2 Minggu kemudian.
Natasha bertumpu di pinggiran wastafel, mual-mual namun tidak muntah.
"Mas!" parau Natasha memanggil.
Defeat. Sangga meletakkan ponsel sesaat dipakai main game mobile legend. Meloncat turun dari tempat tidur dan berlari memasuki kamar mandi.
"Butuh apa?" Sangga bertanya polos.
"Mual," keluh Natasha.
"Kok bisa? Habis makan apa?"
"Enggak tahu, enggak makan aneh-aneh. Tiba-tiba sebel aja terus muntah-muntah," jawab Natasha seadanya.
"Aku takut kamu kenapa-napa kita periksa ke dokter, apapun hasil cek nanti semoga gejala sakit biasa," khawatir Sangga.
"Enggak mau. Paling cuma kecapean, kebiasaan aku 'kan, memasak banyak pesanan untuk pengunjung cafe. Penyakit masuk angin yang kuidap mungkin kambuh, kamu tahu persis jam berapa tempat ini close, jam sebelas malam. Dan itu tiap hari. Angin malam selalu hadir mencuri kesempatan menggoda fisikku yang gampang sakit harusnya kamu enggak heran lihat kondisi aku selemah ini," ucap Natasha berkata lirih.
"Kamu susah dibilangin. Kenapa enggak mau dengar larangan aku yang satu itu, berhenti begadang menemani aku tiap hari. Kamu tahu aku selalu menegur demi apa? Demi kesehatan kamu," jelas Sangga.
"Aku senang kerja bareng kamu, itu sebabnya aku keras kepala. Aku candu menghabiskan waktu berhargaku dengan kamu, tolong, jangan larang aku pindah jam tidur karena percuma enggak akan aku dengar," lanjut Natasha diakhiri suara nyaring muntahan.
Sangga mengambil lembaran tisu, mengelap bibir basah Natasha.
"Aku mau malam ini, kamu istirahat. Sarasa Coffe biar aku tutup sendiri," tegas Sangga.
"Tapi cewek itu belum pulang," gumam Natasha.
"Kesehatan kamu nomor satu. Lupain Aqeela, enggak penting mikirin tingkah orang lain, kamu enggak perlu merisaukan hal-hal jelek belum tentu terjadi, menguras pikiran aja. Kita tahu kabar Aqeela segera menikah dengan seseorang, kenapa mesti dipusingkan? Aku ngerti kamu menyimpan trauma berat di masa lalu dan kini kamu berusaha melindungi aku dari jerat godaan Aqeela. Tapi lihat sisi lainnya, aku bukan mantan pacar kamu yang hidup pada masa kelas sepuluh SMA. Kita berdua cowok berbeda. Aku dimiliki kamu seutuhnya, sedangkan cowok lamamu hidup dalam kenangan. Jangan tanya dari mana aku tahu seluk beluk masa lalu enggak pernah kamu singgung di depanku. Bik Inem yang cerita," cerocos Sangga menekan kalimat akhir sebelum menyebutkan nama art di kediaman Pak Aksan.
Dengan perasaan diselimuti gelisah, Natasha masuk ke dekapan Sangga berharap sandaran ternyaman nya mampu menyulam gundah menjadi tenang.
Akhir-akhir ini, Natasha lebih fokus memikirkan calon suami Aqeela yang belum diketahui siapa namanya dibanding memperhatikan kesehatan sendiri. Bertanya pada Pak Aksan, nihil jawaban. Entah mengapa, seperti enggan menyebutkan sebuah nama. Akibatnya Natasha sakit kepala, tak enak badan, nafsu makan turun drastis, tambahkan mual-mual tidak jelas.
"Bobo sekarang?" tanya Sangga.
Natasha mengangguk lemah, menutup mata ketika Sangga menggendongnya.
Hati-hati Sangga membaringkan Natasha di atas kasur dan menyelimuti tubuh ringkih itu.
Apa Natasha sakit? Sangga mengecek suhu tubuh istrinya, tidak panas dipunggung tangan. Lantas, Natasha kenapa?
*
Makin larut, suasana Cafe makin melonjak ramai setelah barista membuat puluhan kopi pesanan pengunjung yang betebaran memenuhi ruangan tak terkecuali halaman depan di penuhi orang. Sangga melepas topi, terduduk capek di kursi kasir.
"Malam Minggu orang-orang berpasangan, ku lihat kamu sibuk sendirian melayani semua orang. Kemana Natasha? Kenapa dia enggak bantu kamu?" tembak Aqeela.
"Bukan urusan kamu mengetahui alasan istriku enggak terlihat bantu-bantu. Juga tidak peduli hari ini malam apa, silakan cowok-cewek pacaran di sekitar sini, terserah–bukan tugasku mengamati mereka," acuh Sangga.
Aqeela mengambil topi milik barista di atas meja, memakainya di kepala.
"Aku cantik?" tanya Aqeela memasang ekspresi di imut-imut.
"Jelek."
"Pasti kebalikan jelek. Cantik? Aku tahu, jangan katakan!" seru Aqeela heboh sendiri.
Sangga malas meladeni perempuan tidak jelas di depannya dan memilih memutar lagu akustik di laptop Cafe yang sudah terhubung dengan dua speaker bluetooth terpajang satu di penjuru ruangan, satunya lagi di luar, sehingga para tamu gratis mendengar musik.
"Keseharian Papi sibuk bekerja, sepuluh menit lalu udah berangkat ke kota tempat perusahaannya beroperasi. Aku sedih ditinggal Papi, karena aku menolak pulang ke apartemen," curhat Aqeela.
"Sebentar lagi Cafe tutup sebaiknya kamu bergegas pulang, percuma membual, rasa ibaku tak luluh tersentuh melihat dan mendengar curhatan barusan tanpa diminta yang kamu katakan," sarkas Sangga.
"Malam ini, Om Aksan menampungku tidur di Sarasa Coffe, kalau kamu bernyali hadapi dulu Papa nya Natasha. Aku yakin, Om Aksan marah besar ke kamu karena berani mengusir putri dari sahabatnya," balas Aqeela.
Jengah, Sangga melepas apron hitam dikenakannya, menaruh asal di meja tinggi kemudian beranjak pergi.