku ada senter." Budi mengeluarkan senter yang bisa diikat di kepala.

"Eh? Kenapa kamu bawa-bawa senter?" Ari bertanya heran.

"Aku biasanya pulang kerja agak telat. Jalan ke rumahku itu gelap jadi ya aku selalu bawa senter buat jaga-jaga." Budi mengenakan senter itu di kepalanya dan menyalakannya.

Cahayanya memang tidak terlalu terang, mengingat senter itu hanya senter murahan yang dijual di pasar.

"Udah. Ayo lanjut."

Ya, cahaya senter itu memang remang-remang, tapi anehnya Zarah dan Ari tersenyum kala itu.

"Ayo, ayo." Ujar Ari kegirangan.

"Gila, tapi asik. Mungkin itu kata yang cocok buat kita sekarang." Zarah menambahkan.

"Nah! Kamu benar, Rah! Ini emang aneh sih, tapi ya karena kita barengan jadinya malah seru banget kan–hap! hap! hap! Tambah Ari sambil melompati anak tangga.

"HEY! UDAH AKU BILANG KAN MANJATNYA YANG BENAR!" Zarah menjerit jengkel saat menyadari kalau Ari bertindak tanpa kehati-hatian lagi.

"Huh, iya, iya." Ari menggembungkan pipinya. "Ayo, Bud!" Ari memanggil Budi dengan semangat.

Zarah pun menoleh ke arah Budi sambil tersenyum kecil.

"Iya, iya." Balas Budi seadanya.

Tiba-tiba, Budi seperti merasa ada sesuatu yang berbeda.

Dia merasa kalau dirinya tidak sendirian lagi di ruang yang gelap itu.

Bukan hanya lilin itu saja yang menemaninya.

Kini Budi membaca buku tua itu bersama-sama dengan Zarah dan Ari.