Chereads / RUN AWAY (Jakarta) / Chapter 8 - Luluh

Chapter 8 - Luluh

"Maaf, bukan kamu yang menyebalkan. Hanya saja, aku yang tak paham."

Disini kalian ternyata." Shandy menoleh dengan cepat kearah sumber suara. Setelahnya, ia menghela napas lega saat mengetahui jika orang yang menegur mereka adalah orang yang ia kenal baik.

"Bikin kaget aja lo, Lang! Ngapain lo disini?" Tanya Shandy sambil bangkit dari tempat duduknya.

"Tadi gue lihat lo berdua lari, gue cariin ngga ketemu. Eh, ternyata disini. Mereka yang kejar lo tadi, termasuk bagian dari mafia yang teror keluarga lo?" Tanya Gilang yang di jawab dengan anggukan pelan.

"Lagian, lo berdua bandel banget. Gue bilang tinggal aja di rumah gue! Rumah gue aman, jauh dari pemukiman. Tapi, depan perumahan udah kantor polisi dan asrama tentara. Kurang apa coba? Kalian berdua ikut gue aja, deh!"

"Bahaya kalau kita tetep di rumah lo. Gini deh, untuk sementara ini gue setuju tinggal di rumah lo. Paling ngga, ada tempat aman buat Fenly selama gue cari rumah yang jauh lebih aman dari rumah sebelumnya."

"Gue bakal bantu lo buat cari tempat tinggal yang aman. Sementara, biar Fenly di rumah gue, ada Aji juga kok. Lo tenang aja, meski Aji masih bocah, kemampuan bela diri nya jauh diatas gue. Jadi, dia pasti bisa jaga Fenly. Gimana? Ini juga buat Fenly. Lo ngga kasian lihat dia kecapekan lari, hah?"

"Oke-oke.. Gue terima tawaran lo. Sekali lagi, makasih ya, Lang." Gilang hanya tersenyum sambil mengangguk singkat. Setelahnya, ia meraih ransel Fenly dan membawakannya. Dengan hati-hati, mereka berjalan menuju mobil miliknya yang terparkir tak jauh dari tempat mereka saat ini.

Mereka berhasil tiba di rumah Gilang dengan keadaan selamat, tanpa siapapun yang mengikuti. Gilang kembali mengajak mereka untuk masuk ke dalam rumah yang ternyata sudah ada Fajri di ruang tamu. Pemuda yang masih mengenakan seragam putih abu-abu lengkap itu tampak asik menyaksikan acara pertandingan basket melalui layar televisi sambil memakan roti bakar buatannya.

"Ji, lo hari ini ada acara?" Tanya Gilang to the point.

"Ngga ada. Gue mau di rumah aja seharian. Tadi gue telat, terus kena hukum. Jadi, mager kemana-mana."

"Lo bisa jaga Fen selama gue sama Shandy keluar, kan? Gak sampe tengah malem, gue sama Shandy pasti udah pulang lagi. Bisa kan, Ji? Gue minta tolong banget." Pinta Gilang.

"Emang dia anak kecil apa? Dia lebih tua dari gue juga, kan? Jadi, ngapain mesti dijagain, sih? Kalau mah disini, ya biar disini. Kalau mau keluar, ya biarin. Kenapa repot banget, kayak jaga anak umur lima tahun." Jawab Fajri tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.

Gilang menahan Shandy yang hendak bicara, ia yakin bahwa sahabat baiknya itu ingin pergi dari rumahnya dan mencari tempat lain karena merasa tidak tenang meninggalkan Fenly bersama dengan Fajri yang tampak tidak menyukai adiknya.

"Biar gue yang ngomong, lo tunggu di mobil aja." Pinta Gilang. Awalnya, Shandy ingin menolak. Tetapi, melihat Gilang yang meyakinkan, akhirnya Shandy luluh dan menurut. Shandy mengacak rambut Fenly sebelum ia keluar dan kembali ke mobil. Gilang meminta Fenly untuk duduk bersama dengannya yang kini duduk di dekat Fajri.

"Matiin tv-nya. Gue mau ngomong serius sama lo! Selama lo tinggal di rumah gue, gue ngga pernah sekalipun kasih aturan aneh-aneh ke lo. Gue ngga pernah larang lo lakuin apapun, gue bebasin lo. Gue ngga mau ikut campur hidup lo, gue ngga pernah terima uang yang di kasih orang tua lo buat biaya hidup lo disini, karena orang tua gue mau dan mampu biayain kita berdua. Kali ini aja, gue minta tolong sama lo, ya?"

"Jangan sela gue ngomong, gue belum selesai." Ucap Gilang menghentikan Fajri yang baru saja ingin mengatakan sesuatu padanya.

"Kehidupan Fenly sama kita, beda. Trauma masa lalunya bukan cuma bikin dia takut banyak hal, tapi juga buat dia kesulitan beradaptasi sama lingkungan sosial. Dia di culik waktu kecil yang bikin dia trauma dan harus sering konsultasi. Dia ngga bisa percaya sama banyak orang. Sekarang, setelah mama dan papanya meninggal karena terbunuh, nyawa dia sama Shandy juga jadi incaran mereka. Lo tahu seberapa berat beban yang mereka tanggung, Ji? Mereka lari dari kejaran orang yang berusaha bunuh mereka, dan lo dengan teganya biarin mereka diluar sana?"

"Maaf, bang.. Gue ngga tahu kalau masalah mereka se-kompleks itu.." Jawab Fajri menyesal.

"Sekarang lo paham, kan? Jadi, gue bisa minta tolong ke lo buat jagain Fen?" Fajri mengangguk.

"Ya udah. Gue tinggal, ya.. Fen, kalau ada apa-apa, lo jangan sungkan buat minta tolong sama Aji, ya? Gue tinggal dulu."

Fajri menatap Fenly sekilas. Ternyata, selama ini dirinya sedikit salah paham dengan Fenly. Ia mengulurkan roti bakar buatannya tadi ke Fenly. Tetapi, belum sempat ia menawarkan roti bakarnya, Gilang kembali masuk ke dalam rumah.

"Oh ya, Ji.. Fenly alergi kacang. Jadi, lo harus hati-hati kalau beli makanan atau kasih makanan ke dia.. Kadang, Fenly juga kurang teliti sama makanan yang dia makan." Mendengar itu, Fajri menarik lagi roti bakar dengan selai kacang buatannya.

"Lo tadi ngga ada niat kasih roti bakarnya ke Fenly, kan?" Tanya Gilang.

"Ah.. Engga.. Engga kok, bang." Jawab Fajri kikuk sambil memakan sendiri rotinya. Gilang mengangguk kaku, kemudian kembali berpamitan dan pergi meninggalkan Fenly serta Fajri.

Sepeninggal Gilang, Fajri tersenyum canggung kearah Fenly yang juga dibalas senyum tipis. Baiklah, mungkin sekarang Fajri mengumpat dalam hati karena keadaan yang canggung ini.

☆☆☆

Beberapa menit semenjak Gilang pergi, Fenly tertidur di sofa. Mungkin, kelelahan karena berlari. Sekitar pukul empat sore, Fenly bangun dan memperhatikan sekitarnya. Ia menoleh pada Fajri yang berjalan menuruni anak tangga.

Baju sekolah yang tadi dikenakannya, kini berganti dengan pakaian yang terlihat jauh lebih santai. Fajri berjalan mendekati Fenly dan duduk sambil sesekali memperhatikan Fenly.

"Aku aneh, ya? Daritadi kamu lihatin aku kayak gitu." Ucap Fenly yang langsung membuat Fajri geli ketika mendengar apa yang diucapkannya.

"Bisa pake kosakata lo gue aja ngga, sih? Geli gue dengernya. Lagian, irit banget lo kalau ngomong. Ya gue paham, sih. Lo ngga bisa sosialisasi, tapi lo juga harus tahu kalau semua orang ngga jahat kayak apa yang ada di otak lo. Jadi, jangan diemin semua orang."

"Maaf, ya.. Aku emang ngga terlalu nyaman ngobrol sama orang baru. Jadi, lebih banyak diem. Aku juga baru kenal kamu waktu pertama kali kesini, kan?"

"Sumpah deh, Fen! Pake kosakata lo gue aja, ya! Geli gue dengernya." Protes Fajri.

"Umm.. Aku ngga biasa pake kosakata gitu. Soalnya di runah emang ngga dibiasakan sama papa mama. Katanya, biar sopan aja."

"Lo lebih tua dari gue. Jadi, lo ngga harus sopan sama gue."

"Emang ngga boleh sopan sama yang lebih mudah? Kamu kan tuan rumah disini."

"Sumpah, ngga ada gunanya gue jelasin. Ya udah, lupain.. Lo mau makan apa? Kayaknya bang Shandy sama bang Gilang bakalan pulang malem. Jadi, ngga mungkin lo makan nunggu mereka balik."

"Aku makan apa aja.." Jawab Fenly yang di jawab anggukan kepala oleh Fajri. Ia mengeluarkan ponsel miliknya dan tampak memilih beberapa menu untuk makan malam mereka.

Usai acara makan malam yang terasa begitu sepi karena keduanya merasa belum cocok untuk bicara bersama, mereka memilih untuk duduk sambil menunggu Shandy dan Gilang di ruang tamu, sembari memakan camilan. Sesekali, Fajri memperhatikan Fenly yang tampak sudah mengantuk. Bagaimanapun, ini sudah begitu larut. Tak lama, akhirnya Fenly memejamkan matanya sambil memeluk bantal sofa.

"Kok bisa ada cowok modelan kayak dia. Kalau dia cewek, bakalan lucu banget. Sayangnya, dia cowok. Gemes? Kagak. Jatuhnya yang ada malah geli gue. Hadeh.." Gumam Fajri yang kini memainkan ponsel miliknya.

Sebuah notifikasi pesan dari Gilang berhasil mengalihkan perhatian Fajri. Dari pesan yang di kirimkan Gilang, mereka mungkin tidak bisa pulang sekarang, karena ada beberapa orang yang mengejar mereka. Saat ini, mereka tengah bersembunyi, karena keempat roda mobil mereka yang pecah karena terkena tembakan peluru. Jika seperti ini, Fajri merasa ditarik paksa untuk masuk ke dalam film bergenre action yang sedikit mengancam nyawanya.

Fajri mengetikkan balasan pada Gilang untuk tetap berhati-hati dan pulang saat keadaan sudah mulai aman. Ia juga mengatakan, jika Shandy tidak perlu khawatir karena dirinya pasti akan menjaga Fenly dengan baik. Lagipula, Fenly tidak begitu merepotkan. Sebenarnya, ada atau tidaknya Fenly, tidak banyak perubahan yang Fajri rasakan.

Setelah selesai bertukar pesan dengan sepupunya itu, Fajri mendekati Fenly dan mengajaknya untuk pergi ke kamar karena Gilang dan Shandy tidak akan pulang malam ini, mereka akan pulang saat keadaan sudah aman. Fenly menurut dan langsung berjalan bersama Fajri menuju kamar.

Fenly tersenyum tipis ketika mereka hendak tidur. Fajri meraih penutup mata dan menyalakan lampu kamarnya supaya tetap terang. Sepertinya, Fajri mulai memahami keadaan Fenly.

Tetapi, keberuntungan tidak berpihak pada mereka. Diluar, tampak hujan yang turun dengan derasnya disertai suara petir hingga membuat listrik di perumahan menjadi padam. Fenly yang ketakutan, langsung meremat selimut yang dikenakannya. Sementara Fajri, menyalakan flash pada ponsel miliknya.

"Gue ngga ada lilin, karena emang jarang banget kalo listrik padam kayak gini. Kalaupun padam juga, gue ngga begitu peduli. Jadi, gue ngga pernah beli lilin.. Lo takut, ya?" Tanya Fajri yang tidak mendapatkan jawaban dari Fenly. Karena itu, Fajri menoleh dan memperhatikan raut wajah Fenly yang tampak ketakutan.

"Coba buat tidur aja. Ngga akan ada apa-apa.. Rumah ini aman kok." Ucap Fajri yang mencoba membuat Fenly tenang. Fenly masih saja ketakutan, sepertinya Fajri memahami situasi ini. Bagaimanapun, ini bukan hanya tentang rasa takut, melainkan karena trauma dari masa lalu yang memang sulit untuk Fenly atasi.

"Ji.." Lirih Fenly. Yang merasa dipanggil pun menoleh sekilas, kemudian menghela napas berat. Ia meraih salah satu tangan Fenly untuk di genggamnya.

"Gue bilang, tidur aja. Lo aman sama gue.. Lihat, kan? Gue ada disini dan ngga bakalan kemana-mana." Jawab Fajri lembut. Mendapat perlakuan seperti itu dari Fajri, membuat Fenly lebih tenang dan akhirnya memejamkan matanya.

Seharusnya, Fenly tahu, jika sekali saja Fajri tidak pernah memperlakukan layaknya orang lain seperti yang ia lakukan pada dirinya saat ini.

☆☆☆

Sementara itu, di tengah hutan, Gilang dan Shandy masih mencoba untuk bersembunyi dari orang-orang yang seperinya tidak ada kata lelah untuk mengejar mereka. Mereka bersembunyi di balik bangunan gereja tua yang berada di dekat sekolah mereka. Shandy menarik tubuh Gilang untuk ikut menunduk ketika ada sebuah cahaya yang mengarah pada mereka.

"Lo bawa gue lari seharian ini aja, rasanya pengen nyerah, Shan.. Gimana Fenly coba." Lirih Gilang sambil mencoba melihat situasi.

"Gue tadi kan bilang, lo pulang aja. Gue yang bakal lanjutin cari tempat yang aman buat gue sama Fenly."

"Lo gila, ya! Terus gue mau ngomong apa sama Fenly? Lihat mereka yang kayak gini, pasti itu data penting banget buat mereka.."

"Gue juga mikir gitu. Kita cari cara buat lepas dari mereka, setelah itu kita cari tahu isi flashdisk papa. Sepenting apa data-data itu.."

"Lo yakin?" Tanya Gilang yang di jawab anggukan kepala oleh Shandy. Sepertinya, mereka harus mengetahui lebih dahulu, apa isi dari flashdisk itu. Dan setelahnya, mereka akan lebih terarah dalam bergerak.

"Sekarang lo ada rencana, ngga?" Tanya Shandy pada Gilang yang berada di belakang tubuhnya.

"Ngga ada, kayaknya kita udah ngga ada jalan keluar lagi, Shan.. Kita hadapin aja, ya?"

"Mereka bawa senjata, Nyet! Lo ngga mau mati konyol ditangan mereka, kan? Gini aja, gue bakal alihin perhatian mereka. Nanti waktu mereka kejar gue, lo lari dan keluar dari sini."

"Terus lo gimana, Nyet? Kita pergi bareng, ya pulang mesti bareng." Protes Gilang.

"Percaya sama gue, Lang. Gue juga belum pengen mati hari ini. Gue mana tega ninggalin lo.. Kalau ngga ada gue, siapa coba yang mau repotin lo kayak gini, terus yang bantu habisin duit jajan lo juga. Ngga ada, kan? Kasian gue sama lo.. Jadi, lo nurut aja sama yang gue bilang."

"Ngelawak nya bisa nanti aja, Shandy? Tapi, oke. Gue percaya sama lo. Jadi, jangan sampai lo beneran mati, ya!" Shandy mengangguk dan kini keluar dari persembunyiannya. Kemudian, melambaikan tangannya untuk mencoba menarik perhatian pada kelompok mafia tadi. Setelah perhatian mereka teralihkan, Gilang menuruti Shandy untuk cepat lari dan menyelamatkan diri.

Gilang memperhatikan mobil milik salah satu kelompok mafia yang terparkir tak jauh dari lokasi. Ia mendekati mobil itu, dan ternyata di dalam mobilnya kosong, karena semua penumpang mengejar Shandy dan Gilang. Dengan cepat, Gilang masuk ke dalam mobil, dan beruntungnya tidak terkunci. Mobil itu ditinggal beserta kuncinya.

"Mafia jumlahnya doang yang banyak, tapi otaknya kosong." Celetuk Gilang yang kini mengambil alih mobil tadi dan mengendarainya untuk menyelamatkan Shandy. Gilang menekan klakson beberapa kali untuk membuat mereka menyingkir dari hadapannya.

"Gue udah permisi, ya. Kalau ketabrak, ya salah kalian sendiri." Ucap Gilang tanpa memelankan laju mobilnya. Setelah tiba di dekat Shandy, ia membuka kaca jendela.

"Masuk, Shan!" Teriak Gilang yang langsung dituruti oleh Shandy. Tanpa menunggu lama, setelah Shandy masuk mobil, Gilang memacu kecepatan lajunya dan segera meninggalkan lokasi.

"Whooo.. Selamat!" Ucap Gilang senang. Ia merasa seolah tengah menjadi aktor utama pada film bergenre action.

"Eh, Shan. Itu lo nambah luka baru di lengan lo.. Yang tadi aja belum sembuh."

"Gue lupa kalau mereka punya pistol. Jadi, tadi ngga sengaja lengan gue kena pelatuk pistolnya waktu gue lari." Jawab Shandy sambil tertawa.

"Anak setan! Ya udah, kita ke rumah sakit aja, habis itu kita naik taksi. Ini mobil kita tinggal aja di rumah sakit." Ucap Gilang yang kini lebih santai membawa mobilnya karena melihat keadaan mereka yang sudah aman dari kejaran para mafia tadi. Shandy menyandarkan tubuhnya yang lelah pada sandaran kursi dan menatap jalanan di depan.

"Jangan nekat kayak gitu lagi, Shan. Gue ngga mau lo celaka. Dari awal, gue udah setuju untuk terlibat. Jadi, apapun yang lo alami, gue siap hadapin bareng sama lo."

"Makasih ya, Nyet.. Lo ngga usah pede dulu. Gue nyuruh lo lari tadi karena gue ngga mau repot.. Lo agak nyusahin soalnya." Celetuk Shandy sambil terkekeh.

"Kurang ajar.." Jawab Gilang yang kini ikut tertawa.

Bukankah persahabatan mereka begitu sempurna? Saling melempar umpatan, tetapi juga takut jika saling kehilangan.

Happy Reading..