Hanya ini yang tersisa dariku. Yakni, permata berharga terakhir. Setelah ini, ku yakin tak akan mudah. Tetapi, menyerah juga bukan jalan keluar.
Beberapa minggu setelah keluarga Adhitama kehilangan sang kepala keluarga, kehidupan mereka tampak berjalan normal. Meski, kita tak pernah tahu seperti apa keadaan yang sebenarnya.
Shandy telah kembali ke sekolah dan menyelesaikan ujian kelulusannya. Nyonya Adhitama kembali menjalani rutinitasnya, bekerja menyelesaikan kasus yang membutuhkan bantuannya. Dan Fenly yang menikmati kesepiannya, sambil melanjutkan kegiatan home schooling nya. Teror yang mereka terima, perlahan mulai mereda. Entah karena memang telah usai, atau mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali memulai.
Fenly kembali menutup buku yang ia gunakan untuk belajar, ketika seseorang mendekat kearahnya sambil mengusap pelan rambutnya. Pemuda tampan itu meraih tangan yang masih asik mengusap rambutnya, kemudian mencium sekilas tangan tersebut.
"Mama udah pulang? Gimana persidangan mama? Lancar?" Tany Fenly yang kini memilih bersandar pada bahu sang mama.
"Lancar. Minggu depan sidang terakhir, mama yakin bisa memenangkan kasus itu." Jawab sang mama sambil kembali mengusap rambut Fenly.
"Mama selalu berhasil memenangkan kasus, kan mama hebat."
"Tapi, mama gagal memenangkan kasus papa kamu.."
Fenly sebenarnya mendengar apa yang dikatakan oleh sang mama. Tetapi, ia sendiri tak tahu harus merespon ucapan mamanya seperti apa, kali ini ia memilih untuk diam. Ia sendiri juga tidak mengerti, mengapa penyelidikan kasus papanya tiba-tiba di tutup? Padahal, dalang dari pembunuhan papanya belum ditemukan.
"Fenly udah makan? Mau mama masakin sesuatu?" Tanya sang mama yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kita pesen aja ya, ma. Mama baru pulang kerja, pasti capek. Sebentar lagi, kakak juga pasti pulang. Jadi, kita pesen aja makanannya."
"Ya udah kalau gitu, mama mandi sama ganti baju dulu. Mau Fenly yang pesen makanannya?" Tanya sang mama sambil menyodorkan ponsel miliknya pada Fenly.
"Boleh beli burger?" Tanya Fenly yang dijawab anggukan dengan sedikit kekehan pelan dari sang mama. Fenly memang menyukai burger, tetapi kedua orang tua dan kakaknya sering melarangnya memakan burger. Jangankan burger, mie instan saja ia tak pernah memakannya karena memang dilarang. Jadi, jika ada kesempatan memakan burger, pasti ia memanfaatkan kesempatan tersebut.
Nyonya Adhitama kini meninggalkan Fenly yang tengah sibuk memilih toko burger dan menu yang ingin ia pesan. Tak berselang lama, seseorang membuka pintu utama kediaman Adhitama dan langsung menatap Fenly yang masih sibuk dengan urusan pesan makanan. Dengan gerakan cepat, Shandy berlari menuju Fenly dan merebut ponsel tersebut dari tangan adiknya.
"Beli apa? Burger..? MAMA, FENLY BELI BURGER NIH!!!" Teriak Shandy sambil mencoba melihat apa yang ingin di pesan adiknya.
"Kakak.. Fen udah bilang mama. Kata mama, boleh kok." Kesal Fenly.
"Masa? Ngga percaya.. Ngga ada makan burger, hari ini kita pesan menu sehat aja." Ucap Shandy yang sengaja menjahili adiknya. Padahal, yang Shandy lakukan adalah memesan menu yang tadi ingin dibeli oleh Fenly.
"Kakak.. Fenly mau burger. Jahil banget, sih.. Coba kalau papa masih ada, pasti belain Fenly yang di jahilin sama kakak." Ucap Fenly yang langsung menekuk wajahnya. Sementara Shandy yang awalnya tertawa, kini menyurutkan tawanya dan menatap Fenly datar. Setelahnya, Shandy menghembuskan napas berat.
"Hey.. Kakak cuma bercanda. Nih, pegang hp nya.. Kalau nanti burger nya dateng, ambil ke depan." Ucap Shandy sambil mengembalikan ponsel milik mamanya kepada Fenly, kemudian bangkit dari tempat duduknya dan hendak pergi ke kamar miliknya.
"Maaf, kak.." Lirih Fenly.
"Gapapa.. Udah jangan sedih, kakak ngga marah kok. Tapi, janji ya, jangan bahas tentang papa lagi. Kak Shandy ngga suka. Kakak ngga mau terlalu lama terjebak sama kenangan bareng papa." Fenly mengangguk paham.
"Masih minum obat tidur?" Tanya Shandy yang kini kembali duduk di dekat Fenly.
"Masih.. Kalau ngga minum, Fen pasti mimpi dan ganggu banget. Fen kenapa ya, kak? Fen juga pengen normal kayak orang lain.."
"Fen normal kok, cuma dalam versi yang lain. Semua orang punya definisi normal masing-masing. Dan buat kakak, Fen itu normal. Mau kakak temenin konsultasi lagi? Mana tahu bisa bantu."
Fenly meletakkan ponsel milik sang mama di atas meja, kemudian bersandar pada sandaran sofa sambil memejamkan matanya.
"Fen capek, kak.. Konsultasi juga ngga banyak membantu. Tadi pagi mama juga minta Fenly buat konsultasi lagi.. Nanti kalau mama libur, mama mau temenin katanya." Shandy mengangguk paham, ia juga mengerti seberapa berat menjadi adiknya yang tidak boleh apa-apa dan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, dibandingkan bersosialisasi diluar seperti remaja pada umumnya.
☆☆☆
Pagi ini, Shandy sedikit malas pergi ke sekolah. Setelah ujian selesai, ia merasa jika pergi atau tidak ke sekolah, tidak ada bedanya. Ia sudah menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya dan tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Ia pergi ke sekolah hanya karena masih diwajibkan masuk, meski mereka tak tahu harus melakukan apa di sekolah.
Pihak sekolah mengatakan, jika meski sudah selesai ujian, tetapi masih ada beberapa kegiatan seperti perencanaan upacara kelulusan atau sekedar sosialisasi dari perguruan tinggi yang hendak mencari siswa baru. Bagi sebagian siswa, tentu saja hal ini dimanfaatkan mereka memilih kampus untuk melanjutkan pendidikan. Tetapi, tak jarang sebagian siswa yang tidak tertarik. Entah karena telah memilih kampus incaran atau memang belum ada niat melanjutkan pendidikan.
Kini, Fenly dan nyonya Adhitama pergi untuk konsultasi. Seperti biasa, Fenly diminta untuk menceritakan apa yang sering di alami dan apa yang mengganggu dirinya selama beberapa waktu ini. Respon dari psikolog pun masih sama seperti biasanya. Hanya menjawab singkat, kemudian lebih banyak mendengarkan. Untuk hasil psikolog akan memanggil pendamping dan menjabarkan hasilnya, Fenly tak pernah mengetahui seperti apa hasilnya. Yang jelas, setelah bercerita ia merasa cukup baik dari sebelumnya.
"Mau mampir ke tempat lain dulu?" Tanya sang mama setelah berbincang dengan psikolog anaknya.
"Engga, ma.. Fen mau pulang aja."
"Anak mama sekarang udah besar, ya.. Apa mama melewatkan waktu bareng sama Fen atau kak Shandy?" Tanya sang mama setelah mereka berada di dalam mobil, dan kini tengah menuju rumah.
"Mama yang terbaik.. Mama sama papa itu orang tua paling sempurna di dunia buat Fen. Dan Fenly juga yakin kalau kakak setuju sama Fen."
"Beneran udah dewasa, ya.. Jago banget lho gombal nya anak bungsu mama ini." Fenly tersenyum dan kini meletakkan kepalanya pada bahu sang mama yang tengah mengendalikan setir kemudi.
"Mama akan jadi wanita pertama dan terakhir yang paling Fenly cinta. Fenly sayang mama.."
"Mama juga sayang Fenly."
"MAMA, AWAS!!!" Teriak Fenly saat ada mobil lain yang tiba-tiba melaju menuju mereka dan langsung menghantam badan mobil bagian depan dari mobil yang ditumpangi Fenly dan nyonya Adhitama.
Fenly dan nyonya tak sadarkan diri setelah mengalami benturan yang cukup keras pada bagian kepala. Beberapa orang dari mobil yang menabrak mereka, turun dan langsung membawa tubuh Fenly dan nyonya Adhitama pergi ke tempat yang mereka inginkan. Tak ada saksi mata yang menyaksikan kejadian tersebut, mengingat lokasi kejadian yang cukup sepi akan penduduk.
Byur!
Siraman air pada tubuhnya, membuat dirinya terbangun dan kini dalam posisi berdiri, terikat di sebuah tiang di dalam ruangan asing dengan penerangan yang sangat minim. Ruangan tersebut hanya memiliki satu lampu kecil, yang cahaya nya tak mampu menerangi seluruh area ruangan.
Fenly mengerjapkan matanya beberapa kali, hingga ia bisa melihat sang mama yang saat ini terbaring di lantai dengan keadaan tangan terikat dan tubuh yang terluka. Mungkin karena kecelakaan yang menimpa mereka.
"Sudah bangun, hm..? Ternyata kalian cukup kuat. Saya kira, karena kecelakaan tadi kalian langsung mati, ternyata saya masih diberi kesempatan untuk melihat kalian menderita sedikit lebih lama sebelum kalian saya habisi." Ucap seseorang yang menggunakan topeng dihadapan Fenly dan tampak mendekati nyonya Adhitama.
"Engga.. Jangan sakiti mama.. MAMA, BANGUN.. MAMA!!!" Teriak Fenly sambil berusaha melepas ikatan pada tangannya. Usaha Fenly, di hadiahkan tawa dari beberapa orang yang berada di dalam ruangan tersebut.
Perlahan, terlihat pergerakan ringan dari tubuh nyonya Adhitama. Pria yang menggunakan topeng, kembali tertawa melihat wanita di sebelahnya terbangun. Ia mendekat kearah nyonya Adhitama dan mengusap sebelah wajahnya.
"Jangan.. Jangan sakiti mama. JANGAN SAKITI MAMA!!!" Fenly masih berteriak, mencoba membantu sang mama. Meski hasilnya akan berakhir sia-sia.
"Lepaskan Fenly! Biarkan dia hidup. Kalian boleh melakukan apa saja kepada saya, tapi tolong lepaskan Fenly. Anak kami tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian. Cukup kami, jangan libatkan mereka juga." Tegas nyonya Adhitama.
"Betapa indahnya hubungan ibu dan anak ini, hahaha.. Kamu siapa, berani perintah saya, hem? KAMU BUKAN SIAPA-SIAPA!" Bentak pria itu, sambil menampar wajah nyonya Adhitama dengan keras.
"Mama.. TOLONG JANGAN SAKITI MAMA.. FEN MOHON." Teriak Fenly yang tak tega melihat sang mama diperlakukan seperti itu.
Pria tersebut menyeringai dibalik topengnya. Dengan kasar, ia menarik rambut nyonya Adhitama dan kembali melayangkan beberapa pukulan yang cukup keras. Fenly memekik semakin keras, tangannya yang terikat tampak memerah karena berusaha melepaskan ikatannya, tetapi berujung tak membuahkan hasil. Suara tawa pria itu, semakin menggelegar memenuhi seisi ruangan ketika melihat penderitaan sepasang ibu dan anak di hadapannya.
Fenly mengeraskan teriakannya. Menyerukan nama sang mama dan memohon kepada pria itu supaya melepaskan sang mama dan berhenti menyakitinya. Fenly menangis kuat, ketika ia melihat pria itu merobek paksa pakaian sang mama, dan melecehkan tubuhnya di hadapan Fenly.
"JANGAN!! JANGAN SAKITI MAMA.. MAMA!!!" Fenly terus berteriak hingga tenggorokannya terasa perih. Tetapi, hatinya jauh lebih sakit saat melihat sang mama dilecehkan di hadapannya, oleh pria yang tak tahu itu siapa. Setelah puas, pria tersebut bangkit dan kembali menatap Fenly.
"Ini baru pemanasan, anak nakal. Dan sekarang adalah pertunjukan yang sebenarnya." Ucap pria itu sambil mengeluarkan sebuah pistol dan mengarahkannya tepat pada dada sebelah kiri nyonya Adhitama.
"ENGGA!!! JANGAN.. FEN MOHON, JANGAN! TOLONG JANGAN SAKITI MAMA FENLY, JANGAN BUNUH MAMA.. FEN MOHON.. Fen mohon, jangan.." Ucap Fenly semakin lirih.
"Kamu pikir saya akan menuruti anak nakal seperti kamu, hah? Jangan mimpi." Jawab pria tersebut dan langsung menarik pelatuk pistol yang berada di tangannya.
DORR!!!
"MAMA!! ENGGAA.. MAMAA!!!" Teriak Fenly ketika melihat sang mama yang telah meregang nyawa. Lengkap sudah trauma yang Fenly alami, seolah belum cukup ia mendapatkan teror sejak kecil, hingga menjadi orang pertama yang menemukan jasad sang papa membusuk di dalam koper. Dan sekarang, harus disuguhkan dengan pemandangan pelecehan dan pembunuhan sang mama tepat dihadapannya.
"MAMA.. MAMA BANGUN, MA.. MAMA JANGAN TINGGALIN FEN SAMA KAKAK.."
"Sekarang giliranmu, anak nakal." Ucap pria tadi sambil mengarahkan pistolnya pada Fenly. Tetapi, belum sempat ia membuh, suara sirine mobil polisi telah menyentak mereka dan berhasil menggalkan rencana kejamnya. Dengan gerakan cepat, mereka segera berkemas dan meninggalkan Fenly serta jasad nyonya Adhitama.
Tak lama, polisi masuk ke dalam ruangan dan memeriksa keadaan. Mereka tidak berhasil menangkap tersangka. Namun, mereka menemukan Fenly dan nyonya Adhitama dengan keadaan yang tidak baik. Seseorang menerobos masuk dan langsung menghampiri Fenly.
"Fen.." Panggil pemuda itu yang langsung melepas ikatan pada tangan Fenly. Tubuh Fenly mendadak ambruk sambil menatap jasad sang mama, pemuda itu mengikuti arah pandang Fenly dan kini jantungnya seakan ikut berhenti berdetak.
"Mama.. MAMA!!!" Teriak pemuda itu sambil mencoba membawa Fenly mendekati nyonya Adhitama.
"Mama bangun, ma! Jangan tinggalin Shandy sama Fen. Kalau ngga ada mama, kita sama siapa..? Shan mohon, ma. Bangun! Mama.. MAMA!!!" Isak Shandy.
Shandy menyesal pagi ini pergi ke sekolah. Andai saja ia membolos, mungkin hal ini tak akan terjadi. Sebelum ia mengetahui kejadian ini, ia di hubungi pihak polisi yang mengatakan jika mobil milik sang mama yang tengah membawa nyonya Adhitama dan Fenly telah mengalami kecelakaan. Saat itu juga, tanpa pikir panjang, Shandy pergi ke kantor polisi, karena dirinya di minta untuk segera datang.
Tetapi, setibanya ia di kantor polisi, ia mendapatkan kabar lebih buruk. Yang mengatakan, jika nyonya Adhitama dan Fenly telah dinyatakan hilang dari lokasi kecelakaan. Dan saat ini, pihak kepolisian tengah mencari keberadaan mereka. Shandy bersyukur karena mereka berhasil ditemukan, tetapi ia juga sedih karena mereka ditemukan dalam keadaan yang kurang baik. Bahkan, sang mama yang telah tiada.
"Maafin kakak, Fen.. Kalau aja kakak ngga pergi ke sekolah, semua ini ngga akan terjadi. Maaf Fen, maaf.. Kakak bodoh." Ucap Shandy sambil memeluk Fenl erat.
"Mama, kak.. Mama.. Fenly salah, Fenly bodoh. Fen ngga bisa lindungi mama.. Padahal Fen ini cowok, tapi Fen ngga mampu jaga mama. Maafin Fenly, kak. Maaf.."
"Engga, Fen.. Ini bukan salah Fenly." Shandy semakin mengeratkan pelukannya pada sang adik, dan dibalas tak kalah erat oleh Fenly.
Tuhan, tidakkah cukup penderitaan mereka? Mereka baru saja bangkit dari trauma kehilangan sang papa dengan keadaan yang mengenaskan. Mereka baru saja mencoba lupa dengan kejadian yang menimpa sang papa, dan kini mereka kembali dihadapkan dengan perpisahan yang tak kalah menyakitkan.
Kini, hanya tersisa Fenly. Permata terakhir yang Shandy miliki. Shandy akan menjaga Fenly dan tak akan membiarkan siapapun yang menyakiti adiknya. Meski, setelah ini mereka harus siap berlari dan bersembunyi lebih dalam, tetapi Shandy tak akan menyerah. Ia akan tetap menggenggam tangan sang adik. Permata terakhir yang paling berharga dalam hidup Shandy.
Happy Reading..