"Mereka sudah kembali ke Asrama, belajar semester dua," kata Pak Aksan.
"Yah, kita terlambat ketemu mereka!" seru Naura melemaskan bahu.
"Kamu keras kepala diajak pulang ke cafe enggak mau, akhirnya kita kecolongan enggak sempat ketemu Bunda dan yang lainnya," ujar Rahsya menyalahkan.
"Kamu juga salah coba pas di Istanbul nurunin ego, aku enggak akan ketempelan ngambek sepanjang perjalanan!" sahut Naura tak mau kalah.
"Sepele begini musti diributkan seperti terancam punah saja. Daripada keterusan cekcok, kalian berdua pergi ke Asrama Nusa Bangsa temui orang-orang di sana, bukan heboh saling melempar tuduh," lerai Pak Aksan.
"Gimana sayang?" tanya Rahsya menengok ke samping.
"Ayok," angguk Naura.
"Papa berapa menit lagi pergi ke kantor? Maksud aku, kalau Papa berangkat sekarang cafe nya mau kita tutup soalnya aku dan Naura harus ke Asrama," tembak Rahsya.
"Papa ambil cuti untuk hari ini. Kalian berangkat saja tapi ingat jangan menginap di sana," jawab Pak Aksan.
"Ya udah, kita pamit, assalamualaikum." Rahsya menyalim punggung tangan mertuanya.
Naura mencium tangan Papa nya, mengangguk mantap beranjak bareng Rahsya meninggalkan Sarasa Coffe.
*
Gedung Asrama kokoh berdiri. Naura menelan saliva, terkenang masa lalu pahit dikucilkan seluruh murid.
Rahsya menyudahi perbincangan pendek dengan penjaga gerbang lalu melajukan motornya memasuki kawasan sekolah.
"Aku nunggu di rumah Bunda sampai jam kelas usai. Kamu keliling Asrama aja sekalian ketemu teman-teman, abis itu kamu bawa Kinan, Adara, Gibran, Kevin juga Dimas, ke sini. Aku kangen mereka," ucap Naura.
"Kenapa aku repot menggiring mereka ke hadapan kamu? Bareng aja sekarang sama aku ketemu mereka," balas Rahsya.
Motor berhenti di dalam garasi samping rumah. Naura turun, melepas helm dan menyerahkannya kepada Rahsya.
"Aku trauma di bully," lirih Naura.
Rahsya ikut turun, memegang kedua bahu Naura. "Mereka enggak akan berani melontar kata pedas lagi ke kamu. Di sini ada aku jagain kamu dari setiap duri perlakuan buruk orang lain."
"Tetap aku enggak mau," tolak Naura.
"Ya udah, enggak maksa."
Kunci cadangan yang dikubur di tanah dalam pot bunga digali. Rahsya membuka plastik pelindung kunci sirip guna mencegah dari berkarat lalu mendekati pintu rumah dan memutarnya, terbuka.
"Pintar banget nyimpan kunci di bawah tanah," kekeh Naura.
"Cemerlangkan ide aku?" bangga Rahsya.
"Cara mengubur kunci hasil pemikiran kamu?"
"Iya. Ini solusi untuk menyelamatkan diri dari omelan Bunda ketika pulang dini hari. Aku sering keliaran malam dengan Dimas secara diam-diam. Pulang-pulang semua jalan masuk ke dalam rumah udah ditutup rapat oleh Bunda. Untungnya aku selalu menyiapkan kunci cadangan ini di pot bunga, jadi memudahkan ku masuk tanpa dicurigai Bunda ke esokan paginya," jelas Rahsya.
"Nakal."
"Enggak nakal-nakal banget cuma mampir ke bar' ikutan party sama orang-orang diambang stress dari penatnya menjalani hidup," sambung Rahsya.
Naura menyetop langkah dan membalik tubuh. "Kamu nyoba minuman keras?" selidiknya dengan mata menyipit.
"Minum."
"Pernah berapa gelas?" kaget Naura.
"Lupa."
"Sampai mabuk?"
"Iya."
"Nyebelin! Kamu ada main dengan cewek lain?" selidik Naura.
"Enggak ada. Sebelum alkohol reaksi ke seluruh tubuh, aku selalu minta cepat di bawa pulang Dimas. Bisa di bilang saat mabuk, aku udah di kamar sendiri," terang Rahsya.
"Kamu lupa bahaya mabuk menghilangkan kesadaran, gimana kalau kamu sampai tidurin cewek!" marah Naura.
"Tinggal nikahin aja ceweknya."
"Ngomong sekali lagi!" sergah Naura melepas tas selempang siap dilayangkan.
"Enggak, enggak! Bercanda kok," Rahsya mengangkat tangan tanda menyerah.
...
"OMG, Abang!" pekik Adara berlari senang menghambur peluk.
Rahsya memeluk adiknya, mengacuhkan tatapan melongo penghuni kantin di jam istirahat.
Gibran, Kevin, Dimas serta Kinan dan beberapa orang kelas Xll A, serentak bangun dari tempatnya duduk.
"Rindu gue?" bisik Rahsya.
"Sangat!" balas Adara.
"Wih, gimana kabarnya bro!" seru Kevin menjadi pencair suasana, maju mendekat.
Dimas dan yang lainnya menyusul, mengerubungi Rahsya dan Adara.
"Kabar gue baik," jawab Rahsya.
"Tambah tinggi aja Lo, cakep lagi!" puji Cakra.
"Calon suami gue gitu lho!" aku Naomi.
"Hueek!" cibir Kevin menirukan gaya muntah.
"Gue bukan ke Lo!" kesal Naomi.
"Teman gue yang satu ini udah punya pawangnya, berani Lo senggol hubungannya siap-siap aja berurusan dengan garda terdepan, Kevin Danuarta!"
"Damai aja Na," senggol Kinan.
Naomi mendecih pelan. Rahsya tersenyum kecil menonton drama receh dipersembahkan mantan teman sekelasnya.
"Lo ke sini sendiri?" tanya Gibran.
"Berdua."
"Naura nya mana?" bingung Kinan.
"Istirahat di rumah Bunda. Sepulang sekolah, Lo semua temui Naura, katanya kangen berat."
"Kenapa enggak ikut—" ucapan Fa'at terpotong Dimas. "Kita pesan makanan, ngobrol pentingnya nanti aja di rumah Bu Salma."
"Boleh tuh," setuju Kevin.
"Pesona suami orang menyilaukan mata," gumam Vivi, malu-malu.
"Apa, suka juga sama gue?" senyum Rahsya.
"Enggak ah, nanti Naura cemburu," geleng Vivi cengengesan.
"Nikah aja Lo sama Dimas. Dia jomblo sejati, dijamin Neng Vivi bahagia dunia–akhirat," ejek Kevin.
"Gue bukan kambing yang kodratnya di korbankan. Jomblo-jomblo gini gue enggak sendirian. Ada Gibran senasib kayak gue," sahut Dimas.
"Kevin juga jomblo karatan," tambah Gibran.
Kevin mengumpat, "Bangsat."
"Trio jomblo," tawa Cakra.
"Hilih, kayak status Lo bukan jomblo!" timpal Kevin.
Dimas tergelak.
Sekelompok anak Xll A, asyik tertawa renyah.
"Kenapa enggak ketawa?" tanya Rahsya pelan, menangkap adiknya diam membisu.
Adara cukup mencuri pandang ke arah Dimas. "Enggak ada yang lucu."