❝Gagal di percobaan pertama itu wajar.
Tak masalah gagal dulu, nanti coba lagi.❞
Fenly menatap penampilannya untuk kesekian kalianya didepan cermin kamar Fajri. Ia tersenyum manis sambil memperhatikan seragam yang kini melekat pada tubuhnya. Impiannya sejak dulu untuk menggunakan seragam dan pergi ke sekolah, akhirnya terwujud. Fajri yang baru selesai menata buku miliknya, menggeleng pelan saat melihat Fenly yang terus-menerus berdiri didepan cermin.
"Ayo berangkat! Ngaca terus daritadi. Ngga akan berubah kali, sampai nanti juga masih pakai seragam kalau belum ganti baju."
"Aku beneran boleh ikut masuk ke sekolah?" Tanya Fenly sekali lagi untuk meyakinkan.
"Boleh. Aku udah minta izin sama pihak sekolah. Nanti selama aku belajar di kelas, kamu nunggu di perpus aja. Disana sepi kok, jarang ada anak yang mau nongkrong di perpus. Bel istirahat aku jemput kamu, habis itu kita ke kantin."
"Makasih ya, Ji." Fajri mengangguk. Kemudian, mengajak Fenly untuk segera berangkat atau mereka akan berakhir di toilet karena terlambat. Fajri tidak ingin membuat Fenly merasakan hukuman pada hari pertama untuk mencoba sekolah.
Kedatangan Fajri ke sekolah bersama Fenly, menjadi pusat perhatian siswa di sekolah. Merasa banyak orang yang menatapnya, Fenly meraih tas ransel milik Fajri dan bersembunyi di balik tubuh Fajri. Tatapan bingung Fajri berubah dingin ketika melihat kearah depan, banyak siswa yang memperhatikan kedatangan mereka.
"Lo semua gak punya kerjaan lain, selain liatin orang, ha? Ganggu, tau gak!" Kesal Fajri yang membuat beberapa kerumunan bubar dari tempatnya.
"Aku anter ke perpus dulu, ya. Bentar lagi, bel. Jadi, aku harus ke kelas." Fenly mengangguk pelan. Dan dengan langkah pelan, ia mengikuti Fajri untuk berjalan menuju perpustakaan. Sepanjang jalan, mereka tak lepas dari perhatian siswa. Fenly semakin merasa takut dan mengeratkan genggamannya pada ransel milik Fajri.
"Itu siapa, ya? Anak baru? Kok bisa sama Aji? Saudaranya Aji? Kalau iya, gila sih.. Satu keluarga pada cakep semua."
"Dia masuk kelas mana, ya? Namanya siapa, sih? Beneran cakep banget. Gue kira, pangeran-pangeran cuma ada di negeri dongeng aja. Ternyata, ada lho di dunia nyata."
"Aji kelihatan jagain dia banget. Apa dia adiknya Aji? Eh, tapi kan Aji anak tunggal. Terus itu siapa, ya?"
"Kenapa nunduk, sih? Padahal cakep banget.. Gue pengen lihat mukanya lebih jelas."
Beberapa ucapan siswa yang masih dapat Fenly dengar dengan jelas dan cukup mengusik ketenangannya. Fajri yang melihat Fenly kurang nyaman, memberikan tas ransel miliknya pada Fenly, kemudian melepas jaket yang ia kenakan dan memasangkannya pada tubuh Fenly. Tak lupa, ia menutup kepala Fenly dengan tudung jaket, sehingga wajah Fenly semakin tak terlihat. Setelah itu, Fajri meraih kembali tas ransel miliknya dan langsung menarik Fenly untuk menuju ke perpustakaan.
"Bu.. Nitip saudara saya disini. Jangan biarkan ada orang yang deketin dia sampai saya balik kesini lagi." Ucap Fajri kepada guru penjaga perpustakaan.
"Iya, kamu tenang aja. Biar dia disini.. Sana, kamu ke kelas. Udah bel lho."
"Iya, bu.. Fen, aku ke kelas dulu, ya. Pokoknya, jangan kemana-mana sampai aku kesini lagi." Fenly mengangguk patuh, kemudian berjalan menuju kursi yang terletak di sudut ruangan. Setelah itu, ia meraih beberapa buku yang cukup menarik perhatiannya.
Fenly menyukai perpustakaan ini. Ia bisa memilih beberapa buku selama beberapa jam ke depan. Fajri benar, tidak ada yang mengusiknya selama berada di perpustakaan. Jadi, ia bisa lebih tenang selama menunggu Fajri. Cukup lama Fenly tenggelam dalam buku yang saat ini ia baca, hingga ketukan pelan pada meja berhasil membuatnya mendongak.
"Ayo makan siang!" Fenly tersenyum tipis, kemudian mengikuti Fajri yang melangkah lebih dulu.
Fenly kembali tersenyum lebar ketika memasuki area kantin. Biasanya, ia hanya melihat pemandangan suasana kantin didalam film. Tetapi, sekarang ia berada di kantin. Fajri berhenti sebentar untuk memesan menu makan siang. Setelahnya, langsung mengajak Fenly untuk duduk di meja kantin yang terletak paling ujung. Di meja, sudah ada dua orang yang tampak asik berbincang, entah membicarakan apa.
"Duduk, Fen! Kenalin, yang tinggi itu namanya Fiki. Terus yang satunya lagi, namanya Zweitson. Guys.. Kenalin, ini Fenly." Ucap Fajri memperkenalkan Fenly dengan kedua temannya. Setelah berjabat tangan dengan Zweitson dan Fiki, kini Fenly duduk di dekat Fajri sambil sesekali menunduk.
"Lo sekolah disini juga? Kok ngga pernah lihat? Anak baru? Kenal Aji dimana?" Tanya Fiki yang membuat Fenly bingung harus menjawab apa.
"Ngga usah di jawab kalau emang ngga mau. Lo berdua ngga usah banyak tanya, bisa kan?" Fiki dan Zweitson hanya bisa mencibir ketika mendengar ucapan Fajri.
Tak lama, pesanan mereka sudah datang. Fajri meletakkan seporsi nasi goreng dan segelas es teh manis dihadapan Fenly. Sementara dirinya, memilih menu mie untuk makan siang kali ini. Perhatian kecil Fajri pada Fenly, tak luput dari kedua teman Fajri yang sedari tadi memperhatikan mereka.
Sejauh mereka mengenal Fajri, ini pertama kalinya mereka melihat Fajri seperhatian ini pada orang lain. Sementara itu, kedua orang yang tengah menjadi pusat perhatian, masih sibuk dengan makanannya. Fenly memperhatikan makanan milik Fajri yang langsung dihadiahkan tatapan bingung dari Fajri.
"Ngga pernah lihat orang makan mie instan?" Tanya Fajri sambil terkekeh.
"Lihat orang makan, pernah. Tapi kalau makan, engga.. Papa, mama sama kak Shandy ngga pernah kasih izin buat makan mie instan. Padahal pengen coba."
"Mau coba?" Tawar Fajri yang langsung di jawab anggukan cepat oleh Fenly. Fajri mendekatkan piring miliknya pada Fenly dan membiarkan Fenly mencoba menu yang tadi ia pesan.
"Enak?" Tanya Fajri sekali lagi.
"Mau tuker? Tapi, jangan sering-sering makan mie instan, ya. Aku takut bang Shan marah kalau adiknya kenapa-kenapa.."
Zweitson dan Fiki kembali dibuat heran dan terkejut dengan sikap Fajri. Apa mereka tidak salah dengar? Fajri memanggil Fenly menggunakan kosakata 'kamu', dan bukan 'lo'. Bahkan, Fiki sudah menyemburkan es teh miliknya ketika Fajri mengatakan kata tersebut.
"Lo jorok banget sih, Fik!" Kesal Fajri sambil melempar tisu bekas yang berada dihadapannya pada Fiki.
"Ji.. Lo jujur, deh! Fenly ini siapa lo, sih? Lo ngga pernah seperhatian ini sama orang lain. Terus, tadi apa? Kamu? Ngga salah denger gue?" Tanya Zweitson bertubi-tubi.
"Ceritanya panjang, nanti gue jelasin. Yang jelas, sekarang lo berdua ngga usah banyak omong dan banyak tanya. Berisik!"
"Lo mau coba siomay gue, Fen? Siomay nya mbak Wati itu paling enak di kantin ini. Jadi, lo harus cobain." Ucap Fiki yang berniat baik dan sedikit mendekati Fenly supaya lebih akrab dengan teman barunya itu.
"Fenly alergi kacang, Fik!" Sahut Fajri yang membuat Fiki mengurungkan niatnya untuk memberikan siomay miliknya pada Fenly.
Setelah mereka menghabiskan makan siang, Fajri akhirnya menceritakan bagaimana dirinya bisa mengenal Fenly. Tampaknya, kini kedua temannya mulai paham dan ikut prihatin dengan hidup Fenly. Mereka juga akan berusaha menjadi teman yang baik untuk Fenly.
Bertemu dengan Fajri, Fiki dan Zweitson berhasil membuat Fenly berpikir, jika tak semua orang asing itu jahat. Sifat mereka yang ramah, berhasil membuat Fenly dengan cepat bisa bergaul. Fenly terus bertanya dalam hatinya. "Apakah ini rasanya punya teman?"
☆☆☆
Sementara di tempat lain, Shandy dan Gilang masih berusaha mencari lokasi harta mafia itu disembunyikan. Bermodalkan peta yang sudah mereka cetak dan alat-alat seadanya, mereka mencoba menelusuri hutan yang akan menjadi jalan untuk menuju lokasi harta itu.
Mereka berhenti sejenak dan kembali memeriksa peta, untuk memastikan bahwa mereka telah berada di rute yang tepat.
"Lang, nunduk." Ucap Shandy lirih ketika dirinya mendengar suara langkah kaki yang berjalan tak jauh dari mereka.
"Hah? Kenapa?" Tanya Gilang yang merasa tidak ada apapun yang mengancam mereka. Gilang menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika yang berada di tempat itu hanya mereka berdua.
"Lang, nunduk!" Kali ini Shandy langsung menarik tubuh Gilang karena seseorang telah melepaskan peluru yang hampir saja mencelakai Gilang. Beruntung Shandy cepat menarik Gilang, sehingga peluru itu tepat mengenai pohon yang berada di belakang mereka. Gilang memegang dadanya yang berdegup kencang karena terkejut.
"Lo kenapa gak bilang kalau ada orang.. Gue kaget! Lo liat, nih. Jarak peluru sama kepala gue, gak ada sejengkal." Protes Gilang.
"Gue udah bilang nunduk, setan! Protesnya nanti aja, sekarang kita lari dulu." Jawab Shandy yang langsung menarik lengan Gilang.
Mereka terpaksa kembali ke titik awal rute, karena jika mereka melanjutkan perjalanan, kemungkinan besar mereka tidak akan selamat. Mereka terus berlari sambil sesekali menghindari tembakan dari para mafia yang mengejar mereka.
"Lang.. Lo pulang duluan. Kita lanjutkan cari lokasinya kapan-kapan lagi. Sekarang, keadaannya lagi ngga aman. Lo mending balik ke rumah, dan gue bakal mengelabui mereka buat alihkan perhatian."
"Terus, lo gimana? Gue ngga mungkin ninggalin lo, Shan."
"Gue ngga bakal mati, Lang. Percaya sama gue, mending sekarang lo balik! Gue alihkan perhatian mereka. Waktu mereka kejar gue, lo lari secepatnya buat pulang! Ngerti?"
"Shan, tapi.."
"Percaya sama gue, Lang." Akhirnya Gilang mengangguk, Shandy sengaja memperlihatkan dirinya kepada para mafia yang mengejar mereka.
"Kalian mau ini, kan?" Tanya Shandy sambil memperlihatkan flashdisk yang digenggamnya.
"Ambil kalau bisa." Tantang Shandy. Kemudian, langsung secepat mungkin untuk ia berlari. Tanpa pikir pankang, mereka pun berlari mengajar Shandy. Mereka tak peduli dengan Gilang karena memang sedari awal target mereka adalah keturunan Adhitama dan flashdisk itu.
Merasa memiliki kesempatan, Gilang berlari keluar dari hutan untuk menuju rumah miliknya. Selama perjalanan pulang, Gilang tak henti berdoa untuk keselamatan Shandy. Gilang percaya pada Shandy. Jadi, jika Shandy mengatakan ia tidak akan mati, maka itu yang akan terjadi. Gilang mengetahui Shandy adalah orang yang cerdik, pasti bisa lari dari kejaran para mafia.
Perlahan, Gilang memasuki rumahnya dan langsung di sambut oleh Fajri dan Fenly. Gilang memperhatikan Fenly yang tampak menunggu seseorang datang. Tetapi, setelah lama tak ada yang muncul, Fenly menatap Gilang penuh dengan pertanyaan.
"Kakak? Kok kak Shandy ngga ada? Kakak kemana?" Tanya Fenly dengan nada khawatir.
"Nanti Shandy nyusul.. Dia lagi ada urusan penting katanya." Jawab Gilang berbohong, supaya tidak membuat Fenly khawatir.
Fenly hanya mengangguk paham, kemudian kembali duduk di sofa sambil menunggu kedatangan Shandy. Dalam hati, Gilang mengutuk Shandy jika tidak menepati ucapannya untuk pulang dengan selamat. Fajri duduk di sisi Fenly dan mengusap pelan bahu Fenly, seolah tahu jika saat ini Fenly tengah khawatir dengan keadaan kakaknya.
Hingga lewat tengah malam, Shandy belum juga pulang. Karena hal itu, Fenly masih betah duduk di ruang tamu sambil sesekali memperhatikan pintu masuk, berharap Shandy akan segera muncul dan memeluknya. Tetapi, harapan Fenly belum juga terkabul, karena hingga saat ini Shandy tak kunjung pulang.
"Fen.. Istirahat aja, ya! Nanti kalau bang Shandy pulang, pasti langsung temuin kamu. Udah malem banget, nanti kamu sakit." Ucap Fajri.
"Tapi kak Shandy belum dateng, Ji. Aku khawatir. Aku tunggu sampai kak Shandy pulang aja, ya. Gapapa kalau kamu udah ngantuk, kamu tidur duluan aja."
"Fen.. Kalau kamu sakit, bang Shandy pasti marah sama aku dan bang Gilang. Pasti ngira kalau kita ngga bisa jagain kamu baik-baik. Tidur dulu, ya.. Aku yakin bang Shandy pasti pulang dengan selamat, terus kalau udah pulang, pasti langsung temuin kamu."
Fenly menatap pintu masuk sekali lagi, kemudian mengangguk menyetujui ucapan Fajri. Meski sebenarnya, Fenly yakin ia tak akan bisa tidur jika belum memastikan kakaknya saat ini baik-baik saja. Dengan langkah lemah, Fenly berjalan menuju kamar Fajri dan merebahkan tubuhnya. Fajri yang tadi berjalan dibelakang Fenly, ikut merebahkan tubuhnya dan menatap Fenly sekilas.
"Bang Shandy pasti pulang. Kalaupun ngga pulang, bang Shandy pasti baik-baik aja. Kamu pernah bilang kalau bang Shandy itu orang yang kuat dan pintar. Jadi, ngga mungkin orang-orang jahat itu bisa tangkap bang Shandy."
"Aku takut, Ji. Aku ngga siap untuk kehilangan lagi. Udah cukup aku kehilangan papa dan mama dengan cara yang ngga pernah aku bayangkan sebelumnya. Kak Shandy bantu aku pulih, kak Shandy yang buat aku masih bisa bertahan sampai sejauh ini. Jadi, kalau ngga ada kak Shandy, aku ngga tau mesti gimana.."
"Aku bahkan lebih milih jadi orang yang mati lebih dulu, dibanding aku harus melihat kak Shandy mati di tangan mereka. Aku ngga siap dan ngga akan pernah siap kehilangan kak Shandy. Anggap aja, aku emang ngga bisa hidup kalau ngga ada kak Shandy.." Lanjut Fenly semakin melirihkan suaranya.
"Fen.. Bang Shandy pasti baik-baik aja. Mungkin sekarang lagi jalan pulang. Mending, sekarang kamu tidur. Nanti waktu bangun, aku yakin bang Shandy udah di rumah."
"Humm, iya.."
Fenly pun mencoba memejamkan matanya, meski tidak juga bisa tertidur. Pikirannya terus tertuju pada Shandy yang entah saat ini berada dimana dan bagaimana keadaannya. Fenly hanya bisa berdoa untuk keselamatan Shandy dan berharap kakaknya itu akan segera datang menemuinya.
Happy Reading..