Chereads / LOVE IN TWO ERAS / Chapter 22 - Perpisahan yang Menyakitkan

Chapter 22 - Perpisahan yang Menyakitkan

Pagi itu, angin pagi yang sejuk berhembus lembut melalui jendela terbuka, membelai rambut Maya yang terurai. Suasana pagi di rumah tua itu tampak tenang, namun di dalam hati Maya, ada gejolak yang tak pernah surut. Setiap hari, ia semakin merasa terperangkap dalam dunia yang berbeda dari dunia yang pernah ia impikan bersama Johannes.

Hari-hari yang dilalui Maya kini terasa semakin sunyi. Surat-surat dari Johannes semakin jarang datang, dan setiap kali ia memegang salah satunya, ada kekosongan yang membekas di dalam hatinya. Kehilangan kata-kata manis yang biasa menghangatkan hatinya, digantikan oleh keheningan yang kian mencekam. Seminggu yang lalu, ia menerima sebuah surat yang tak seperti biasanya.

Surat itu singkat, tetapi isinya cukup mengguncang dunia Maya. Johannes menulis bahwa ia akan kembali ke Belanda, tanpa memberitahukan kapan atau bahkan mengapa ia harus pergi. Tidak ada penjelasan rinci, hanya sebuah pengakuan bahwa ia harus mengakhiri hubungannya dengan Maya karena alasan yang tidak bisa diungkapkan melalui kata-kata.

"Maya," tulis Johannes dalam suratnya. "Aku memohon maaf, tapi aku rasa hubungan ini tak bisa berlanjut. Aku harus pergi, dan mungkin kita tak akan pernah bertemu lagi."

Surat itu jatuh dari tangan Maya, tubuhnya terasa lemas, seolah seluruh dunia di sekelilingnya mendadak menghilang. Ia menatap surat itu dengan mata yang kabur, tak bisa memahami apa yang baru saja ia baca. Apakah ini benar-benar akhir dari semuanya? Apakah Johannes benar-benar akan pergi, meninggalkan dirinya dengan segala kenangan dan impian yang telah mereka rajut bersama?

Maya merasa seperti disambar petir. Di satu sisi, hatinya merasa hancur. Di sisi lain, ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan—sesuatu yang mendalam, tetapi tak bisa ia terima begitu saja. Cinta mereka begitu besar, begitu menggebu, namun kenyataan kini harus diterima: Johannes tidak akan kembali.

Hari itu terasa begitu panjang. Maya duduk di ruang tamu yang sunyi, memandangi surat itu tanpa bisa menghentikan air mata yang mengalir di pipinya. Ia merasa begitu kecil, seolah-olah seluruh dunia telah berbalik melawan dirinya. Tak ada lagi pelukan Johannes, tak ada lagi janji-janji yang pernah mereka buat bersama. Semua itu kini hanya tinggal kenangan yang semakin memudar.

Beberapa jam kemudian, langkah Maya terhenti di depan cermin besar di kamar tidurnya. Ia menatap refleksinya sendiri, melihat wajahnya yang tampak lelah, penuh dengan kesedihan. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara untuk menghadapinya—bagaimana cara untuk menerima kenyataan bahwa cinta yang ia perjuangkan begitu lama kini harus berakhir begitu saja.

Tiba-tiba, pintu kamar diketuk dengan lembut. Maya tersentak, menghapus air mata yang masih mengalir di wajahnya, lalu membuka pintu.

Di luar berdiri ibunya, dengan wajah yang penuh perhatian. "Maya, sayang, ada apa? Mengapa kamu terlihat begitu lelah?"

Maya hanya menghela napas panjang, tidak tahu harus menjelaskan apa. Seiring waktu, ibunya semakin sering mengajukan pertanyaan tentang hubungannya dengan Johannes. Namun, Maya selalu menghindar untuk membicarakan hal itu. Kali ini, ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi menyembunyikan kenyataan.

"Ibu," ujar Maya pelan, "Johannes akan pergi. Ia tidak akan kembali."

Mata ibu Maya membelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi? Bukankah kalian berdua sudah merencanakan masa depan bersama?"

Maya menunduk, berusaha menahan gejolak emosi yang semakin memuncak. "Dia mengirimkan surat. Ia mengatakan bahwa hubungan kami tidak bisa berlanjut. Dia harus kembali ke Belanda, dan mungkin kita tidak akan bertemu lagi."

Ibunya menarik napas panjang, kemudian duduk di samping Maya. "Maya, aku tahu ini sangat berat untukmu. Tetapi, jika memang dia memilih untuk pergi, mungkin itu adalah yang terbaik untuk kalian berdua. Mungkin ini waktunya kamu melepaskan."

Maya menggigit bibirnya. Kata-kata ibu itu seperti pisau yang mengiris hati, tetapi entah mengapa, ada sesuatu dalam diri Maya yang mulai meresapi setiap kalimat itu. Ia tahu bahwa ibunya benar. Ia telah lama menunggu Johannes, dan selama itu pula ia terjebak dalam sebuah angan-angan yang tak kunjung menjadi kenyataan.

Namun, perpisahan ini—meskipun ia tahu itu adalah keputusan yang harus diambil—masih terasa begitu menyakitkan. Ada perasaan kehilangan yang begitu dalam, yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seolah-olah separuh dari dirinya hilang bersama keputusan Johannes untuk pergi.

Hari-hari berlalu dengan penuh kesendirian bagi Maya. Ia menghabiskan waktu dengan membaca surat-surat lama dari Johannes, meskipun surat-surat itu semakin terasa seperti kenangan yang tak bisa lagi ia pegang. Ia ingin mengabaikan kenyataan itu, ingin meyakinkan dirinya bahwa mungkin suatu hari Johannes akan kembali. Tetapi kenyataannya, semakin ia menunggu, semakin ia menyadari bahwa harapan itu semakin tipis.

Pada suatu malam, ketika Maya sedang duduk di beranda rumah, ia mendengar suara langkah kaki yang tidak biasa. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang pria berdiri di depan gerbang rumahnya. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Maya mengenali pria itu. Johannes.

Johannes tersenyum kecil, namun ada kesedihan yang mendalam di matanya. Ia berjalan mendekat, dan Maya merasa jantungnya berdebar kencang. Ada begitu banyak kata yang ingin ia ucapkan, tetapi seolah lidahnya terkunci. Setelah sekian lama, akhirnya mereka bertemu lagi.

"Maya," kata Johannes dengan suara berat, "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku tahu aku telah membuatmu menunggu terlalu lama, dan aku sangat menyesal. Tetapi, aku harus mengatakan ini—keputusan untuk pergi bukanlah hal yang mudah bagiku. Aku masih mencintaimu, tetapi aku harus pergi untuk mencari kehidupanku sendiri."

Maya terdiam. Kata-kata itu begitu sederhana, namun begitu memilukan. Ia tahu bahwa Johannes masih mencintainya, tetapi kenyataan bahwa mereka harus berpisah, bahwa hubungan mereka tak bisa diteruskan, membuat hati Maya terasa hancur.

"Apa yang kita miliki tidak bisa bertahan dalam jarak yang begitu jauh," lanjut Johannes, suaranya penuh penyesalan. "Aku harus meninggalkanmu, Maya, meskipun itu bukanlah hal yang aku inginkan."

Maya menatapnya, matanya berkilat dengan air mata yang tidak bisa lagi ia tahan. "Aku tahu, Johannes. Aku tahu ini adalah keputusan yang terbaik untuk kita berdua. Tetapi aku tidak bisa mengabaikan kenyataan ini—kita harus berpisah."

Johannes mengangguk pelan, seolah mengerti betul bahwa kata-kata itu adalah akhir dari segalanya. Mereka berdua berdiri dalam keheningan, merasakan beratnya perpisahan yang sudah tidak bisa lagi ditunda. Maya merasa sesuatu yang dalam menggetarkan hatinya, namun ia tahu, meskipun ini adalah akhir, ini adalah akhir yang harus mereka terima.

Johannes melangkah mundur perlahan, berbalik menuju jalan yang akan membawanya pergi untuk selamanya. "Selamat tinggal, Maya," kata Johannes dengan suara serak. "Terima kasih untuk segala kenangan indah."

Maya hanya bisa menatap punggungnya yang semakin jauh, air mata mengalir di pipinya, tak bisa lagi dibendung. Ia tahu, perpisahan ini bukan hanya perpisahan dengan Johannes, tetapi juga dengan segala impian dan harapan yang pernah mereka bangun bersama. Cinta mereka mungkin tidak berakhir bahagia, tetapi kenangan itu akan tetap hidup dalam dirinya, meskipun waktu terus berlalu.

Dan dengan itu, Maya melepaskan perpisahan yang tak terbayar.