❝ Bukankah kamu sudah mengucap janji?
Jadi, tepati apa yang pernah kamu ucap.❞
Fenly terus bersembunyi dan berharap Shandy akan segera menemui dirinya. Matahari yang awalnya malu-malu untuk menampakkan dirinya, hingga teriknya menyengat kulit, kini perlahan pulang ke arah barat, Shandy belum juga menemui Fenly. Selama itu pula, hingga membuat Fenly tidak berhenti menangis.
"Kakak.. Kakak dimana? Fen takut gelap, kak. Kakak.. Fen takut." Isak Fenly sambil memeluk erat lututnya. Bahkan, kini matanya memerah dan sedikit bengkak karena terus menangis.
Suara binatang malam terdengar mulai bersahutan. Fenly mengeratkan pelukannya pada lutut untuk menutup rasa dingin dan sedikit meredakan rasa takut yang perlahan menyelimuti dirinya. Fenly tidak bisa memejamkan matanya, ia terus menunggu kedatangan Shandy.
"Kakak janji ngga akan tinggalin Fenly.. Jadi, tolong tepati janji kakak.. Fen takut, kak.. Fen susah untuk napas."
Malam semakin larut. Tetapi, Shandy belum juga menunjukkan keberadaan dirinya. Selama itu pula Fenly tidak bisa memejamkan matanya, ia bahkan kesulitan bernapas karena terus menangis sedari tadi.
Suara langkah kaki yang menginjak dedaunan kering, menyentak Fenly. Jantungnya terasa berhenti berdetak saat itu juga. Ia menutup mulutnya dan berusaha menyembunyikan dirinya supaya tidak trrlihat siapapun.
Air mata Fenly semakin mengalir deras. Tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan pada apapun yang mendekati tempat persembunyiannya. Entah manusia atau binatang buas yang saat ini berada didekatnya. Yang Fenly lakukan hanya memejamkan mata. Setidaknya, kalaupun ia akan terbunuh, ia tidak melihat apapun dan dengan cara apa dirinya terbunuh.
"Fen.. Fenly.." Suara lembut itu perlahan menyapa telinga Fenly. Pemuda tampan itu mencoba memberanikan diri untuk membuka matanya dan melihat ke sekeliling tempatnya bersembunyi.
Ia melihat seseorang dengan jaket jeans dan celana bahan berwarna gelap, berdiri tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Tanpa melihat wajahnya sekalipun, Fenly tahu pemuda yang berdiri didepannya itu Shandy.
"Fen.. Fen disini?" Tanya pemuda itu sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan apakah pemuda yang ia cari berada disekitar tempatnya itu.
"Kakak.." Seru Fenly lirih yang langsung keluar dari persembunyiannya dan berlari memeluk Shandy. Sedikit terkejut. Tetapi, Shandy dapat mengendalikan hal itu dengan cepay. Shandy membalas pelukan sang adik sambil sesekali mengusap punggungnya lembut.
"Kenapa lama? Fen takut, kak.." Isak Fenly yang masih dalam pelukan Shandy.
"Maafin kakak, ya.. Mereka terlalu banyak. Kakak ngga mungkin semudah itu kalahkan mereka. Mereka juga punya senjata, Fen.. Maafin kakak. Sekarang jangan takut lagi, ya! Kakak udah disini sama Fenly."
"Jangan tinggalkan Fen lagi, kak. Fen mohon.. Fen takut.." Lirih Fenly yang perlahan melemah.
"Fen.. Fen gapapa?" Tanya Shandy panik dan langsung membawa Fenly untuk duduk dan bersandar pada pohon tempat Fenly bersembunyi tadi.
"Sesak, kak.. Sakit.
"Fen tenang, ya.. Napas pelan-pelan dulu, atur napasnya. Fen bisa.. Kakak disini sama Fen, kakak ngga akan pernah tinggalkan Fen sendirian.
"S-sakit, kak.." Shandy langsung membawa Fenly ke dalam dekapannya, mencoba membuat adiknya tennag. Sementara Fenly, berusaha untuk mengatur napasnya. Tak sengaja ia melihat kaki Shandy yang tampak ada bercak darah. Ia yakin jika kaki kakaknya itu sedang terluka. Dengan tangan yang bergetar, Fenly menunjuk kaki Shandy.
"Kakak.. Luka?" Tanya Fenly. Shandy sedikit menyingkirkan kakinya supaya tak terlihat oleh Fenly. Kemudian, mengeratkan pelukannya pada adiknya itu.
"Kakak gapapa.. Luka kecil aja kok. Kena ranting."
"Kakak bohong.. Kenapa, kak? Sakit banget, ya?"
"Gapapa, Fen.. Nanti juga sembuh. Sekarang Fen tidur aja, ya. Fen demam? Maafin kakak, Fen.."
"Kak, dingin." Lirih Fenly yang semakin pucat dan lemas. Shandy segera melepas jaket yang ia kenakan dan memberikan jaketnya pada Fenly. Ia juga langsung memeluk erat tubuh adiknya.
"Sabar ya, Fen. Kakak janji, sebentar lagi semuanya akan selesai. Kakak janji!" Ucap Shandy sambil mencium sekilas puncak kepala Fenly. Sementara Fenly yang cukup lemas, hanya bisa melingkarkan kedua lengannya pada tubuh Shandy.
☆☆☆
Gilang memperhatikan Fajri yang sedari tadi hanya naik turun tangga tanpa tujuan. Tidak biasanya sepupunya bertingkah aneh seperti itu. Gilang sedikit melirik jam tangan yang terpasang di pergelangan tangannya, kemudian kembali menatap Fajri sambil menghembuskan napas berat.
"Ritual apaan naik turun tangga tengah malam gini? Mending lo masuk kamar, tidur! Besok lo sekolah, Ji." Ucap Gilang sambil bersandar pada sandaran sofa.
"Bang.."
"Apaan? Duit bulanan lo udah habis? Nanti gue transfer lagi."
"Bukan masalah duit, bang. Umm.. Besok gue ngga masuk sekolah, gapapa kan?" Tanya Fajri yang langsung di hadiahkan jeweran pelan pada telinganya.
"Aduh bang, sakit.."
"Lagian lo ada-ada aja, Ji! Ngapain pakai bolos segala? Senakal-nakalnya gue, gue ngga pernah bolos sekolah. Ya sekarang aja gue bolos terus karena ngga penting di sekolah, udah selesai ujian juga. Lo ngapain bolos, sih? Lo mau apa?"
"Gue.. Gue mau cari Fenly, bang. Gue beneran khawatir sama dia. Lo tahu sendiri itu anak ngga bisa apa-apa sendiri. Dia polos banget. Terus, diluar sana juga banyak yang ancam nyawanya sama bang Shandy. Gue khawatir, bang.. Kalau dia belum makan gimana? Kalau dia sakit? Kalau dia luka? Atau.. Aduh, gue ngga mau bilang."
"Lo bisa diem, ngga? Gue daritadi juga mikirin Shandy. Itu anak setan gapapa, kan? Gue tahu kalau dia kuat. Gue tahu kalau dia jago bela diri. Tapi, dia juga sering lupa kalau lawannya itu seorang mafia yang punya pistol asli, bukan pistol mainan."
"Kita cari mereka bareng yuk, bang.. Gue beneran ngga tenang."
"Besok kita cari mereka. Gue yakin mereka baik-baik aja sekarang."
Menjelang subuh, Fajri dan Gilang sudah tampak rapi. Rasa khawatir mereka terhadap Shandy dan Fenly tidak bisa di bendung lagi. Karena itulah mereka langsung berangkat mencari keberadaan kedua sahabat baik mereka itu.
Gilang yakin sekali, jika Shandy dan Fenly pasti datang ke hutan yang kala itu juga didatangi oleh Gilang dan Shandy. Karena memang hutan itu merupakan rute satu-satunya untuk bisa menuju ke tempat dimana ketua mafia menyimpan harta yang mereka cari.
Shandy berhasil mencapai tengah hutan, dimana terdapat rumah tua yang rasanya sudah cukup rapuh dan bisa runtuh kapan saja. Mungkin sebagian orang akan berpikir, jika harta itu berada di rumah ini, seharusnya mereka akan dengan mudah menemukannya. Sayangnya, tidak semudah itu. Rumah tua itu hanya sebagai tanda. Tetapi, harta mafia itu tersembunyi di sekitar rumah tua.
"Ini tempatnya, kak?" Tanya Fenly sambil mencoba menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Harusnya iya, Fen. Dan sepertinya mereka udah pernah kesini, tapi ngga berhasil mendapatkan apa-apa, karena memang bukan di dalam rumah ini, tapi tersembunyi di tempat lain. Fen tunggu disini, ya! Kak Shandy mau lihat situasi dulu."
"Engga.. Fenly ikut. Kak Shandy ngga bisa jalan dengan baik. Jadi, biar Fen bantu."
"Fen sendiri juga ngga baik-baik aja.. Udah, gapapa. Fen tunggu disini, ya. Kakak cuma sebentar."
Akhirnya, Fenly mengangguk dan membiarkan Shandy berjalan sendiri menuju area rumah tua itu. Fenly memperhatikan Shandy sambil merapatkan jaket milik kakaknya yang ia kenakan. Cukup lama ia memperhatikan Shandy yang hanya berjalan mondar-mandir di halaman rumah tua tadi. Setelah cukup lama, Shandy kembali mendatangi Fenly dengan langkah sedikit tertatih karena luka pada kakinya.
"Gimana, kak?"
"Mereka beneran udah pernah kesini, karena kak Shandy melihat beberapa jejak sepatu. Bahkan, pintu rumahnya kelihatan seperti pernah dibuka paksa. Jadi, kesimpulan yang bisa kak Shandy ambil, mereka udah lebih dulu mengetahui tempat ini. Cuma, apakah harta itu berhasil mereka ambil atau nggak?"
"Jadi, kita harus pastikan, kak?" Tanya Fenly sambil meletakkan lengan Shandy pada bahunya, supaya kakaknya itu dapat menggunakan tubuhnya sebagai tumpuan Shandy berdiri. Shandy yang menyadari hal itu, tersenyum. Kemudian, mengacak rambut Fenly gemas.
"Iya. Kita harus pastikan. Tapi, ngga sekarang.. Kita pastikan nanti kalau udah menjelang petang, supaya keadaan juga lebih aman. Lagipula, kita butuh istirahat untuk pulihkan tenaga, kan? Fen laper? Fen tunggu sini dan cari tempat tersembunyi. Kakak akan lihat sekitar hutan, ada buah atau apapun yang bisa di makan."
"Fen ikut kakak, ya.. Fen takut nunggu."
"Oke. Tapi, hati-hati. Terus, kalau merasa pusing, Fen bilang. Biar kita istirahat dulu." Fenly mengangguk. Kemudian, berjalan beriringan dengan kakaknya dan menjauh dari area rumah tua tadi untuk mencari beberapa buah yang bisa mereka makan.
Mereka tak begitu jauh berjalan, hanya mencari di sekitar hutan yang tak jauh dari rumah tua tadi. Shandy melepas rangkulannya dari Fenly dan menunjuk sebuah pohon rambutan yang tumbuh liar didepan mereka. Shandy meminta Fenly untuk menunggu. Sementara dirinya, yang akan memetik beberapa buah.
Fenly meluruskan kakinya sambil sesekali memperhatikan Shandy yang mencoba meraih buah rambutan yang tak begitu jauh dari jangkauan tangannya. Ia juga menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari buah lain yang bisa mereka makan, hingga matanya menemukan sebuah pohon berry yang berbuah cukup banyak. Fenly membawa kakinya mendekat, kemudian memetik buah berry tadi. Ia mencoba memasukkan dua buah berry ke dalam mulutnya. Rasa berry tersebut sangat manis dan bercampur asam yang cukup menyegarkan.
Shandy yang selesai mengumpulkan buah rambutan yang baru ia petik, memperhatikan apa yang tengah Fenly lakukan. Ia melihat Fenly sedang memetik buah didekatnya. Dengan cepat, Shandy berjalan mendekati Fenly dan meletakkan buah rambutan yang ia petik tadi.
"Kak.. Fen ketemu pohon berry.. Rasanya manis dan asem, bisa untuk temen rambutan." Ucap Fenly sambil tersenyum dan memperhatikan tangannya yang menggenggam beberapa buah berry.
"Fen.." Panggil Shandy pelan, sebab melihat Fenly yang tampak memegang kepalanya dengan salah satu tangannya.
"Kak, pusing.. Mual.. Pusing, kak. Pusing banget.." Lirih Fenly yang langsung menjatuhkan tubuhnya pada pelukan Shandy.
"Fen.. Fenly.. Ya Tuhan, Fen makan berry nya? Berry ini pasti beracun. Fen, kita keluar dari sini, ya. Fen harus bertahan." Ucap Shandy yang berusaha membawa tubuh Fenly ke gendongan nya. Meski sebenarnya, Shandy sangat kesulitan membawa tubuhnya sendiri.
Dengan sekuat tenaga, Shandy berjalan sambil menggendong Fenly. Beberapa kali dirinya nyaris terjatuh karena kakinya yang terasa semakin sakit. Tetapi, saat ini yang ada dalam pikiran Shandy adalah bagaimana caranya membawa Fenly keluar dari hutan dan mendapat pertolongan medis. Ia terus berjalan, hingga menangkap bayangan dua orang yang tampak kebingungan mencari sesuatu.
"Gilang sama Aji datang, Fen.. Kita selamat." Lirih Shandy sambil terus berusaha mendekati Gilang dan Fajri yang jaraknya cukup jauh dari mereka.
Napas Shandy makin terengah-engah. Pandangannya pun mulai kabur. Tetapi, ia terus memaksakan keadaannya dan berjalan menuju Gilang dan Fajri. Dari jauh, mereka menyadari kehadiran Shandy, dan Fenly yang berada di gendongan kakaknya.
Dengan tidak sabar, Fajri menepuk bahu Gilang berkali-kali sambil menunjuk keberadaan Shandy dan Fenly. Mereka langsung berlari menuju kedua saudara itu karena menyadari jika keadaan keduanya jauh dari kata baik. Tiba di hadapan Gilang dan Fajri, Shandy sudah tidak memiliki tenaga lagi. Tubuhnya yang lemas, seketika ambruk. Beruntung Gilang dan Fajri sigap menangkap tubuh keduanya.
Gilang yang merasa khawatir, mencoba membangunkan Shandy. "Nyet! Woi.. Lo kenapa, sih? Lo janji bakalan baik-baik aja, setan."
"Bawa ke rumah sakit aja, bang.. Gue takut." Ucap Fajri yang di jawab anggukan cepat oleh Gilang.
"Lo harus bertahan, Nyet! Awas aja sampai lo mati. Gue ngga akan maafin lo." Kesal Gilang yang kini memapah langkah Shandy untuk keluar dari hutan. Sementara Fajri, langsung membawa Fenly ke gendongan nya. Mereka berjalan dengan hati-hati untuk menuju mobil Gilang yang terparkir tak jauh dari hutan.
Shandy yang sebenarnya masih setengah sadar, sengaja Gilang tempatkan di kursi depan bersama dengan dirinya. Tak lupa, Gilang juga memasang seat belt untuk Shandy, karena takut jika tubuh Shandy yang lemah akan terjatuh. Sementara Fenly, berada di belakang bersama Fajri yang tengah merangkul tubuhnya yang lemah.
"Bang, ayo cepet.. Gue takut.."
"Gue juga takut, Ji. Untuk pertama kalinya ini anak setan berhasil bikin gue panik."
"Fen.. Kamu tahan dulu, ya! Kita ke rumah sakit sekarang. Aku janji, setelah ini pasti bantuin kamu. Aku akan ada kalau kamu butuh. Kamu ngga cuma punya bang Shandy, kamu juga punya aku sama bang Gilang.."
"Tepati janji kamu, kalau kamu akan baik-baik aja. Kamu harus tepati janji kamu, kalau setelah semua ini berakhir, kita akan bertemu di keadaan yang lebih baik.. Jadi, kamu harus bertahan, Fen."
Gilang yang dengan kencang memacu laju mobil miliknya, hampir menabrak pembatas jalan dan pengendara lain.
"Permisi, pak.. Maaf.." Teriak Gilang yang nyaris menabrak tukang sayur. Sesekali, ia melirik Shandy yang duduk di sebelahnya.
"Lo ngga boleh mati sekarang, setan!" Umpat Gilang pada Shandy. Tetapi, dari wajahnya, siapapun akan tahu seberapa takutnya Gilang kehilangan sahabat baiknya itu.
Happy Reading..