❝ Inilah pelarian yang sesungguhnya,
dan bertahan hidup yang sebenarnya.
Hingga, perjuangan akhir yang sedang kami usahakan.❞
Gilang merapikan selimut yang digunakan Shandy. Kemudian, ia langsung duduk di kursi tunggu. Ia menatap wajah pucat sahabatnya sekilas sebelum akhirnya menunduk. Ini untuk pertama kalinya ia melihat Shandy selemah ini. Tatapannya kini ia bawa pada kaki milik Shandy, ia tersenyum miris dan langsung menatap wajah sahabatnya.
"Gue mau lo tetap hidup, Nyet! Tapi, gue juga heran, kok lo bisa bertahan dengan peluru yang bersarang di kaki lo.. Lo sebenarnya manusia super atau beneran setan, sih? Apapun itu, lo mesti bangun. Lo ngga boleh pergi sebelum bayar hutang lo ke gue.." Kekeh Gilang yang kini kembali menunduk.
"Lo beneran tega, ya. Gue masih sakit, tapi lo malah nagih utang. Ngga ada hati lo, Nyet!" Jawab Shandy lirih. Gilang langsung menatap Shandy, ternyata sahabat baiknya itu sudah sadar.
Gilang bangkit dan hendak memanggil medis. Tetapi, langsung di tahan oleh Shandy. "Ngga usah.. Gue gapapa. Adek gue mana, Lang? Dia baik-baik aja, kan?"
"Keracunan berry. Ada beberapa masalah dengan organ pencernaan, tapi sekarang udah gapapa. Dia masih istirahat di ruangan sebelah. Ada Aji yang jagain dia. Lo istirahat aja dulu. Kalau keadaan lo udah pulih, kita jenguk Fenly."
"Gue ngga boleh terlalu lama istirahat, Nyet. Gue mesti tuntaskan apa yang udah gue mulai. Gue harus pastikan harta itu masih disana, terus kembalikan ke pihak yang berwajib."
"HEH! GILA YA, LO.. SAKIT, NYET!!" Kesal Shandy yang tiba-tiba Gilang memukul kepalanya dengan tangan kosong.
"Lo jalan aja ngga bener, dan lo mau kembali lagi ke hutan? Kalau ketemu kelompok mafia itu lagi, gimana? Yang ada, lo akan tinggal nama. Mending lo fokus sama kesehatan dulu. Dan gue ngga mau tahu, setelah ini lo berdua harus melibatkan gue sama Aji! Kita berdua hampir gila karena ngga dapat kabar dari lo dan Fenly."
"Gue mau.. Tapi, ngga bisa. Bahaya, Lang.. Aji masih sekolah dan lo juga punya masa depan sendiri. Stop peduli sama orang lain. Lo kalau jadi orang, jangan terlalu baik, Nyet."
Gilang menghela napas berat. Kemudian, memandang Shandy dengan tatapan serius. Gilang sendiri sadar dengan apa yang ia lakukan. Ia tahu, se-bahaya apa resiko yang harus ia terima jika memilih ikut bersama Shandy. Tetapi, tekad Gilang sudah bulat. Ia akan tetap ikut untuk membantu Shandy.
"Asal lo tahu, gue sama Aji kayak gini cuma ke lo berdua. Kalian itu udah kita anggap sebagai saudara. Sama kayak lo, yang pengen semua ini cepat selesai. Gue juga gitu, Shan.. Gue kangen bisa lakukan banyak hal kayak dulu sama lo. Percaya sama gue, kalau apapun yang terjadi, gue sama Aji itu tahu resikonya. Kita bukan orang bego, Nyet. Biarkan kita ikut.."
"Jangan sampai luka!" Jawab Shandy lirih yang lansgung memancing senyum di wajah Gilang.
"Gue pastikan bisa jaga diri gue dan ngga akan pernah nyusahin lo, Nyet. Mending, sekarang fokus sama kesehatan lo. Istirahat yang bener, makan yang banyak, baru mikirin yang lain, oke?" Ucap Gilang yang kini menuntun Shandy untuk kembali berbaring di tempat tidurnya. Untuk kali ini Shandy mengalah, karena sebenarnya ia sendiri juga masih cukup lemah.
☆☆☆
Setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit, akhirnya hari ini Shandy dan Fenly sudah di izinkan untuk pulang, meski dokter masih mewanti-wanti mereka untuk tetap istirahat karena keadaan mereka yang belum pulih sepenuhnya. Shandy sendiri belum dapat berjalan dengan normal. Sementara Fenly yang tampak pucat, ia sudah jauh lebih baik.
Tetapi, sepertinya waktu tidak mengizinkan mereka untuk bersantai. Shandy memilih langsung kembali melanjutkan misinya. Keputusan Shandy tentunya mendapat tentangan dari Gilang maupun Fajri. Bukan Shandy namanya, jika gagal membujuk kedua teman baiknya itu.
Maka, disinilah mereka sekarang. Kembali ke hutan untuk melanjutkan misi ayah Shandy yang kini dilanjutkan oleh Shandy dan Fenly, dengan bantuan dari Gilang dan Fajri.
"Kamu masih kuat jalan? Atau mungkin kamu pusing lagi?" Tanya Fajri pada Fenly yang berjalan disisinya.
"Umm, aku baik-baik aja kok." Jawab Fenly sambil tersenyum manis pada Fajri. Shandy menoleh sekilas ke belakang, memperhatikan interaksi sang adik dengan Fajri. Entah apa yang terjadi selama Shandy meninggalkan Fenly bersama Fajri. Tetapi, yang jelas, kini keduanya terlihat sangat dekat.
Fenly yang merasa diperhatikan, menoleh ke arah Shandy dan tersenyum. Shandy membalas senyum Fenly dan meraih tangan adiknya untuk ia genggam. Tetapi, tak lama ekspresi Shandy berubah dan langsung menarik Fenly ke dekapannya.
"Nunduk!" Perintah Shandy cepat.
Fajri yang sebenarnya tak paham dengan apa yang terjadi, memilih untuk langsung menunduk. Sementara Gilang, entah sudah keberapa kalinya pemuda kelahiran November itu ikut dengan Shandy. Tetapi, tetap saja kewaspadaannya kurang. Ia justru menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari apa yang menjadi penyebab mereka harus menunduk.
Hingga, terdengar suara tembakan yang berhasil memekakkan telinga. "Dor!!!"
"Kena.. WAAAA!!!" Kalimat Gilang terhenti dan berubah menjadi jeritan ketika sebuah peluru mengarah kepadanya.
"SHAN.. GUE BELUM MAU MATI! Shan.. Gue ditembak.. Gue belum nikah, Shan.." Panik Gilang. Shandy langsung melepas pelukannya pada Fenly dan memeriksa keadaan Gilang yang terduduk tak jauh darinya.
"Ngga kena, setan!!" Umpat Shandy sambil memukul lengan Gilang.
"Hampir, nyet.." Bela Gilang sambil mengusap lengan pakaiannya yang sedikit robek karena peluru tadi.
"Kamu gapapa?" Tanya Fajri pada Fenly dan hanya di jawab anggukan kepala.
"Yang ke tembak itu sepupu lo, Ji. Bukan adek gue." Protes Shandy yang langsung merangkul Fenly dan menuntun langkah mereka ke jalan yang lebih aman.
Beruntung bagi mereka, karena kelompok mafia tadi ternyata berada cukup jauh dari mereka. Hanya saja, mereka memang memiliki keahlian menggunakan senjata dari jarak jauh. Jika di daerah perkotaan, mungkin mereka akan lebih mudah untuk terluka karena tembakan dari kelompok mafia. Tetapi, jika hutan seperti ini, cukup menguntungkan Shandy karena penembak itu tidak memiliki keahlian yang mumpuni dan yang bisa mereka gunakan di hutan.
Setelah lama berjalan, mereka akhirnya tiba didekat rumah tua yang pernah Shandy dan Fenly datangi. Shandy kembali menuntun langkah ketiga orang lainnya untuk menuju batu besar yang berada di belakang rumah tua itu.
Shandy meminta bantuan Fajri, Fenly dan Gilang untuk menggeser batu besar tadi. Cukup berat. Tetapi, setelah beberapa kali mencoba, akhirnya mereka berhasil. Shandy menyibak tanah yang tadinya tertutup batu besar. Perlahan, mereka melihat sebuah peti baja yang tertutup rapat dengan gembok yang perlu kode sandi untuk membukanya.
"Ternyata, mereka belum berhasil temukan harta ini. Bagus, deh." Ucap Shandy dan kini langsung memasukkan kode yang menjadi kunci gembok peti tersebut.
"Lo tahu kodenya darimana, bang?" Tanya Fajri.
"Semua ada di flashdisk papanya Shandy, Ji. Makanya, mereka butuh itu flashdisk."
Tak berapa lama, peti berhasil terbuka dan mereka langsung merapat untuk melihat isi dari peti tersebut. Benar dugaan mereka, Shandy segera mengambil isi dalam peti dan memasukkannya ke dlam ransel yang ia bawa. Setelahnya, Shandy kembali menutup peti itu serapi mungkin.
"Kita pisah disini dulu. Gue percaya sama lo berdua. Tolong kembalikan ini ke pihak yang seharusnya. Sementara itu, gue dan Fenly akan kecoh mereka supaya ngga kejar kalian." Ucap Shandy sambil menyerahkan ransel nya pada Gilang dan Fajri.
"Bahaya, nyet! Kita kembalikan sama-sama."
"Kak Shandy benar, bang. Harta ini ngga akan aman kalau sampai kalian masih bareng sama kita. Dari awal, target mereka itu, kita. Jadi, mereka pasti memilih mengejar kita, bukan kalian." Sahut Fenly.
"Kita akan ketemu setelah ini. Jadi, tolong kita buat kali ini." Ucap Shandy sambil menepuk bahu Gilang.
"Jujur, gue benci banget yang kayak gini. Tapi, oke. Kita akan lakukan apa yang kalian inginkan. Janji sama gue, kalau kita akan ketemu lagi dengan keadaan yang sama."
"Iya, nyet.. Gue ngga akan pernah ingkari janji yang gue buat." Gilang mengangguk dan mengambil ransel milik Shandy. Begitu juga Fajri, yang mengambil ransel milik Fenly.
"Kamu jaga diri, ya.. Kita bertemu lagi setelah semuanya selesai. Habis itu kita wujudkan impian kamu yang lain." Ucap Fajri yang kembali di jawab anggukan kepala dan senyuman oleh Fenly.
Mereka akhirnya berpisah. Fajri dan Gilang fokus untuk mengembalikan harta serta benda yang dicuri dari museum. Sementara Shandy dan Fenly bertugas mengecoh para kelompok mafia tadi, dengan membawa peti yang telah kosong. Prediksi Shandy tak pernah salah. Baru saja mereka berjalan disekitar hutan, langkah mereka sudah dihalangi oleh sekelompok mafia.
"Ke belakang tubuh kakak, Fen!" Ucap Shandy yang langsung berdiri dihadapan Fenly.
"Ternyata, anak Adhitama jauh lebih pintar dari apa yang kita tahu, ya. Terima kasih, karena kita tidak perlu repot-repot mencari lagi. Jadi, kalian mau menyerahkan peti itu dengan sukarela atau kami paksa kalian memberikannya?"
"Dan ternyata kalian lebih bodoh dari yang gue kira.. Sekali lagi, penawaran kalian tidak menarik. Mungkin, kalian harus belajar membuat pilihan." Ucap Shandy.
Matanya selalu waspada jika mereka secara tiba-tiba langsung menyerang. Salah satu mafia tadi mengarahkan pistolnya pada Shandy. Fenly yang berada di belakang langsung memeluk tubuh kakaknya.
"Kak.." Lirih Fenly dengan sekali gerakan. Shandy meraih tangan adiknya untuk ia genggam erat.
"Kalian mau peti ini, kan? AMBIL KALAU GITU." Ucap Shandy yang langsung melempar petinya pada mafia berpostur tegap yang sempat mengarahkan pistol padanya.
"Ambil petinya. Tapi, kuncinya tetap gue yang punya." Ledek Shandy sambil menunjukkan flashdisk miliknya. Kemudian, menarik Fenly supaya berlari.
Shandy tak peduli dengan kakinya yang belum sembuh sepenuhnya. Yang saat ini ada di otaknya, hanya menyelamatkan diri.
"BODOH! KENAPA DIAM AJA? KEJAR MEREKA DAN DAPATKAN FLASHDISK ITU!!" Bentak salah satu mafia tadi. Shandy menghentikan langkahnya ketika merasakan kakinya yang semakin nyeri. Fenly menatap kaki Shandy yang di perban kembali mengeluarkan darah cukup banyak. Dengan cepat, Fenly meraih tubuh Shandy untuk memapahnya dan membawanya bersembunyi.
"Lari, Fen.. Jangan mikirin kakak.. Fen harus pergi, tempat ini ngga aman."
"Engga.. Fen ngga mau kehilangan kakak.. Ayo pergi sama-sama."
"Kakak ngga bisa lari, Fen. Fen lari aja yang jauh! Jangan pikirkan kakak. Fen harus selamat."
"Ngga mau, kak. Fen mau sama kak Shandy.." Isak Fenly sambil meremat pakaian yang Shandy kenakan.
"Dengar kakak.. Fen udah dewasa. Fen bukan anak kecil lagi. Fen bisa tanpa kakak. Pergi, Fen.. Selamatkan diri dan lari yang jauh!"
"Engga.."
Shandy meraih tubuh Fenly untuk ia peluk. Sungguh, Shandy sudah tidak sanggup berlari lagi. Ia juga yakin tidak bisa melindungi Fenly ketika para mafia itu datang dan menemukan mereka. Jadi, satu-satunya cara menyelamatkan Fenly hanya meminta adiknya untuk berlari sendiri.
"Pergi, Fen! Kakak gapapa.. Lanjutkan hidup Fen dengan normal. Fen harus tahu dan selalu ingat kalau papa, mama dan kak Shandy itu sayang sama Fenly. Kebahagiaan Fenly adalah hal yang akan terus kita usahakan. Jadi, Fen lari aja.. Ambil kebebasan yang Fenly cari selama ini. Jangan pikirkan kakak."
"Fen mau hidup normal. Tapi, ngga akan ada yang normal kalau kakak ngga ada.. Dunia jahat, kak. Tapi, kalau ada kakak, semuanya akan terlihat lebih baik. Fen cuma mau sama kak Shandy." Lirih Fenly yang mengeratkan pelukannya pada Shandy.
☆☆☆
Sementara itu, Fajri kini sudah berada di museum untuk mengembalikan barang yang telah dicuri. Ia tak ingin lama-lama, karena ia masih harus mengembalikan dan melaporkan bisnis gelap para mafia itu di Jakarta.
Jika kalian mencari Gilang, ia kembali ke hutan untuk menyusul Shandy dan Fenly. Gilang meminta Fajri melanjutkan misi itu sendiri. Mereka memiliki firasat buruk tentang kedua sahabat baiknya itu.
Dan benar saja, Shandy dan Fenly berhasil ditemukan oleh kelompok mafia tadi. Mereka kembali ditodong pistol. Ketika salah satu dari mereka ingin menarik pelatuk pistol yang mengarah pada Shandy, suara sirine mobil polisi berhasil menyelamatkan mereka. Shandy tahu itu bukanlah polisi sungguhan, melainkan Gilang. Ia menghela napas lega, ternyata teman baiknya itu berulang kali menyelamatkan dirinya.
"Gue bilang juga apa? Kalian ngga bisa sendiri! Kalau lo kenapa-kenapa tadi gimana, nyet!" Umpat Gilang sambil membantu Fenly yang memapah langkah Shandy.
"Mati paling, Lang."
"Brengsek lo!"
"Ada adek gue! Jangan ngumpat, setan!" Fenly yang mendengar itu hanya tersenyum tipis. Kakaknya memang tidak pernah berkaca. Lagipula, Fenly semakin terbiasa dengan cara bicara Shandy dan Gilang.
Mereka langsung pergi menyusul Fajri ke kantor polisi yang tengah melaporkan kebusukan kelompok mafia tadi.
Tiba di kantor polisi, Fajri yang baru saja keluar langsung memelum Fenly. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Fenly sejak tadi.
"Kayaknya sepupu gue lupa kalau ada gue. Bisa-bisanya dia khawatir sama orang lain." Kesal Gilang yang di sahut kekehan pelan dari Shandy.
"Sekarang, semuanya selesai disini.. Makasih banyak, Lang.. Ji.. Kalau ngga ada kalian, mungkin misi ini ngga akan pernah selesai."
"Santai, Shan.. Ya udah, ke rumah gue dulu aja, sampai semuanya benar-benar aman. Setidaknya, sampai kelompok mafia itu ditangkap." Shandy mengangguk setuju.
Mereka berjalan beriringan menuju halte untuk mencari kendaraan. Tetapi, baru beberapa langkah, ikatan tali sepatu milik Fenly terlepas. Sehingga, mengharuskan ia menunduk untuk mengikat tali sepatunya.
"Apa kabar, anak nakal?"
Tubuh Fenly membeku dan langsung mendongak menatap siapa yang ada didekatnya. Fenly ingat, dia merupakan salah satu mafia yang pernah datang ke rumahnya. Pria berambut keriting yang berencana untuk membunuhnya. Pria itu langsung menarik Fenly menuju mobil yang terparkir tak jauh dari halte.
"KAKAK.." Teriak Fenly yang langsung membuat Shandy dan yang lain menoleh. Tetapi, mereka kalah cepat dengan mafia tadi, karena Fenly sudah dibawa masuk ke dalam mobil.
"FENLY! FEN.." Teriak Shandy sambil mencoba megejar mobil tadi. Tetapi, tentunya hal itu sangat percuma. Shandy gagal menghentikan mobil yang membawa Fenly pergi.
Ternyata, semua ini belum selesai sampai disini. Kini, misi yang ia hadapi semakin sulit, karena harus membawa Fenly kembali bersamanya.
Happy Reading..