Chereads / RUN AWAY (Jakarta) / Chapter 9 - Now friends!

Chapter 9 - Now friends!

❝Tak peduli dengan kejadian yang lalu.

Mulai sekarang, kita adalah teman.❞

Shandy dan Gilang menghembuskan napas lega, setelah mereka tiba di rumah Gilang dengan selamat. Luka yang diperoleh Shandy juga telah mendapat pengobatan di rumah sakit. Kini, mereka tinggal mencari tahu apa isi di dalam flashdisk yang papa Shandy miliki.

Mereka masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar Fajri untuk mencari tahu keadaan Fajri dan Fenly selama mereka tidak berada di rumah. Mereka berharap, semoga hubungan Fajri dan Fenly menjadi lebih baik saat ini. Shandy membuka pintu kamar Fajri dan melihat Fenly yang tampak masih tertidur. Hal sama juga ia jumpai dari diri Fajri yang masih tidur sambil mengenggam tangan Fenly.

"Mereka lucu juga, ya." Celetuk Gilang yang di jawab anggukan kepala oleh Shandy. Ia tersenyum tipis, kemudian menutup pintu kamar itu lagi.

"Makasih ya, Lang.. Lo berdua mau gue repotin gini. Jujur, gue ngga mau kayak gini. Tapi.. Ya gitu deh."

"Kan gue udah bilang dari awal, kalau gue siap terlibat.. Lo jangan ngerasa ga enak gitu. Kita kan, temen. Jadi, wajar kalau saling bantu."

"Tapi, karena gue sama Fenly, lo jadi ga fokus buat cari tempat buat kuliah."

"Kuliah ga asik kalau ngga ada lo, Nyet. Lagian, gue juga belum kepikiran mau kuliah. Jadi, lo tenang aja. Udah yuk, istirahat aja. Capek habis lari-lari, kan?"

"Yang bener, gue laper, bukan capek.. Lo sebagai tuan rumah, ga berniat menjamu gue dengan makanan yang layak gitu?"

"Sekali setan, bakal tetep setan lo, ya.. Ya udah, lo mau apa? Rendang? Kare ayam? Soto? Bakso? Atau ayam geprek?"

"Emang ada?"

"Ada. Tapi, dalam bentuk mie instan." Jawab Gilang santai sambil menuruni anak tangga dan menuju dapur. Sementara Shandy, terkekeh sebentar sebelum akhirnya menyusul temannya yang di dapur.

Kurang dari tiga puluh menit, mereka menyelesaikan acara masak mie instan.

Dan sekarang, keduanya tampak fokus memandang layar laptop milik Gilang yang menampilkan beberapa data yang ada di flashdisk milik papa Shandy. Dalam flashdisk, terdapat beberapa folder dengan nama kota yang ada di berbagai belahan dunia. Termasuk salah satu kota di Indonesia, yakni Jakarta.

Shandy membuka folder dengan nama 'Jakarta' dan meneliti isi didalamnya. Di dalam folder itu, terdapat beberapa bukti foto transaksi jual beli organ dan jual beli manusia. Selain itu, terdapat beberapa peta lokasi dan foto-foto orang serta barang yang tak dikenali oleh Shandy.

"Itu bukannya peninggalan negara yang hilang dari museum itu, ya? Setahu gue, sampai sekarang itu barang belum ketemu." Ucap Gilang yang menunjuk salah satu foto.

"Eh, iya. Gue baru inget.. Apa jangan-jangan ini barang ada di lokasi yang ditandai di peta ini?"

"Bisa jadi. Dan mungkin aja, yang ada di lokasi itu bukan cuma barang-barang milik negara, tapi juga uang hasil dari transaksi jual beli organ dan jual beli manusia."

"Dan mereka ga cuma lakukan ini di Indonesia, tapi di negara lain juga.. Artinya, di setiap kota yang ada di flashdisk ini, ada harta yang mereka simpan. Selain itu juga, ada barang negara yang mereka curi secara ilegal."

"Bener. Bisa aja mereka ga punya data ini, dan yang punya satu-satunya itu cuma papa lo. Bisa jadi papa lo saat itu dapet flashdisk ini waktu penangkapan ketua mafia beberapa tahun yang lalu. Itulah alasan kenapa mereka mau ini flashdisk jatuh ditangan mereka, karena emang hanya ini satu-satunya."

"Lo bener! Lang, lo mikir apa yang gue pikirin ngga, sih?"

"Umm.. Kita datengin lokasi itu. Kita ambil hartanya, terus bagi rata." Jawab Gilang yang langsung mendapatkan toyoran dari Shandy.

"Canda, nyet! Iya, gue ngerti. Kita ambil semuanya, terus kita serahkan kembali ke negara. Gitu, kan?" Shandy mengangguk.

"Tapi, ini bakal lebih bahaya, Lang. Gue ngga mau Fen terlibat.. Gue ngga mau kehilangan dia."

"Fen biar disini sama Aji, kita yang berangkat.. Ngga usah takut atau khawatir sama gue. Sama kayak yang selalu gue bilang, gue tuh temen lo.. Gue udah bilang, kalau gue siap untuk terlibat. Jadi, kita lakuin ini bareng-bareng, ya."

"Thanks ya, nyet!" Gilang menepuk bahu Shandy beberapa kali, seolah mengatakan jika Shandy bisa mempercayai Gilang sepenuhnya.

☆☆☆

Setelah mengetahui semuanya, Shandy dan Gilang bertekad untuk mencari letak mereka menyimpan barang peninggalan negara dan harta yang disembunyikan oleh para mafia itu. Sebelum pergi, Shandy mendatangi Fenly dan memeluk tubuh adiknya itu dengan begitu erat. Dulunya, Shandy jarang sekali mengatakan kalimat sayang pada adiknya. Tetapi, sebisa mungkin, ia menunjukkan jika dirinya sangat menyayangi Fenly, lebih dari apapun.

"Kakak.. Kakak mau pergi kemana lagi?" Tanya Fenly sambil meraih tangan Shandy dan menatap mata sang kakak.

"Maaf, Fen. Ada misi yang harus kakak selesaikan. Janji, ngga akan lama. Fen disini sama Aji dulu, ya."

"Fen ngga boleh ikut kak Shandy?" Shandy tersenyum dan membawa Fenly ke dalam pelukannya.

"Boleh.. Tapi. Ngga sekarang. Kakak janji, setelah ini selesai, kita bakal bareng-bareng kayak dulu lagi. Kakak ngga akan pernah bisa lihat Fen luka. Jadi, Fen dengerin kakak, ya.. Fen disini aja sama Aji, sampai waktu dimana kakak jemput Fenly lagi, oke..?"

"Janji ngga akan lama?" Tanya Fenly yang di jawab anggukan kepala oleh Shandy.

"Ji.. Titip adek gue, ya." Ucap Shandy sambil menatap Fajri. Sementara Fajri yang di tatap, hanya mengangguk setuju. Ia beralih menatap Gilang, se-kesal apapun Fajri pada Gilang, ia juga tidak ingin kehilangan Gilang.

"Lo tenang aja, Ji. Sekalipun Gilang bantu gue, yang mereka kejar pasti tetep gue, bukan Gilang. Karena sejak awal, target mereka itu gue sama Fenly, bukan Gilang. Mereka ngga akan bisa sentuh Gilang selama gue masih hidup." Ucap Shandy yang seolah tahu isi pikiran Fajri.

"Lo tenang aja, Ji. Ngga usah mikir macem-macem, gue bakal balik lagi kok, gue cuma bantu Shandy. Tugas lo cuma jagain Fenly, jangan sampai lo lengah dan biarin Fen sendiri.. Itu bahaya." Lanjut Gilang.

"Iya, bang.."

Shandy kembali mengacak rambut Fenly dan memeluknya sekilas sebelum ia pergi. Setelahnya, Shandy dan Gilang pergi entah kemana. Fenly menatap jalanan yang masih gelap, karena memang Shandy dan Gilang memutuskan untuk pergi di waktu subuh. Menurut mereka, subuh adalah waktu yang jauh lebih aman daripada malam hari.

Fajri masih berdiri di sisi Fenly yang mematung di tempat. Ia menghela napas pelan, kemudian menarik lengan Fenly untuk masuk ke dalam rumah. Bahaya jika ada mafia yang tidak sengaja lewat dan melihat Fenly di rumah ini. Fajri percaya pada dirinya sendiri, jika ia bisa melawan dua sampai tiga orang. Tetapi, jika mereka bersenjeta, lain lagi ceritanya.

Fajri mengurungkan niatnya untuk tidur kembali dan memilih menyiapkan pakaiannya untuk sekolah hari ini. Karena Gilang memang tidak menyewa asisten rumah tangga, ia menyiapkan semuanya sendiri. Melihat Fajri yang tengah merapikan seraham sekolah miliknya, membuat pandangan Fenly tak lepas dari seragam milik Fajri. Ia masih memimpikan untuk bisa memakai seragam dan bersekolah secara normal.

"Oh, iya. Gue lupa.. Fen, selama gue sekolah, lo gapapa di rumah sendiri? Di lemari dapur ada mie instan. Seinget gue, di kulkas juga ada telur. Jadi, lo masak yang ada-ada aja, ya? Jangan pesen dan jangan keluar rumah kalau gue belum pulang. Ngerti?"

"Umm.." Fenly mengangguk sambil sesekali mencuri pandang pada seragam milik Fajri.

"Buat sarapan di meja makan, biasanya ada roti sama selai.. Ah, iya! Daripada salah, lo pakai selai strawberry aja. Karena bang Gilang biasa stok tiga srlai. Ada kacang, coklat sama strawberry. Gue ngga mau lo kenapa-kenapa selama gue sekolah.. Fen! Lo denger omongan gue ngga, sih?"

"Ah.. Umm.. Iya-iya, aku denger kok."

"Ya udah. Gue mau siap-siap ke sekolah dulu." Ucap Fajri yang kini menggantung seragam miliknya. Kemudian, meraih handuk dan pergi ke kamar mandi.

Sepertinya, Fenly memang harus mengubur mimpinya itu dalam-dalam. Ia duduk di tepi kasur sambil membaca buku yang ia pinjam dari Fajri. Bukan buku yang menarik, mengingat Fajri tidak memiliki koleksi buku apapun. Yang Fenly baca saat itu juga merupakan buku pelajaran milik Fajri.

Tepat pukul tujuh pagi, Fajri telah siap untuk berangkat ke sekolah. Pakaian rumahan miliknya, kini berganti seragam putih abu-abu yang ia balut dengan jaket jeans dan tampak cocok untuknya. Fenly mengikuti Fajri hingga di depan rumah. Ia memperhatikan Fajri yang mengeluarkan motor dari dalam garasi dan menenteng helm di tangannya. Fajri kembali mendekati Fenly dan menatap sekilas.

"Gue sekolah dulu. Inget, jangan kemana-mana. Tetep di rumah sampai gue pulang! Jangan buka pintu buat orang yang ngga lo kenal. Lo cuma boleh buka pintu, kalau yang dateng itu gue, bang Gilang atau bang Shandy.. Paham?"

"Umm.. Paham." Fajri mengangguk. Kemudian, kembali berjalan menuju motor miliknya. Sekilas, dirinya melirik Fenly dari kaca spion.

Melihat raut wajah Fenly, ia seolah tak tega meninggalkannya di rumah sendiri. Bagaimana jika kelompok mafia itu datang ke rumah dan membawa Fenly pergi? Lebih parah, jika mereka melukai atau bahkan membunuh Fenly. Fajri menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal, kemudian mengumpat pelan. Ia mengeluarkan ponsel miliknya dan menghubungi seseorang yang ia kenal cukup baik.

"Woi, Ji! Udah hampir bel. Lo dimana? Lo gak ada niat bersihkan toilet lagi, kan?" Tanya seseorang di balik telepon.

"Fik.. Hari ini gue ngga masuk dulu. Tolong izinin ke guru piket." Jawab Fajri sambil mengacak rambutnya.

"Lahh, kenapa lo? Sakit?"

"Kucing tetangga gue, nikah. Gue mau bantuin disana. Udah, ya, gue tutup. Makasih, Fik!" Ucap Fajri sambil memutuskan sambungan telepon. Kemudian, kembali memasukkan motor miliknya ke dalam garasi.

"Kok ngga jadi sekolah? Kenapa?" Tanya Fenly.

"Kucing guru gue meninggal, terus ambil cuti. Jadi, masuk atau ngga, sama ngga belajar. Mending di rumah." Jawab Fajri sambil menaiki tangga. Fenly mengekor pada Fajri sambil memperhatikan lamat seragam yang Fajri kenakan.

"Lo kenapa lihatin gue kayak gitu? Naksir lo sama gue? Maaf ya, Fen. Gue normal." Ucap Fajri yang merasa dirinya diperhatikan Fenly.

"Engga.. Aku itu.. Umm.. Dari dulu pengen banget pakai seragam sekolah dan sekolah di tempat umum. Cuma ngga pernah kesampaian karena papa sama mama ngga kasih izin buat sekolah umum."

"Oh.. Sorry, gue ngga tahu. Sabar, ya.. Mungkin lain waktu, lo bisa pakai seragam juga kayak gue. Umm, mau gue pesenin makanan buat makan siang?" Tanya Fajri yang mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Umm.. Gimana kalau aku saja yang masak? Tadi, aku lihat di kulkas, ada beberapa bahan makanan. Daripada beli, kan?"

"Terserah lo aja, deh. Gue mau ganti baju dulu. Lo duluan ke dapur, nanti gue nyusul."

Fenly mengangguk, kemudian berjalan menuju dapur untuk memasak makan siang. Fenly memang tidak memiliki banyak keahlian seperti Shandy. Tetapi, dibandingkan dengan Shandy, ia lebih mahir dalam urusan memasak, karena sering membantu sang mama.

Fenly mulai sibuk memotong bahan, menyiapkan bumbu dan memasak hidangan yang ingin ia buat. Ia bahkan tak sadar jika Fajri sudah ada didekatnya, sangking asiknya ia memasak. Tepat saat Fenly berbalik untuk mengambil bahan yang belum ia masak, ia terkejuf karena ada Fajri dihadapannya.

"Maaf.. Lanjut aja, gue ngga bakal ganggu kok." Ucap Fajri yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Fenly.

Fajri memperhatikan Fenly yang tengah memasak. Sebenarnya, Fenly bukan tipe orang yang menyebalkan, Fenly lain dari teman-temannya. Ia merasa jika bersama Fenly, ia lebih mudah mengendalikan emosinya, ia juga bisa bersikap lebih sopan dan lembut. Jujur saja, Fajri suka memiliki teman seperti Fenly. Ia teringat, jika memiliki seragam sekolah yang sudah tidak digunakan lagi. Fajri segera berlari menuju kamar miliknya lagi, Fajri tersenyum ketika seragam nya berhasil ia temukan.

"Mau makan sekarang atau nanti?" Tanya Fenly yang kini masuk ke dalam kamar Fajri.

"Nanti aja, masih kenyang.. Fen, sini deh!"

"Nih, coba pakai.." Ucap Fajri yang menyodorkan seragam miliknya sambil tersenyum manis. Fenly menatap seragam itu dengan mata berbinar dan langsung menerimanya. Tanpa menunggu lama, Fenly pergi ke kamar mandi untuk mencoba seragam tadi. Tak lama, ia keluar dan memamerkan seragam yang ia kenakan pada Fajri.

"Bagus.. Kalau suka, buat kamu aja." Ucap Fajri yang langsung menarik atensi Fenly.

"Kamu? Eh.. Maksudnya, makasih ya, Ji. Aku suka banget."

"Kan, katanya harus sopan sama yang lebih tua. Jadi, gapapa dong, kalau aku manggilnya pakai kosakata 'aku' dan 'kamu' juga? Itu di seragamnya masih ada namaku, tapi bisa dilepas kok."

"Ngga usah.. Gini aja, biar aku selalu inget kalau yang kasih seragamnya itu kamu." Fajri terkekeh sekilas.

"Besok mau ikut ke sekolah, ngga? Pakai seragam itu. Aku kenalin sama temen-temenku yang di sekolah juga. Mereka baik kok, meski banyak gilanya. Berisik mereka tuh."

"Aku boleh ikut masuk?"

"Aku robohin sekolahnya kalau larang kamu masuk." Jawab Fajri yang membuat Fenly tertawa.

Mengenal Fenly bukannya merasa memiliki kakak yang bisa menjaganya, justru ia merasa memiliki adik yang harus ia jaga dengan baik. Mereka mungkin tidak mengawali pertemuan dengan baik, mengingat Fajri yang nyaris membunuh Fenly karena takut kegelapan kala itu. Tetapi, mulai hari ini, Fenly adalah temannya. Ia tidak akan membiarkan siapapun yang menyakiti Fenly.

Happy Reading..