Maya duduk di beranda rumah tua itu, menatap langit sore yang perlahan berubah menjadi merah keemasan. Seperti biasa, ia menghabiskan waktu sore hari di tempat yang sama, tempat yang telah menjadi saksi bisu setiap perasaan yang tersembunyi dalam hatinya. Rumah ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga saksi perjalanan hidupnya yang penuh dengan harapan dan penantian.
Di tangan Maya tergenggam surat yang baru saja ia terima. Surat itu datang dari Johannes—pria yang kini lebih sering ia bayangkan daripada dia kenang. Surat-surat itu, meskipun hanya beberapa baris kata, selalu mampu menggetarkan hatinya. Mereka adalah pengingat tentang bagaimana hubungan mereka tumbuh dari pertemuan pertama yang tak terduga hingga janji-janji yang kini semakin jauh untuk dijangkau.
Namun kali ini, surat Johannes berbeda. Bukan kata-kata mesra yang biasa ia terima, melainkan hanya sebaris kalimat singkat yang mengungkapkan penundaan kedatangan Johannes. "Aku harus tinggal lebih lama di Batavia, Maya. Maafkan aku."
Dengan perasaan yang campur aduk, Maya meremas surat itu dan membiarkannya terjatuh ke lantai kayu yang sudah usang. Ia sudah terbiasa dengan penundaan-penundaan seperti ini, meskipun kali ini perasaan sakit hati itu sedikit lebih tajam. Bukan hanya karena Johannes tidak bisa memenuhi janji-janjinya, tetapi juga karena ia merasa seperti terjebak dalam siklus yang tak pernah berujung. Setiap kali Johannes mengatakan akan kembali, Maya selalu menanti, dengan harapan yang tak pernah pudar, meski ia tahu bahwa harapan itu semakin tipis seiring berjalannya waktu.
Penantian ini telah berlangsung terlalu lama—lebih dari setahun sejak terakhir kali mereka bertemu. Setiap kali Johannes menulis, Maya akan merasa seolah-olah dunia mereka masih berjalan bersama. Tetapi kenyataan adalah, waktu telah memperlebar jarak antara mereka, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Meskipun surat-surat itu masih datang, Maya mulai merasakan ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang dulu selalu ada dalam setiap kata Johannes, dalam setiap kalimat yang menyatakan bagaimana mereka berdua akan menghadapi dunia bersama.
Kini, surat-surat itu terasa seperti bayangan kosong yang terus menghantui, tetapi tidak memberi jawaban apa pun. Maya tahu bahwa ia tidak bisa terus menunggu tanpa kepastian. Namun, untuk melepaskan Johannes—meskipun ia tahu itu adalah hal yang harus dilakukan—adalah sesuatu yang sangat sulit. Di sinilah kebingungannya datang: apakah ia harus melepaskan semua yang pernah ada, ataukah ia harus bertahan dan menunggu meskipun tanpa tahu kapan akhirnya semuanya akan berakhir?
Di luar, angin sore berhembus pelan, membawa harum tanah basah dari kebun yang ada di sekitar rumah. Maya mengalihkan pandangannya dari surat yang tergeletak di lantai, menatap jauh ke horizon. Apa yang akan terjadi jika ia memutuskan untuk berhenti menunggu? Apa yang akan terjadi jika ia memilih untuk hidup tanpa bayangan Johannes? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengalir dalam pikirannya, tetapi jawabannya selalu sama: ia tidak tahu.
Penantian ini telah mengubah hidupnya. Setiap hari, ia menjalani rutinitas yang hampir tak ada bedanya, tetapi di dalam hatinya, ada kekosongan yang terus tumbuh. Ia tahu bahwa jika ia terus menunggu, ia akan kehilangan banyak kesempatan—kehidupannya, masa depannya, dan mungkin juga dirinya sendiri.
Maya berdiri dan melangkah menuju jendela besar yang menghadap ke kebun. Di luar, matahari mulai terbenam, menciptakan bayangan panjang yang melapisi tanah yang subur. Ia teringat ketika pertama kali bertemu Johannes, ketika ia masih merasa penuh dengan harapan dan impian tentang masa depan bersama. Pada waktu itu, mereka sering berbicara tentang perjalanan mereka bersama, tentang bagaimana mereka akan membangun kehidupan yang bahagia dan bebas dari segala batasan sosial. Cinta mereka seakan tak terhalang oleh apapun—oleh kelas sosial, oleh perbedaan ras, atau oleh aturan-aturan yang ada di masyarakat. Mereka hanya berdua, dengan dunia di depan mereka.
Namun kenyataan kini berbeda. Maya merasa seperti ia hidup di dunia yang berbeda dari dunia yang pernah mereka impikan. Dunia yang penuh dengan tekanan, tuntutan keluarga, dan kewajiban sosial yang mengekangnya. Johannes—pria yang pernah menjanjikan kebebasan dan kebahagiaan—tampaknya semakin jauh dari jangkauannya. Setiap kali Maya membaca surat-suratnya, ia merasa seperti ia sedang berbicara dengan seorang pria yang tidak lagi berada di dunia yang sama dengannya.
"Apa yang harus aku lakukan?" Maya bergumam pada dirinya sendiri, hampir tak terdengar.
Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar di pintu. Maya tersentak, terkejut dari lamunannya. Ia membuka pintu dan melihat seorang wanita tua yang sudah lama dikenal berdiri di sana. Wanita itu, yang merupakan tetangga lama, tampak membawa sekeranjang sayuran yang baru dipetik dari kebun.
"Maya," wanita itu memanggil dengan lembut, "Apakah kamu baik-baik saja? Aku datang untuk membawa beberapa sayuran segar."
Maya tersenyum tipis, berusaha menunjukkan kesan bahwa ia baik-baik saja, meskipun hatinya merasa begitu hampa. "Terima kasih, Bu Lela. Aku baik-baik saja."
Namun, Bu Lela, yang sudah mengenal Maya sejak kecil, bisa melihat dengan jelas perubahan dalam dirinya. "Maya," katanya dengan suara lembut, "Aku tahu kamu menunggu seseorang. Tetapi ingatlah, ada saatnya kita harus melepaskan yang kita cintai, agar kita bisa menemukan jalan kita sendiri. Tidak ada yang salah dengan itu."
Maya terdiam. Kata-kata Bu Lela seperti sebongkah batu yang dilemparkan ke dalam danau yang tenang, mengguncang kedamaian yang sempat ia rasakan. Mungkin Bu Lela benar. Mungkin ini saatnya untuk berhenti menunggu—untuk berhenti memegang teguh sebuah harapan yang tak kunjung datang.
"Aku tahu, Bu Lela. Tapi ini sulit," jawab Maya dengan suara yang hampir pecah. "Aku sudah begitu lama menunggu, dan aku takut jika aku melepaskannya, aku akan kehilangan segala sesuatu yang pernah aku impikan."
Bu Lela menatap Maya dengan penuh kasih sayang. "Maya, hidup ini bukan hanya tentang menunggu, tetapi tentang apa yang kamu lakukan dengan waktu yang kamu miliki sekarang. Waktu terus berjalan, dan kita harus berjalan bersamanya. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam penantian yang tak pasti. Ada banyak kebahagiaan yang menantimu di luar sana, jika kamu bersedia membuka hati dan menerima kenyataan."
Maya menunduk, merenung sejenak. Ia tahu kata-kata Bu Lela itu datang dari hati yang tulus, dan ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Saatnya untuk membuat keputusan besar. Jika cinta sejati itu memang ada, maka ia harus merelakan dan memberikannya kebebasan untuk berkembang, meskipun tanpa dirinya.
Maya menyeka air mata yang tak terasa jatuh dari matanya, lalu mengangkat wajahnya. Di dalam hatinya, ia tahu apa yang harus dilakukan. Terkadang, mencintai seseorang berarti memberi mereka kebebasan—dan mungkin, kebebasan itu juga yang akan memberi Maya kebahagiaan yang selama ini ia cari.
Dengan perlahan, ia kembali duduk di kursi beranda, merasakan angin sore yang menyegarkan wajahnya. Ia tahu, perjalanan hidupnya masih panjang, dan ini hanyalah salah satu dari banyak keputusan yang harus diambil. Tetapi kini, ia merasa sedikit lebih ringan. Seperti sebuah beban yang akhirnya terlepas, meskipun perasaan itu masih belum sepenuhnya hilang.
Penantian yang tak terbayar akhirnya berakhir.