Chereads / LOVE IN TWO ERAS / Chapter 18 - Cinta dalam Diri

Chapter 18 - Cinta dalam Diri

Alia berjalan menyusuri jalan setapak di taman yang kini terlihat lebih cerah. Udara pagi yang sejuk membawa kesegaran bagi tubuhnya yang lelah setelah beberapa minggu penuh dengan penelitian dan penelusuran jejak-jejak sejarah. Namun, meskipun tubuhnya merasa lelah, hatinya seolah penuh dengan energi baru. Keputusan yang baru saja ia ambil—untuk memfokuskan perhatiannya pada pencarian jati diri dan makna cinta dalam kisah Maya dan Johannes—memberikan perasaan yang berbeda.

Setelah beberapa minggu mengungkap lebih banyak tentang kisah Maya dan Johannes, Alia merasa seperti ada hubungan yang lebih dalam yang mulai terbentuk antara dirinya dan dua orang yang hidup jauh sebelum dirinya. Cinta mereka, meskipun terhalang oleh waktu, telah menyentuh hatinya dengan cara yang sulit untuk dijelaskan. Maya, dengan semua perjuangannya, dan Johannes, yang meskipun terpisah dari Maya, tetap mencintainya dengan tulus, memberi Alia banyak pelajaran yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.

Selama bertahun-tahun, Alia selalu merasa dirinya berbeda. Sebagai seorang wanita muda yang terdidik dan berfokus pada karier di dunia arkeologi, ia sering kali merasa lebih nyaman berada dalam dunia logika dan pengetahuan daripada perasaan. Cinta dan hubungan seringkali terasa rumit dan membingungkan baginya, dan ia lebih suka menghindari kedalaman perasaan yang mungkin dapat mengacaukan hidupnya. Namun, setelah mempelajari kisah Maya, Alia mulai menyadari bahwa cinta adalah bagian tak terpisahkan dari hidup yang tidak bisa dihindari.

Kini, setiap langkah yang diambilnya menuju pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya sendiri. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya sekadar menelusuri jejak cinta yang terpendam, tetapi juga menemukan cinta dalam dirinya sendiri. Mungkin selama ini ia mengabaikan perasaan dan lebih fokus pada logika, tetapi kisah Maya dan Johannes mengajarkan Alia bahwa cinta tidak hanya tentang pengorbanan dan kehilangan. Cinta adalah tentang keberanian untuk mencintai tanpa syarat, tentang keikhlasan menerima kenyataan meskipun terkadang cinta itu tak bisa bersatu.

Alia merasa seperti telah menemukan sebuah refleksi dari dirinya sendiri dalam kisah Maya dan Johannes. Seperti Maya, ia pernah merasa terjebak dalam dunia yang penuh dengan harapan dan ekspektasi orang lain. Seperti Johannes, ia merasa terasing dalam perasaan cinta yang tak bisa terungkapkan, terhalang oleh perbedaan dan batasan zaman. Tetapi yang membedakan Alia adalah kenyataan bahwa ia masih memiliki kesempatan untuk memilih bagaimana ia ingin menjalani hidupnya. Ia tidak harus terjebak dalam rutinitas yang membelenggu dirinya; ia bisa belajar untuk membuka hati, untuk memberi ruang bagi cinta dalam dirinya.

Sambil duduk di bangku taman yang sepi, Alia merenung, berpikir tentang apa yang telah ia pelajari selama ini. Perjalanan pencariannya dalam menggali kisah cinta Maya dan Johannes membawanya untuk menghadapi ketakutannya sendiri—ketakutan untuk membuka hati dan membiarkan cinta masuk. Namun, Alia menyadari bahwa dengan menutup hati, ia tidak hanya menutup pintu bagi cinta, tetapi juga menutup kemungkinan untuk menjadi lebih utuh sebagai seorang manusia.

Ketika Alia melanjutkan langkahnya, ia merasa sebuah kedamaian yang baru. Ia telah menemukan jawaban dari pencariannya tentang cinta, meskipun jawabannya bukanlah sesuatu yang dapat ditemukan dengan mudah dalam kata-kata. Cinta itu tidak dapat dijelaskan dengan logika semata; cinta adalah perasaan yang tumbuh dan berkembang dari dalam hati. Untuk pertama kalinya, Alia merasa siap untuk membuka hati, untuk menerima perasaan yang selama ini ia hindari.

Hari itu, Alia memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. Selama ini, Alia sering merasa bahwa ia dan ibunya tidak benar-benar terhubung. Ibunya adalah seorang wanita yang penuh dengan kebijaksanaan dan cinta, tetapi Alia merasa bahwa ia tidak pernah benar-benar memahami ibu dalam hal-hal yang lebih mendalam. Ibu Alia selalu berpesan untuk mengejar impian, untuk menjadi mandiri, dan untuk fokus pada karier. Namun, dalam hal cinta dan hubungan pribadi, ibunya lebih memilih untuk diam dan membiarkan Alia mencari jalan hidupnya sendiri.

Malam itu, setelah makan malam bersama, Alia memutuskan untuk membuka pembicaraan. Ia merasa bahwa sekarang adalah saat yang tepat. Di ruang tamu yang nyaman, dengan secangkir teh di tangan, Alia mulai berbicara.

"Ibu, aku ingin berbicara tentang sesuatu," kata Alia dengan suara yang lembut.

Ibunya menatapnya dengan penuh perhatian, senyum lembut di wajahnya.

"Tentu, ada apa, Nak?" jawab ibunya, menaruh cangkir teh di meja.

Alia menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia merasa bahwa pembicaraan ini akan menjadi titik balik dalam hubungan mereka.

"Aku merasa... selama ini aku terjebak dalam pola pikir yang salah," ujar Alia. "Aku selalu fokus pada karier, pada pencapaian, dan merasa bahwa cinta itu bukanlah bagian dari hidupku yang penting. Tapi, setelah mempelajari kisah Maya dan Johannes, aku mulai menyadari bahwa cinta itu lebih dari sekadar perasaan. Cinta itu adalah bagian dari siapa kita, dari perjalanan hidup kita."

Ibunya mendengarkan dengan seksama, dan Alia bisa melihat kilatan kebijaksanaan di matanya. Ibunya tersenyum lembut, lalu berbicara dengan tenang.

"Cinta, Nak, adalah hal yang paling indah dalam hidup kita. Kadang-kadang, kita terlena dengan tujuan hidup kita, dengan impian dan ambisi yang kita kejar. Tetapi cinta—baik itu cinta pada diri sendiri, pada orang lain, atau bahkan pada dunia ini—adalah dasar dari segalanya. Cinta memberi kita kekuatan untuk bertahan, untuk menjadi lebih baik, dan untuk belajar menerima segala hal dalam hidup."

Alia merasa hatinya tergerak mendengar kata-kata ibunya. Ia merasa seolah-olah telah menemukan sebuah pencerahan baru. Cinta bukanlah sesuatu yang harus dikejar atau dipaksakan. Cinta datang dengan sendirinya, dalam bentuk yang tak terduga, dan kita hanya perlu membuka hati untuk menerimanya.

"Aku rasa aku sudah terlalu lama menutup diriku dari cinta," kata Alia perlahan. "Aku takut untuk merasakannya, karena aku merasa bahwa itu akan mengganggu segala yang telah aku bangun. Tetapi kini aku tahu, bahwa aku bisa menjadi lebih utuh jika aku membuka diriku pada cinta—bukan hanya cinta pada orang lain, tetapi juga pada diri sendiri."

Ibunya tersenyum dan meraih tangan Alia dengan penuh kasih sayang. "Itulah yang aku harapkan, Nak. Cinta sejati dimulai dari diri kita sendiri. Ketika kita bisa mencintai diri kita, kita akan lebih siap untuk mencintai orang lain dengan tulus."

Alia merasa seolah-olah sebuah beban berat terangkat dari hatinya. Pembicaraan itu memberi kekuatan dan kedamaian yang ia cari-cari selama ini. Ia tahu, perjalanan cinta Maya dan Johannes mungkin telah berakhir dengan tragedi, tetapi kisah itu memberikan pelajaran berharga bagi dirinya: bahwa cinta sejati dimulai dengan menerima diri sendiri dan membiarkan cinta itu mengalir dengan bebas.

Alia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya dengan cara yang berbeda. Ia akan mengejar impian dan ambisinya, tetapi kali ini dengan hati yang lebih terbuka—untuk cinta, untuk hubungan, dan untuk kedamaian batin yang datang dari dalam dirinya sendiri.