❝ Ini adalah misi terakhir, sekaligus paling berat.
Aku bisa kehilangan apapun.
Tetapi, tidak dengan kehilanganmu.
Bertahanlah sedikit lagi. Aku berjanji, kita akan bersama lagi.❞
Shandy mengusap wajahnya kasar. Hingga saat ini, kelompok mafia itu belum juga menghubunginya untuk memberika petunjuk dimana keberadaan Fenly.
Sungguh, Shandy rela kehilangan apa saja, bahkan nyawa sekalipun. Asalkan jangan kehilangan Fenly. Pemuda tampan yang Shandy sebut dengan kata adik itu adalah dunianya. Menurut Shandy, dunia ini krjam. Tetapi, semenjak adanya Fenly, semuanya terasa lebih baik.
Gilang dan Fajri juga tidak jauh berbeda. Mereka tampak bingung dan khawatir dengan keadaan Fenly yang saat ini entah dimana. Mereka menebak segala kemungkinan dimana mafia itu membawa Fenly. Tetapi, tak juga menemukan titik terang.
"Harusnya gue ngga ajak Fenly.. Semuanya ngga akan seperti ini. Gue emang kakak yang bego."
"Engga, nyet. Ini bukan salah lo sepenuhnya, kita juga salah. Seharusnya kita ngga lengah buat jaga Fenly. Tapi, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mencari siapa yang paling salah. Sekarang fokus kita cuma untuk temukan Fenly dan bawa dia dalam keadaan selamat."
"Gue udah janji sama papa dan mama kalau gue akan jaga Fenly. Tapi, gue gagal. Gue bodoh karena udah anggap semua ini selesai.." Gilang menggeleng sekilas. Kemudian, langsung menampar wajah Shandy dengan cukup keras. Hal itu jelas menarik perhatian Fajri yang sedari tadi hanya diam. Tetapi, meski begitu, Fajri tidak berani untuk ikut campur urusan kedua sahabat itu.
"Sadar, nyet! Ucapan lo yang kayak gini itu udah bikin lo lemah! Lo mau fenly kembali, kan? Kalau iya, jangan kayak gini! Ayo semangat lagi. Kita cari Fenly sampai ketemu. Kalau perlu, lo obrak-abrik Jakarta ini untuk temukan Fenly."
"Lo bener. Gue harus temukan Fenly. Harus!"
Shandy tersenyum ketika ponsel miliknya berbunyi. Ia yakin nomor tidak dikenal yang menghubungi dirinya adalah salah satu kelompok mafia yang membawa Fenly. Dengan cepat, Shandy langsung menjawab panggilan dari nomor tersebut.
"Kemana lo bawa Fenly? Dasar setan! Pengecut kayak lo itu beraninya cuma sama orang yang lebih lemah." Umpat Shandy saat menerima telepon.
"Who.. Who.. Whoo.. Sangat tidak sabaran seperti Adhitama, ya.. Adik kamu untuk saat ini aman bersama kami. Tapi, kami tidak bisa menjamin dia masih bernapas untuk beberapa jam ke depan."
"JANGAN LO SENTUH FENLY!!"
"Tenang, Shan.. Tenang.. Anak sulung keluarga Adhitama benar-benar sangat mencerminkan kepala keluarga, ya? Hebat.. Datang ke tempat yang saya kirimkan. Jangan bawa polisi jika kamu masih ingin melihat adikmu bernapas. Bawa flashdisk itu dan berikan pada kami sebagai alat tukar. Kami tunggu dua jam dari sekarang. Jika kamu tidak datang, tidak perlu repot-repot mencari, kami sendiri yang akan mengirimkan potongan tubuh adik kamu ini. Tapi, mungkin kami akan mengambil kepalanya untuk dijadikan pajangan."
"BRENGSEK! Jangan sentuh Fenly! Gue akan datang dan bawa apa yang lo inginkan."
"Bagus. Jadi anak baik untuk hari ini, Shandy."
Setelah sambungan telepon itu di tutup, rasanya Shandy ingin sekali membanting ponsel yang digenggamnya. Andai ia tidak membutuhkan benda itu untuk menemukan Fenly.
"Gue harus kesana sekarang. Gue harus selamatkan Fenly." Ucap Shandy yang langsung bangkit dari tempatnya.
"Bang, tunggu! Kita ngga bisa kesana gitu aja. Mereka ngga sebaik yang kita kira.. Kita butuh rencana untuk datang dan selamatkan Fenly." Jawab Fajri yang mencoba mengingatkan Shandy, jika lawan mereka itu bukanlah orang sembarang, melainkan sekelompok mafia.
"Gue udah tahu, Ji. Gue udah susun rencana di otak. Kita berangkat sekarang, nanti gue jelasin. Yang penting, sekarang kita pastikan Fenly aman dengan mereka."
Bukankah Gilang dan Fajri tahu, jika Shandy bukan remaja yang bodoh. Melainkan, remaja yang penuh dengan rencana dan bisa menyusun strategi hanya dalam hitungan detik.
☆☆☆
Sementara di tempat lain, Fenly sudah tidak memiliki tenaga. Bahkan, untuk sekedar berteriak, rasanya sangat sulit. Seluruh tubuhnya terasa sakit karena mendapatkan siksaan dari salah satu mafia yang menjaganya. Fenly yang memang tidak terbiasa dengan hal-hal semacam ini, merasakan semua energinya terserap habis.
Sebuah cahaya menyilaukan matanya, ia memang ditempatkan di sebuah ruangan tanpa penerangan sama sekali. Mereka tahu betul apa kelemahan Fenly. Mereka tak hanya menyakiti secara fisik. Melainkan, bermain-main juga dengan traumanya.
"Heh, bocah nakal! Berdoa saja, semoga kakakmu si gondrong itu segera datang. Karena kalau tidak, kepalamu yang akan menggantikan pajangan kepala rusa di ruanganku."
"Setelah kakakmu datang, kami akan habisi kalian berdua. Lalu, organ-organ kalian bisa kami jual ke luar negeri."
"Berhenti.." Lirih Fenly yang tidak ingin mendengarkan percakapan ini lagi. Rasanya ia mual ketika membayangkan apa yang mereka bicarakan.
"Kamu takut? Hahaha.. Karena kamu cukup manis, kami akan memberikan treatment spesial.. Kami akan mencari cara untuk menghabisi nyawamu, tanpa perlu kamu merasakan sakit."
"Bagaimana jika dilindas kereta? Oh.. Itu akan merusak organmu, kami akan rugi." Sahut mafia lain yang mendengarkan percakapan mereka.
"Bagaimana jika langsung memenggal kepalamu? Bukankah itu akan lebih menguntungkan? Kamu tidak perlu berlama-lama untuk merasakan sakit, dan organ yang kami jual juga masih terjaga. Karena kami takut jika menenggak racun kualitas organ akan menurun. Bukankah begitu, anak nakal?"
"Tolong berhenti.." Lirih Fenly yang semakin mual ketika membayangkan apa yang tengah mereka bicarakan.
"Kamu sangat sopan, anak manis. Sebagai hadiah, kami akan mengizinkanmu untuk menyaksikan bagaimana kami memutus kepala kakakmu itu. Hadiah yang kami berikan sangat istimewa, bukan?"
"ENGGAK!!!" Teriak Fenly yang semakin frustasi. Justru, akan membuat mereka semakin tertawa bahagia.
"Han, sepertinya dia bukan anak nakal.. Dia anak manis yang penakut."
"Mau main sebentar, anak manis?" Ucap pria bertubuh tegap yang kini mengusap pipi Fenly lembut. Tetapi, semakin membuat dirinya ketakutan.
Gelak tawa terdengar jelas di telinga Fenly. Semua yang mereka lakukan padanya, benar-benar membuatnya ketakutan setengah mati. Pria berambut keriting yang berdiri didepan Fenly, tersenyum lebar. Kemudian, memanggil seorang wanita untuk masuk ke dalam ruangan itu.
"Kami akan mengajarimu banyak hal. Jadi, nikmati hadiah dari kami. Hahaha.." Pria bertubuh tegap itu keluar dari ruangan bersama pria berambut keriting. Kini, hanya tersisa Fenly dan wanita yang di dalam ruangan.
"Kamu.. Mau apa?" Tanya Fenly yang mulai merasa takut.
Kini, wanita itu dengan lancang duduk dipangkuan Fenly dan mengusap wajah Fenly. "Ya Tuhan, mereka benar.. Kamu sangat manis dan benar-benar tampan."
"Pergi! Tolong pergi.." Isak Fenly ketakutan sambil berusaha menyingkirkan tubuh wanita itu dari pangkuannya. Meski usaha yang ia lakukan tampak sia-sia karena semua anggota tubuhnya terikat kuat pada kursi. Wanita itu membuka kancing kemeja yang Fenly kenakan dan terus menggodanya.
"Tolong, pergi.." Bukannya menurut, wanita itu justru mencium pipi Fenly yang basah karena air mata.
"Kamu sungguh manis. Semua yang ada di kamu, sangat manis.. Bagaimana jika kamu jadi milikku saja, hem? Aku bisa memanjakanmu.. Bagaimana? Tertarik?"
"Pergi.. Pergi.."
"Bisakah bibirmu mengatakan kata lain, selain pergi?"
Dengan lancang, wanita itu mengecup bibir Fenly yang langsung membuat dirinya meraung. Kedua pemuda yang sedari tadi masih berada didekat ruangan Fenly, hanya tertawa ketika mendengar raungannya. Bagi mereka, itu adalah sebuah musik paling menarik yang pernah mereka dengar.
☆☆☆
Shandy menghentikan mobil milik Gilang saat tiba di lokasi yang diberikan oleh kelompok mafia yang menghubunginya tadi. Tangannya bergerak meraih sesuatu dari saku jaketnya. Shandy menatap flashdisk di tangannya dengan yakin, kemudian menggenggam erat flashdisk itu.
"Lo yakin mau masuk sendiri? Jujur, gue ngga bisa biarin lo masuk sendirian, Shan." Ucap Gilang sambil menepuk bahu Shandy.
"Gue akan masuk dengan bang Shandy. Dan untuk lo, bang Gilang.. Tunggu polisi datang dan arahkan mereka supaya ngga gegabah masuk karena bisa membahayakan keselamatan Fenly. Bang.. Gue tahu lo selalu mikir kalau ini bukan tanggung jawab gue dan bang Gilang. Tapi, kita itu sahabat, kan? Jadi, udah seharusnya kita saling bantu. Ini juga demi Fenly. Lo ngga mungkin masuk sendiri." Ucap Fajri yang membuat Shandy menunduk, karena merasa bersalah telah membawa kedua teman baiknya itu ke dalam masalah se-mengerikan ini.
"Lo tenang aja, nyet. Lo boleh takut kalau yang masuk sama lo itu, gue. Tapi, kali ini lo bisa andalkan Fajri. Dia lebih dari sekedar mampu bantu lo untuk lawan mereka."
"Maafin gue.. Dan makasih untuk bantuan lo berdua." Lirih Shandy.
"Maaf mulu lo.. Belum lebaran kali, nyet. Udah, sana masuk. Bawa adik lo kembali dengan selamat." Shandy mengangguk dan kini menatap Fajri yang tengah membenarkan letak topi hitam yang ia kenakan.
Setelah merasa yakin, mereka berdua turun dari mobil dan masuk ke dalam gedung yang menjadi markas kelompok mafia itu. Sementara Gilang, terus berhubungan dengan polisi untuk mengingatkan supaya tidak membuat kegaduhan atau apapun yang bisa membuat para mafia itu mencurigai mereka.
Setelah mendapat pesan dari salah satu polisi, Gilang sedikit melirik keluar dari kaca jendela mobilnya. Ia melihat beberapa orang yang berada di jarak aman dari lokasi. Gilang tersenyum tipis. Ternyata, beberapa penembak jitu telah datang dan berada di posisi untuk berjaga jika ada sesuatu terjadi pada mereka.
Sementara itu, Shandy dan Fajri yang sudah masuk ke dalam gedung, kini tengah menghadapi beberapa mafia yang menghadang jalan mereka.
Gilang benar mengenai kemampuan bela diri Fajri. Meski terbilang masih muda, kemampuan bela diri nya patut di apresiasi. Shandy tersenyum ketika seseorang berhasil dibanting oleh Fajri tepat dihadapannya. Shandy menepuk bahu Fajri beberapa kali, kemudian mengajaknya untuk masuk ke dalam gedung itu.
Satu-persatu hambatan dari para mafia telah berhasil dikalahkan oleh Shandy dan Fajri meski harus meninggalkan luka yang cukup terlihat di wajah tampan keduanya. Kini, akhirnya mereka berhadapan langsung dengan ketua dari mafia dan beberapa anak buah yang cukup familiar bagi Shandy, karena beberapa kali dirinya melihat wajah mereka.
"Shandy.. Akhirnya kamu datang juga. Kamu bawa apa yang kami inginkan, kan?" Tanya ketua mafia itu sambil menginjak peti yang menjadi alat kecoh Shandy kala itu. Sepertinya, mereka belum berhasil membuka peti itu. Sehingga, masih berpikir jika isi di dalam peti masih utuh.
"Kembalikan Fenly! Dan gue akan kasih apa yang kalian inginkan." Ucap Shandy sambil menunjukkan flashdisk ditangannya. Ketua mafia itu mengangkat tangannya untuk memberikan isyarat supaya membawa Fenly keluar menemui mereka.
Tak lama, Fenly dibawa keluar oleh salah satu pria dan wanita yang tampak memeluk Fenly.
"Ba***at! Bisa-bisanya kalian gituin Fen! Awas aja itu cewek, gue jambak sampai botak. Biar tahu rasa!" Umpat Fajri yang masih bisa didengar oleh Shandy.
Melihat keadaan Fenly, Shandy sendiri sudah ingin mematahkan leher mereka jika tidak ingat dengan rencana yang ia susun di awal.
"Saya akan kembalikan adik kamu, setelah kamu berhasil kalahkan saya dan kedua anak buah saya. Kemudian, kamu berikan flashdisk itu." Ucap ketua mafia tadi.
"Nih orang udah bau tanah, banyak bacot! Bang, lo urus itu orang bau tanah. Dan dua orang itu biar gue yang hadapin." Ucap Fajri kesal.
"Lo yakin, Ji? Mereka bisa aja pakai senjata. Gue ngga mau lo celaka."
"Bang, gue pernah hadapin yang lebih seram. Dari yang bawa celurit sampai bawa parang. Jadi, lo ngga perlu khawatir."
"Tapi, yang bawa pistol belum pernah, kan?"
"Kalau sampai gue celaka, lo boleh bunuh gue, bang.."
"Lo mati dua kali dong.."
"Udah, bang.. Gue bisa. Urus itu kakek-kakek. Tolong ya, bang.. Kalau lo berhasil kalahkan itu kakek-kakek, tolong lo tampar dan jambak tante-tante yang peluk Fenly." Shandy mengangguk paham. Fajri langsung menatap kedua orang didepannya dengan remeh. Kemudian, memancing mereka untuk melawan dirinya. Sementara Shandy, segera berlari menuju ketua mafia itu.
Fajri tahu kapasitas dan batasannya, ia merasa jika kedua orang ini memang pandai dalam bela diri. Tetapi, belum sebaik Fajri. Pengalamannya di arena tawuran sangat membantu kelincahan dan feelingnya. Sehingga, ia dengan mudah menebak serangan dari kedua mafia itu. Meski melawan dua orang sekaligus, Fajri tidak merasa kesulitan.
Begitu juga dengan Shandy, ia tampak lebih lincah dibanding si ketua mafia. Bahkan, dengan mudahnya Shandy menendang pistol yang diarahkan padanya. Merasa terdesak, ketua mafia itu menarik dan mengunci pergerakan leher Fenly.
"Jangan melawan lagi. Atau saya patahkan leher adik kamu." Ucapnya sambil tersenyum. Shandy berhenti melawan dan kini mengeluarkan flashdisk miliknya.
"Lo sakiti Fenly? Gue remukin flashdisk ini!" Ancam Shandy yang membuat ketua mafia itu tampak khawatir, karena hanya flashdisk itu yang tersisa.
"Baik.. Saya serahkan adik kamu. Tapi, berikan flashdisk itu pada saya."
"Lo pikir gue bego? Lepasin Fenly dan gue kasih flashdisk ini. Atau.." Shandy sudah menggenggam erat flashdisk itu ditangannya.
"Baik.. Baik.. Baik.." Ketua mafia itu melepaskan dan membiarkan Fenly mendekat ke Shandy. Kini, beberapa mafia lainnya datang dan mengepung dirinya, Fenly dan juga Fajri.
"Berikan flashdisk itu dan kalian bisa keluar dengan selamat." Ucapnya sambil kembali duduk di kursi miliknya.
Shandy merangkul Fenly yang semakin melemah. Ia menghembuskan napas berat, lalu menatap lagi ke flashdisk yang digenggamnya.
"Kalian mau ini, kan? Ambil sendiri." Ucap Shandy yang melempar flashdisk itu kearah tumpukan kardus dan tangki bekas minyak. Sehingga akan sulit untuk mereka bisa menemukan flashdisk nya.
"Jangan main-main! Kalian semua, tangkap mereka!" Perintah sang ketua mafia. Tetapi, baru saja beberapa langkah, anggota mafia itu mendekati mereka bertiga. Beberapa mafia bertopi, langsung menodongkan pistol mereka untuk melindungi Shandy, Fenly dan Fajri.
Ya, kelompok mafia itu telah berhasil disabotase oleh Gilang dan polisi. Sehingga, mereka bisa masuk dan menyamar menjadi bagian dari anggota mafia.
"Kalian bisa pergi. Untuk sisanya, serahkan pada pihak kepolisian." Shandy mengangguk dan langsung memapah Fenly keluar dari gedung bersama dengan Fajri dan Gilang.
Bukankah sudah diberitahu sebelumnya? Jika Shandy selalu datang dengan persiapan dan rencana yang matang. Jadi, semua yang terjadi memang telah Shandy rencanakan.
"Maafin kakak, Fen.. Maaf.." Ucap Shandy lirih.
"Kakak ngga salah. Makasih, kakak udah datang."
Fajri dan Gilang hanya tersenyum ketika melihat interaksi kakak beradik itu. Mereka pun berakhir saling merangkul untuk mengungkapkan rasa bangga karena berhasil membantu Shandy dan Fenly hingga akhir.
- THE END -