(kenangan)
Saat pemakaman di mulai aku hanya diam menatap ayahku yang di kubur di tanah, sepertinya ejekan 'ayahmu di mana', 'ayahku ditanah' itu sudah bakal berlaku sekarang dan ya..sekarang aku merindukan ayahku.
Aku ingat sekali dulu ayah seperti apa, selalu ada sejak aku kecil, selalu menenangkan diriku yang frustasi akan nilai pelajaran , atau aku yang selalu merasa aku lebih baik dari semua orang.
Maaf jika waktu kecil aku selalu merasa seperti itu tapi memang, manusia pada dasarnya aneh, menginginkan keadilan tapi melanggar peraturan dan merasa dirinya terdepan, padahal peraturan dibuat untuk mensejahterakan masyarakat dan seharusnya kalo memang ada yang melanggar di hukum bukan di anggap benar, tapi memang dunia ini di isi mereka.
Kembali ke pemakaman ayah, aku hanya diam termenung di sana sendirian dan tiba-tiba sekali hujan muncul, turun dengan sangat deras membasahiku.
Aku hanya diam meratapi kuburan ayahku yang terkena hujan, setiap orang pergi setiap menit menyisahkan diriku yang sendirian di bawah hujan yang lebat, aku...aku merindukanmu ayah.
Aku ingin sekali bersamamu lebih lama, ayah.
Aku ingin hidup bersamamu terus menerus, melihatmu yang keriput saat aku tumbuh besar dan menjadi Ilmuan, aku ingin kau melihat itu, melihat anakmu yang akan mencapai mimpinya, mencapai apa yang dia harapkan.
Apa yang aku dapatkan sekarang?, melihat ayah terbaring di kuburan dengan tidak bernyawa, mau gimanapun takdir bukan yang tahu kapan kita meninggal, tapi aku masih membutuhkanmu menjadi seorang ayah untuk perkembangannya.
"mau menangis?" Theo muncul sambil membawa payung dan mengarahkannya kediriku yang sudah basah.
"aku..." Aku menatap Theo dengan wajah yang sedih, aku menangis saat tidak ada orang hanya ada Theo disana, aku menangis dalam diam sambil meremas baju Theo dengan keras.
"aku tahu ini sulit" Theo mengusap kepalaku dengan lembut sambil menatapku dengan lembut.
Aku menatapnya dengan mata yang mengeluarkan air matanya.
"kau"
"apa?"
"cloningan mu menjaga ayahku kan, kenapa bisa seperti ini?" aku menatap Theo dengan wajah kesal.
"baiklah, aku tidak tahu kenapa bisa seperti itu tapi yang aku tahu adalah detak jantung ayahmu berhenti kemarin dan aku tidak tahu alasan jelas kenapa detak jantungnya berhenti..mengerti" Theo mengusapku dengan lembut dia berbicara dengan lembut dan menenangkanku yang sedang sedih.
Aku hanya mendengar alasannya, jika memang The Gods yang mengambil jiwa ayahku untuk di bawah, maka aku harus merelakan itu meski itu sangat berat untukku.
Sekarang memori atau kenangan bersama ayah diputar dengan sangat indah di ingatanku yang masih sehat, mengingat bagaimana dirinya yang selalu mengajku kemanapun sejak kecil, mengurusku dari kecil sampai sekarang.
Aku merasa berhutang budi pada ayahku, Ayah...aku merindukanmu...
Merindukan masa-masa bersama ayah, ke taman bermain yang indah dengan banyak wahanan yang kita naiki waktu itu, aku masih ingat sangat ingat sekali kejadian itu, sangat manis dan indah di penuhi keceriaan di mana-mana.
Dan sekarang, kita tak bisa bersama lagi ayah.
Aku tidak bisa melihat ayah lagi, aku tak bisa bercanda soal pemerintahan lagi dengan ayah, tidak bisa melihat ayah bekerja lagi di kantor.
Dan ayah malah tidak bisa menemani aku yang bakal menjadi Ilmuan.
Aku ...selalu merasa ayah ada, selalu ada untukku di pikiranku.
Hujan makin lebat dan ada petir yang menyambar.
"kalian berdua ingin bermesraan di bawah payung berdua?" tanya seorang wanita berambut ungu, dan itu adalah ibuku.
Aku langsung mengusap air mataku saat bersembunyi di tubuh Theo.
"tidak..kami akan menepi" jawabku.
"hey...habis nangis ya" ibuku menatapku dengan wajah yang kaku tapi perilakunya sangat hangat. Aku tidak berbohong dan hanya mengaku jika aku habis menangis.
"hey...jangan sedih oke, aku tahu kehilangan Max adalah hal yang menyedihkan untukmu, tapi apa Max ingin kau merenung dan menangis?, tentu saja jawabannya tidak..Max ingin kau tumbuh dan mencapai mimpimu.." ibuku memberiku sebuah motivasi.
"a..baiklah" aku mengerti dan langsung di peluk oleh ibuku dengan lembut dan hangat.
"halo Theo" ibuku memanggil Theo, tunggu Theo dan ibuku kenal?, Theo tahu arti tatapanku dan dia menatapku.
"apa..?, ya..aku jujur ibumu itu sebenarnya ilmuan yang aku kenal, waktu itu Cuma tabrakan" Theo jujur.
"ya..benar dan ternyata kau mengincar anakku ya tua" ibuku menatap Theo dengan wajah yang kaku, Theo tampak tidak mengaku dan malah membalikkan tatapannya dengan wajah yang kaku juga.
###
Aku berada di sebuah pemnginapan yang mewah bersama ibuku, Theo? Jangan di tanya dia undur diri dengan alasan ada pekerjaan.
Aku menatap ibuku yang memberikanku secangkir coklat hangat dan duduk di sampingku, serius ibuku cantik sekali dengan tubuh ramping dan tatapan mata yang tajam.
"maaf..aku tidak hadir dalam kehidupanmu" ibu memulai pembicaraan sambil mengusap kepalaku yang ada handuk.
"tidak apa bu"
"ibu bingung kenapa ayahmu membawamu kabur padahal ibu bisa merawatmu"
"hah!!, ayah membawaku kabur?"
"jadi waktu kamu lahir, ayahmu bilang ingin merawatmu sendirian karena dirinya akan dijodohkan, dan dia tidak peduli jika dirinya dicap sebagai pria aneh Cuma karena anak kesayangannya" ibuku menjelaskan, membuatku tahu seberapa sayangnya ayahku denganku.
"ayahmu juga pria yang bertanggung jawab, dia selalu mengirimi ibu uang yang banyak padahal ibu tidak mau, meskipun berakhir tidak menikah ayahmu selalu mendatangi ibu dam masih bertukar pesan dengan ibu...
Dia selalu bilang ingin menikahi ibu sejak dulu dan sangat senang karena memiliki anak yang cerdas" ibuku menatapku dengan senyuman di wajahnya sambil mengusa pipiku.
Aku kaget saat tahu ibuku memiliki foto diriku yang memegang mendali dan di kejuaraan olimpiade matematika.
"jangan kaget seperti itu..kau sangat berbeda dengan ayah dan ibu...yang di kenal tenang, tapi kau malah sangat berapi-api" ibuku mencubit pipiku dengan lembut membuatku bertanya-tanya dari mana sikap berapi-apiku ini, tapi mungkin ini karena aku alergi orang bodoh.
"ibu ceritakan lagi" aku menatap ibuku yang masih menatapku dengan wajah datarnya.
"baiklah, waktu itu saat kau masih di dalam perut ibu..ayahmu sangat baik sekali merawat ibu padahal dia memiliki istri dan anak tapi bukan dari keturunannya, kau pasti mendengar 2 anak Rose itu anak kanduk ayahmu kan?..
Padahal tidak, Cilver dan Liya adalah anak kandung Rose bersama pria lain, dan semua orang menutupi hal itu karena mereka dibayar dengan uang, tahu lah siapa yang mereka bayar..
Oke..balik ke cerita utama, saat kamu lahir, ayahmu sangat senang karena anaknya perempuan dia tidak peduli jika anak pertama atau anak semata wayangnya perempuan karena baginya perempuan dan laki-laki itu sama hanya di bedakan jenis kelaminnya saja tapi dari segi kemampuan otak itu bisa dilatih" ibuku bercerita panjang lebar dengan aku yang hanya mendengarkan.
Mendengar fakta bahwa seorang dokter dibayar untuk tutup mulut itu adalah hal yang wajar di lakukan Rose si nenek lampir itu.