Alia menatap cermin di hadapannya dengan pandangan kosong. Wajahnya yang lelah dan letih mencerminkan perjalanan panjang yang telah ia tempuh, baik secara fisik maupun emosional. Ia baru saja pulang dari rumah keluarga Maya, setelah menemukan lebih banyak tentang kisah yang telah mengubah hidupnya. Namun, meskipun ia tahu bahwa ia telah menemukan banyak petunjuk, perasaan kosong itu tak kunjung hilang.
Kenangan tentang Maya dan Johannes masih terngiang di benaknya. Kisah cinta mereka—yang begitu kuat namun pada akhirnya berakhir dengan begitu banyak penyesalan—sudah menjadi bagian dari dirinya. Setiap hari, Alia semakin merasa bahwa hubungan mereka, meskipun terhalang oleh batasan-batasan zaman dan ras, memiliki makna yang lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, ada satu hal yang terus mengusik pikirannya.
Kenapa mereka harus berpisah? Kenapa Maya harus kehilangan cinta sejatinya begitu saja? Apa yang membuat seorang wanita yang begitu kuat dan penuh semangat, yang berani melawan dunia demi cinta, akhirnya menerima kenyataan pahit bahwa cinta tersebut harus berakhir?
Alia merasa seolah-olah kisah mereka adalah cermin dari perjuangannya sendiri. Sebagai seorang arkeolog yang sering bekerja di lapangan, ia tahu betul tentang kehilangan—tentang barang-barang yang terpendam dalam waktu, tentang cerita yang terkubur dalam debu sejarah. Namun, sekarang ia merasakannya dalam diri sendiri. Kehilangan bukan hanya tentang fisik, tentang benda-benda yang hilang atau terkubur dalam tanah. Kehilangan juga tentang perasaan, tentang orang-orang yang datang dan pergi dalam hidup kita, dan tentang cinta yang tak pernah bisa benar-benar kita genggam.
Pagi itu, ia memutuskan untuk mengunjungi sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Tempat itu selalu menjadi tempat pelarian bagi dirinya. Di sana, di antara hiruk-pikuk orang yang sibuk dengan rutinitas mereka, Alia merasa bisa menemukan ketenangan. Sambil meminum secangkir kopi panas, ia merenung, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus berputar di kepalanya.
Di tengah kebingungannya, Alia memutuskan untuk kembali membaca surat dari Johannes yang ia temukan di rumah Maya. Surat itu sudah ia baca berkali-kali, namun setiap kali ia membacanya, perasaan yang sama—kesedihan, kerinduan, dan keputusasaan—kembali muncul. Johannes, meskipun jauh di Belanda, tetap mencintai Maya dengan segenap hatinya. Namun, kenapa mereka tak bisa bersama? Apa yang menghalangi mereka?
Sekali lagi, Alia merasa dirinya terhubung dengan kisah itu, merasakan apa yang mungkin dirasakan oleh Maya saat itu. Kehilangan adalah sesuatu yang mendalam, sesuatu yang bisa menghancurkan hati seseorang. Namun, pada saat yang sama, kehilangan juga bisa menjadi bagian dari hidup, bagian dari proses yang harus dilalui untuk bisa tumbuh dan menerima kenyataan.
Pikiran Alia terus berkelana, berusaha mencari pemahaman lebih dalam tentang perasaan Maya. Setelah pertemuan dengan keluarga Maya, ia tahu bahwa Maya tidak pernah benar-benar melupakan Johannes. Meskipun pernikahan dengan pria yang dipilih oleh keluarganya terjadi, meskipun ia harus mengubur perasaannya jauh di dalam hatinya, cinta Maya terhadap Johannes tetap hidup dalam dirinya, tersembunyi di balik dinding-dinding kehidupan yang penuh dengan tuntutan sosial dan kewajiban keluarga.
Namun, apakah itu cukup? Apakah perasaan yang terkubur bisa bertahan dalam sepi, dalam penantian yang tak berujung? Alia merasa bahwa jawabannya ada pada dirinya sendiri. Kehilangan itu bukan hanya tentang berpisah dengan orang yang kita cintai, tetapi juga tentang bagaimana kita menerima kenyataan, bagaimana kita belajar untuk melanjutkan hidup meskipun hati kita tetap terluka.
Hari itu, saat Alia berjalan kembali menuju rumah, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sebuah pemahaman yang baru tentang kehilangan. Kehilangan bukan hanya tentang apa yang hilang, tetapi juga tentang apa yang bisa kita pelajari dari kehilangan itu. Alia menyadari bahwa selama ini ia telah menutup diri dari perasaan-perasaan yang lebih dalam. Sebagai seorang ilmuwan, ia terbiasa memisahkan antara emosi dan logika, namun sekarang ia tahu bahwa keduanya saling terkait, tidak bisa dipisahkan begitu saja.
Di jalan yang panjang itu, ia bertemu dengan seorang wanita tua yang duduk di bangku taman. Wanita itu tampak tenang, wajahnya dipenuhi kerutan yang menandakan banyaknya pengalaman hidup. Mereka saling tersenyum, dan Alia merasa seperti ada sesuatu yang menariknya untuk duduk bersama wanita itu. Mereka mulai berbicara tentang kehidupan, tentang cinta, dan tentang kehilangan.
"Anakku," kata wanita tua itu sambil menatap langit yang cerah, "kehilangan adalah bagian dari hidup. Kita tidak bisa menghindarinya, meskipun kita berusaha sekuat tenaga. Tetapi yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita meresponnya. Cinta, meskipun terkadang membuat kita terluka, juga membuat kita lebih kuat. Jangan biarkan rasa sakit itu menghalangi jalanmu. Hidup terus berjalan, dan begitu juga cinta."
Alia mendengarkan dengan seksama. Kata-kata wanita itu seperti datang dari hati yang penuh dengan kebijaksanaan. Ia merasa seperti mendapat jawaban yang selama ini ia cari. Kehilangan memang menyakitkan, tetapi itu bukan akhir dari segalanya. Cinta, meskipun terkadang berakhir dengan cara yang tak diinginkan, tetap memberi kita pelajaran berharga tentang hidup.
Setelah percakapan itu, Alia merasa lebih ringan. Ia berjalan pulang dengan hati yang sedikit lebih tenang. Ia tahu, bahwa meskipun kisah Maya dan Johannes berakhir dengan cara yang tragis, cinta mereka tetap akan hidup dalam kenangan. Dan ia, meskipun tidak pernah mengalami cinta seperti itu, bisa belajar banyak dari perjalanan mereka—tentang keberanian, tentang pengorbanan, dan tentang menerima kenyataan dengan hati yang terbuka.
Kehilangan itu bukanlah akhir dari segalanya. Dalam kehilangan, ada kesempatan untuk tumbuh, untuk mencintai lebih dalam, dan untuk menemukan kedamaian dalam diri sendiri. Alia tahu, perjalanan panjang yang ia tempuh untuk memahami kisah cinta Maya dan Johannes bukanlah sebuah kebetulan. Itu adalah bagian dari perjalanan hidupnya, bagian dari pencarian makna dalam cinta dan kehidupan.
Alia kini siap melanjutkan langkahnya, membawa pelajaran dari kisah yang tak hanya mengubah hidup Maya dan Johannes, tetapi juga mengubah hidupnya sendiri.