Mama ... Apa Naura layak kembali terluka?
...
"Bangun Mas," ringis Naura mengguncang pelan lengan tergeletak di sisinya.
Rahsya mendengkur pulas membuat Naura menggigit bawah bibir, menahan rasa nyeri sekaligus ngilu di area bu ah da da.
"Huek!" Naura menyibak selimut melangkah cepat mendobrak pintu kamar mandi dan kembali muntah kosong di wastafel.
Lima menit, Naura ke luar gontai mendarat duduk di tempat tidur.
"Mas Rahsya, bangun, aku mohon bangun," ulang Naura kali ini mencubit jari kelingking suaminya.
Terusik, Rahsya membuka mata, menatap layu Naura.
"Masih malam sini bobo," ajak Rahsya.
"Aku enggak bisa bobo," sendu Naura.
Dahi Rahsya terlipat, memutuskan bangun menatap Naura dari samping.
"Perut kamu lapar? Kalau gitu aku turun ke dapur ambil makanan, tunggu bentar," kata Rahsya.
"Aku enggak lapar," geleng Naura.
"Terus kenapa? Rasa mual kamu belum hilang? Mau aku kerokin pakai koin ber bilas minyak atau punggungnya pengen dipijat? Kamu pegal linu? Sini, biar ku pijat," berondong Rahsya menebak segala kemungkinan.
Naura berbaring meletakan kepala di pangkuan Rahsya.
"Buah kembar ku sakit Mas. Aku enggak tahu ini kenapa tapi rasanya kencang bengkak, aku enggak nyaman tidur. Barusan mual lagi, hasilnya enggak keluar apapun padahal rasanya di perut mengganjal banget seperti mau muntah banyak," keluh Naura.
"Tidurin aja besok kita ke rumah sakit," jawab Rahsya lalu memindahkan Naura ke tempat semula.
Rahsya menggulung kaus oversize dipakai Naura, melepas pengait b r a dan mengamati saksama si kembar favorit sumber penawar dahaga dikala haus.
"Kondisi bengkak begini biasanya diapain?" tanya Rahsya.
"Aku juga enggak tahu soalnya setiap sakit di sekitar ini selalu aku acuhin dan suka sembuh sendiri, tapi sepekan ini nyerinya enggak kunjung reda."
Menggaruk kepala, Rahsya kurang mengerti menangani gejala langka seperti ini.
"Mungkin kamu kelebihan a s i. Bengkaknya sampai merah gini, di elus aja ya biar cepat sembuh?" saran Rahsya.
"Iya, Mas."
...
Naura terjaga dari alam mimpi indahnya, Rahsya sudah tak ada di samping. Perlahan Naura bangun, merapikan baju dan melangkah pendek.
Alunan lagu bergenre jazz menyapa pendengaran Naura. Tepat di tengah-tengah undakan tangga, kakinya berhenti mematri.
"Lempar sini topi nya, aku pinjam pakai," ujar Aqeela.
"Kembalikan Aqeela! Itu topi punya siapa!" seru Rahsya kecolongan.
Perempuan berpiyama merah dengan rambut tergerai panjang merebut topi bertengger manis di kepala Rahsya.
Aksi kejar mengejar terjadi di lantai dasar. Mereka berdua tidak menyadari bahwa di seberang tangga, ada sepasang mata memantau cemburu.
"Dapat!" Rahsya berhasil mengambil topi miliknya.
Wajah itu berseri-seri memenangkan barang berharganya, sementara Aqeela menyungging senyum dan menarik lengan Rahsya.
Bruk.
Jatuh ke sofa.
"B r e n g s e k," desis Naura mencengkeram pembatas tangga, jantungnya berdentum keras, menyaksikan posisi Rahsya terdiam lama menindih Aqeela dengan pandangan terpaku saling bertatapan.
Kecewa menghantam perasaan buru-buru Naura putar arah meniti tangga di belakang, terisak memasuki kamar dan membanting pintu.
...
Wajah Naura sempurna sembab padahal sudah mandi dan dandan cantik namun tetap saja torehan luka di dalam hati tak semudah menghapus coretan tinta di papan tulis.
Naura menepis tangan menempel di pundaknya, menolak disentuh, mengundang putus asa Rahsya.
"Semenjak aku kembali ke kamar, kamu membisu, enggan di sentuh apalagi di pegang. Apa salah, aku mengajak kamu pergi ke dokter?" frustasi Rahsya.
"Tinggalin aku sendiri," kata Naura.
"Alasannya? Kenapa nyuruh aku harus meninggalkan kamu? Apa salah aku? Jelaskan detik ini!" Rahsya tak habis pikir.
"Aku mau sendiri."
Rahsya jongkok di hadapan Naura yang duduk di tepi ranjang.
"Aku ingin sendiri!" peringat Naura mendorong tanpa segan.
Rahsya tersungkur, menatap seribu tanda tanya perubahan wajah Naura yang sebelumnya hampa sekarang mengeras marah.
"KELUAR! AKU ENGGAK SUDI LIAT MUKA KAMU!"
...
Layar ponsel dipegangan menampilkan cowok berkacamata tengah menyengir.
"Mata kamu merah sembab, apa insiden kecolok pensil terulang lagi?" lewat video call, Gibran mengejek dengan senyuman khasnya.
Naura menyeka lelehan air mata, tersenyum masam memberitahu keadaan hidupnya saat ini. "Sekarang yang membuatku sedih bukan pensil melainkan kerinduanku padamu."
Di seberang sana dengan latar alat musik, Gibran salah tingkah menggusap-usap bawah hidungnya.
"Kenapa Gib, kamu risih dirindukan aku? Kamu udah lupain aku? Cepat sekali proses move on kamu sedangkan di sini, aku berusaha mengenyahkan semua kenangan di antara kita."
"Kisah kita boleh berakhir namun kenangan manis tersimpan di dalamnya akan selalu menarik untuk diingat. Tak perduli terpisah berbulan-bulan, ingat kah kamu, kita dipertemukan semesta di bawah gedung Asrama. Persis aku mengingatnya, kamu menyambutku dengan lirikan lagu ciptaanmu, yang dulu dipersembahkan hanya untukku seorang, di taman Asteena. Terus masih ingatkah kamu satu momen berkesan waktu praktek di hutan Chaise—kamu diperintah mengumpulkan batu-batu kecil, aku diminta mencari selenjar ranting kayu sepanjang lenganku. Aku payah memotong dan meminta bantuan kamu, seragam aku kotor, kamu yang memberitahuku, walau hal kecil, itu sungguh berarti bagiku." Jeda. Naura menatap cincin pernikahan tersemat di jari manis, menyesal.
"Terimakasih kalau kamu merasakan hal sama denganku," ucap Gibran menanggapi.
Perhatian Naura kembali penuh ke layar handphone. "Perasaanku sulit dibohongi, aku merindukan kamu," ungkapnya bergetar.
Gibran menunduk sejenak mengulas senyum perih dan mengangkat wajah.
"Aku selalu mencintai kamu. Di mana dan kapanpun akan tetap mengukir namamu di tahta paling tertinggi bernama hati. Nau, betapa lucu kisah kita bertahan sebentar dan kamu resmi dimiliki Sangga dengan cara rumit, perjuangan serta pengorbanannya melebihi semua tindakan pernah kulakukan untuk mendapatkanmu di tahun 2015. Apalah aku, cowok sederhana yang tak punya apa-apa, untuk meluluhkan hatimu, aku hanya mengandalkan petikan senar gitar dan vokal suara, berbeda jauh dengan Sangga Rahsya. Dia memiliki segalanya, barang branded, uang berjalan, motor mengkilap bernilai puluhan juta, secara materi Sangga mampu mencukupi kebutuhan kamu, sedangkan aku bukan levelnya saingan dia." Mata Gibran berkaca-kaca.
Naura menggeleng, tidak setuju atas argumen membanggakan Rahsya.
"Bukan materi yang aku cari. Aku menyukai seseorang dari ketulusan hatinya, selama ini kamu membuatku jatuh hati, kebaikan dan sikapmu memperlakukanku tak ternilai harganya. Aku senang saat kamu mempertanyakan statusku waktu di hutan Chaise, jawabanku masih sendiri," jelas Naura.
"Telat Nau untuk apa membahas masa lalu kalau akhirnya menyakiti perasaan. Dengan mengumpulkan seluruh keberanian yang kumiliki, aku mendekatimu demi sebuah jawaban. Namun apa yang kudapati? Tidak ada." Gibran melepas kacamata, mengusap ekor mata basahnya.
"Aku mau kita ketemu," isak Naura.
"Enggak segampang itu. Kamu dalam pengawasan Sangga, bagaimana kita bisa bertemu? Jauh hari, aku udah ikhlaskan kamu membuka lembaran baru bersama Sangga. Gapai kebahagiaan kalian, jangan hiraukan penyesalan mantan pacarmu ini, aku turut bersuka cita atas pernikahan kamu dengannya," tutur Gibran.
"Berjuanglah sekali lagi untukku! Aku setia menunggu kamu datang, jemput aku pulang kepelukan kamu, buktikan kepada Papa kalau kamu berubah, bukan Gibran yang dulu selalu kalah dalam ujian tes!" mohon Naura.
"Enggak bisa Nau. Aku enggak bisa berjuang lagi mendapatkan kamu. Aku kalah! Aku Gibran pecundang. Aku bukan Sangga yang berani menerobos batasan, aku dan dia jauh beda. Tolong, berhenti memintaku melakukan sesuatu diluar kemampuanku!" muak Gibran.
"Karena Kinan? Kamu juga menyukai dia? Terus terang padaku, itu alasan kamu selalu tertahan dalam bertindak. Kamu ragu menghadapi Rahsya karena ada hati yang mesti dijaga, benar?" tuduh Naura.
"Selepas kita putus, aku menahan cinta yang hadir hanya untukmu bahkan hingga detik ini, aku berharap semesta memberikan keajaiban pada kita. Peluang kita untuk bertemu memang besar, tapi itu mustahil ku lakukan," Gibran menggeleng.
"Apa yang kamu pikirkan? Lekas menghadap Papa, katakan pada semua orang kalau kita bukan masa lalu, aku dan kamu adalah kita. Selalu kita!" Naura tersedak tangis.
Sambungan terputus. Naura tersenggal menatap kecewa layar ponsel, Gibran tidak mau berjuang lagi untuk cinta pernah bersemi di masa lalu.
Sungguh menyakitkan.
Rahsya menjatuhkan nampan berisi bubur dan segelas air hangat, tak jadi mengetuk pintu kamar sengaja Naura kunci dari dalam.
Mendengar benda pecah di luar kamar, Naura melempar ponsel ke tempat tidur. Beranjak lari membuka pintu.
Kosong, tak ada orang kecuali tumpahan makanan di lantai.
"Rahsya."
Naura panik menyadari siapa yang membawa makanan untuknya dengan perasaan tak menentu melesat turun ke lantai dasar mencari Rahsya.
"Siapapun yang melihat Rahsya beritahu aku!" teriak Naura kelimpungan.
Beberapa orang penikmat kopi di jam sepuluh pagi melongo bingung melihat pemilik Sarasa Coffe berteriak nyaring.
Aqeela berhenti mengunyah kentang goreng, menatap sama bingungnya dengan pengunjung lain.
"Saya liat Mas pemilik cafe, jalan tergesa keluar sambil memasang helm di kepala, Mbak!" beritahu salah pengunjung.
Tidak ada waktu mengatakan terimakasih. Naura memacu lari, celingak-celinguk mencari di sekitar luar, tidak ada.
"Minggir!"
Bentakan seseorang berpadu deruman mesin motor berhasil menarik atensi. Naura menghampiri pejalan kaki yang tertatih bangun dari jatuhnya di permukaan aspal, sementara pengendara motor yang membentak barusan adalah Rahsya.
"Lepas!" Rahsya menepis kasar jemari Naura yang meraih pergelangan tangan.
"Apa yang kamu dengar itu enggak benar. Aku dan Gibran cuma temenan," isak Naura.
Rahsya melepas cincin pernikahan, menaruh kasar di telapak tangan Naura. "Diam-diam kamu mengharapkan Gibran, sematkan benda ini di jari manis mantan pacar kamu. Aku ikhlas!"
"Mas jangan kayak gini, aku enggak mau kehilangan kamu. Aku tahu aku salah menghubungi Gibran. Aku minta maaf," Naura menyematkan cincin ke jari manis pemiliknya, namun segera dilepas Rahsya dan dilemparkannya ke kaki Naura.
"Cincin aja enggak cukup membuktikan cinta yang kumiliki buat kamu. Kuharap dengan terlepasnya cincin dijari ini, kamu mengerti sedalam apa perasaanku terhadap kamu dan sehancur apa perasaanku dikhianati orang paling aku cinta."
Usai mengungkap kekecewaan Rahsya melajukan motor, membelah jalan raya dengan segudang kemarahan terpendam.
Naura terduduk lemas, menyesali perbuatan lancangnya menghubungi hantu masa lalu tanpa memberitahu Rahsya.