Aqeela melambaikan tangan depan wajah kosong Rahsya.
Rahsya mengerjap, merenggut kesadaran dari lamunan panjangnya atas skenario terburuk di kepalanya.
"Espresso milik kamu dingin. Sebentar, pendapat kamu gimana tentang kita yang punya selera kopi serupa? Aku suka espresso, kamu juga. Apa ini bukan semacam kebetulan semata?" celoteh Aqeela.
Rahsya terdiam, bingung. Mengapa pula bisa kebetulan menyukai satu kopi yang sama.
Aqeela mencodongkan diri, mengusap bekas ciumannya di rahang Rahsya.
"Harus berapa kali aku memperingati kamu jangan menyentuhku," tegur Rahsya menepis jemari lentik membelai rahangnya.
Tersenyum nakal, Aqeela menyukai barista jual mahal ini. "Kenapa enggak suka di sentuh? Apa kamu takut ketahuan Naura?" tebaknya.
"Tahu dari mana aku dan Naura ada hubungan?" tembak Rahsya.
Menyelipkan helaian rambut ke daun telinga. Aqeela memiringkan kepala, menatap genit pemuda rupawan malam ini berhasil dipertahankannya menemani minum kopi.
"Om Aksan ngasih tahu aku dan Papi. Katanya barista bernama Sangga Rahsya adalah suami dari putrinya, Naura Natasha. Maka dari itu, aku meminta Om Aksan dibikinkan kopi Espresso karena aku ingin memastikan apakah benar, suami Naura adalah lelaki pernah kutemui di bandara? Dan ternyata iya, kamu orangnya," terang Aqeela.
Meneguk espresso hingga tandas, lalu Rahsya tersenyum tipis tidak perlu repot-repot menegaskan status aslinya kepada perempuan cantik di seberang meja.
"Sesuai kesepakatan di awal, setelah menghabiskan kopi. Kamu membolehkan aku pergi. Lihat, gelas punya ku udah kosong. Sekarang kita enggak ada kepentingan lagi, aku cabut!" pungkas Rahsya seraya bangkit.
"Kamu pergi ke mana?" tahan Aqeela mencekal pergelangan tangan lawan bicara.
Rahsya menepis pelan. "Jemput istri," jawabnya pendek.
Aqeela memandang kepergian Rahsya yang berjalan ke luar cafe.
*
Melirik jam tangan berulangkali, Rahsya sabar menunggu kedatangan Naura di pinggir jalan depan gedung Asrama.
Tak lama kemudian, pintu gerbang di buka oleh perempuan manis sambil menyampirkan tas selempang di bahu kanan.
"Makasih jemput aku tepat waktu," ucap Naura sembari mencium pipi Rahsya.
Rahsya mengulas senyum, membalas cium Naura di bibir mungilnya.
"Ke restoran? Kita makan pizza toping sosis kesukaan kamu?" ajak Rahsya.
"Traktir spaghetti juga?" pinta Naura.
Rahsya melepas kemeja menyisakan lapisan kaus putih melekat di badan, memakaikan baju luarnya kepada Naura. "Semua aku beliin. Ayok, naik, keburu larut nanti kamu masuk angin," imbuhnya.
...
Pizza ukuran jumbo habis di makan berdua. Spaghetti pedas tak sanggup di makan Naura alhasil diambil alih oleh Rahsya.
"Di cafe ada Aqeela sama Papi nya, tahu enggak mereka berdua ngapain?" cakap Rahsya.
Naura mengelap keringat di pelipis menggunakan tisu. "Ngapain mereka mampir?" nada sinisnya begitu kental.
"Aku juga enggak tahu apa tujuan mereka mengunjungi Sarasa Coffe. Tanyain aja ke Papa kamu," balas Rahsya.
"Kalau enggak niat ngasih tahu mending diam aja daripada bikin orang sebel," gumam Naura.
Rahsya terkekeh, mengambil tisu dari kotaknya dan menyapu bersih bibir.
"Coba kamu hubungi Papa, tanyain langsung apa tujuan Aqeela sama Papi nya datang ke cafe. Soalnya aku malas berspekulasi tentang orang lain, repot," kata Rahsya.
Naura menurut, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Pak Aksan.
Tersambung.
"Papa lagi sibuk kerja enggak?" tanya Naura.
"..."
"Aku cuma mau tanya satu hal, boleh?" lanjut Naura hati-hati.
"..."
"Kata Mas Rahsya, di situ ada Aqeela, mau ngapain? Tumben sekian purnama kabarnya tenggelam bak ditelan bumi sekarang muncul kepermukaan lagi. Dia berencana rampas kebahagiaan aku atau punya tujuan lain?" the points Naura.
"..."
"Nikah!" pekik Naura.
Rahsya setia nyimak menunggu percakapan selesai. Naura mematikan telepon, menatap rumit mata hitam pasangannya.
"Aqeela mau nikah?" beo Rahsya.
"Iya, sangat mengejutkan. Kedatangan Pak Hendra sama anaknya ke Sarasa Coffe bukan semata have fun. Mereka lagi milih gambaran gedung buatan Papa aku untuk menggelar acara pernikahan cewek genit itu," jelas Naura.
"Aqeela nikah dengan siapa?" tembak Rahsya.
"Papa enggak ngasih tahu siapa mempelai lelaki. Tapi walaupun begitu, aku lega karena kamu enggak jadi sasaran empuk godaan perempuan itu," ujar Naura.
"Kapan nikahnya?" selidik Rahsya.
"Mana aku tahu enggak penting juga," acuh Naura.
"Ya udah lupain. Berarti satu masalah kita hilang, tinggal mengatasi satu permasalahan lagi," simpul Rahsya.
"Problem apa? Perasaan enggak ada."
"Teman-teman kita yang taruhan itu, menurut kamu gimana?"
"Kamu ngejar uang seratus ribu?" beo Naura.
"Bukan gitu. Aku ditantang mereka, masa milih nyerah dan biarin mereka menang? Aku punya sebuah ide, kamu mau kerjasama bareng suami? Kita menangkan taruhan ini," tutur Rahsya.
"Caranya?"
Rahsya menggenggam kedua tangan Naura di atas meja dan menatap sungguh-sungguh. "Hubungan kita bikin romantis every time, gimana? Solusi terbaik menurut aku cuma dengan kecerdasan emosional, kita dapat mengalahkan taruhan itu," cetusnya.
Naura mengangguk antusias tertarik mengatasi tantangan konyol diajukan Kevin saat di rumah Bu Salma dengan cara tersebut.