Chereads / RUN AWAY (Jakarta) / Chapter 7 - Hari Kedua

Chapter 7 - Hari Kedua

"Hari semakin bertambah. Tetapi, tak ada yang berubah. Kami masih berlari, masih pula bersembunyi."

Gilang menatap pasangan adik kakak tersebut dengan wajah khawatir sekaligus terharu. Keadaan mereka tak bisa dikatakan baik-baik saja, tetapi bukan juga buruk. Shandy masih bisa tersenyum manis padanya, sahabat baiknya itu mendekati Gilang sambil merangkul Fenly. Sementara Gilang, masih mematung memperhatikan penampilan Shandy dan Fenly.

Shandy yang hanya menggunakan kaos kaki polos putih tipis yang di padukan dengan celana jeans panjang. Ia tahu, bahwa jaket miliknya diberikan pada Fenly yang awalnya hanya menggunakan setelan piyama pendek.

"Ya udah, yuk pulang." Ajak Gilang sambil membuka pintu mobil bagian belakang untuk Fenly.

"Lo duduk depan, Nyet! Gue bukan supir lo."

"Lupa.. Cocok lo itu jadi supir pribadi gue." Celetuk Shandy.

"Kurang-kurangin narsis nya, deh! Najis tau ga!" Kesal Gilang yang segera masuk mobil dan diikuti oleh Shandy.

Selama diperjalanan, mereka tak banyak terlibat percakapan. Sebenarnya, Gilang ingin sekali bertanya tentang kejadian malam ini. Tetapi, Shandy telah memberinya peringatan untuk tidak membahas hal inu di depan Fenly. Jadi, Gilang memilih diam dan akan membahasnya ketika mereka tiba di rumah.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya mereka tiba di rumah milik Gilang.

"Gue belum beresin kamar tamu, nanti lo tidur kamar gue aja, Shan. Biar Fenly sama Aji."

"Gue bisa dimana aja, Lang. Lo kasih tumpangan buat malem ini aja, gue udah bersyukur banget."

"Lo kayak sama siapa aja sih, Nyet! Ya udah yuk, masuk. Ga usah sungkan, anggap aja rumah sendiri."

"Lo yang bener aja, Nyet. Kita nginep sini, karena gak mau di rumah kita lagi. Rumah kita udah gak aman. Lo malah nyuruh kita anggap ini rumah sendiri. Apa kita gak kabur?" Jawab Shandy sambil mendorong pelan tubuh Gilang.

"Oh iya, lupa.. Ya udah ngga usah sungkan, anggap aja kalian tamu."

"Sinting." Ledek Shandy yang di sambut kekehan oleh Gilang. Sementara Fenly, hanya diam dan bingung ingin merespon seperti apa.

Kini, dari arah tangga terlihat seorang pemuda yang perlahan menuruni anak tangga dan melangkah mendekati mereka. Gilang langsung saja merangkul pemuda yang masih kebingungan itu.

"Lo belum pernah ketemu sama Fenly kan, Ji? Nah, ini Fenly.. Dia seumuran sama lo kayaknya, atau lebih tua, ya?" Ucap Gilang yang memperkenalkan Fenly pada Fajri.

"Lebih mudah ngga, sih?" Tanya Fajri sambil memperhatikan Fenly. Ia merasa, jika usia Fenly berada dibawahnya. Fenly menatap Fajri sekilas, kemudian menunduk.

"Jangan lihatin adek gue kayak gitu, dia kurang nyaman sama orang asing, Ji! Fenly sedikit spesial, dia kurang bisa sosialisasi sama orang baru. Jadi, gue minta tolong pengertian lo, ya.. Dan yang bener, dia lebih tua dari lo."

"Oh, sorry.. Gue ngga tahu." Fenly mengangguk, tetapi belum berani menatap Fajri secara langsung.

"Fenly malem ini nginep di kamar lo, gapapa kan, Ji?" Ucap Gilang meminta izin pada Fajri. Sekali lagi, Fajri hanya menatap Fenly dan mengangguk.

Basa-basi dan perkenalan singkat itu akhirnya berakhit. Fajri mengajak Fenly untuk pergi ke kamarnya. Tentunya, kamar Fajri jauh berbeda dengan kamar miliknya yang di rumah. Kamar Fajri banyak pajangan poster yang berhubungan dengan basket, entah itu foto tim basket favoritnya hingga beberapa fotonya saat memenangkan pertandingan.

"Lo bisa ngomong, kan? Maksud gue, lo cuma susah sosialisasi aja, kan? Engga bisu?" Tanya Fajri sambil duduk di kursi belajarnya sambil melirik Fenly yang masih diam mematung didepan pintu.

"Orang aneh." Celetuk Fajri setelah tidak mendapatkan jawaban apapun dari Fenly.

"Lo mau berdiri disitu semaleman atau gimana? Gue emang orang asing buat lo, tapi gue bukan monster. Jadi, ga usah takut. Kalau lo ga nyaman, gue juga ngga bakal ajak lo ngomong lagi. Serasa orang sinting gue ngomong sama lo. Bodo amat, deh. Gue mau tidur, terserah lo mau tidur apa mau berdiri disitu sampe pagi." Kesal Fajri yang kini langsung menuju tempat tidurnya dan merebahkan tubuhnya.

Fajri mungkin kesal dengan tingkah Fenly yang terkesan seperti patung. Tetapi yang Fajri tidak ketahui, Fenly tidak terbiasa dengan gaya bicara Fajri. Sulit bagi Fenly beradaptasi dengan hal semacam ini. Perlahan, Fenly duduk di tepi kasur milik Fajri dan ikut merebahkan tubuhnya. Tetapi, demi apapun, Fenly tidak bisa memejamkan matanya. Bahkan, kantuk saja tidak ingin datang.

Baru saja Fenly ingin mencoba tidur, ia melihat Fajri yang bangkit dari tempat tidurnya dan mematikan lampu kamarnya. Sungguh, Fenly tidak suka tidur saat lampu dalam posisi gelap. Hal ini mengingatkan dirinya dengan peristiwa penculikannya waktu kecil, dan penculikan beberapa waktu lalu. Fenly meremat selimut yang saat ini membalut separuh tubuhnya erat.

"Lo takut gelap?" Tanya Fajri yang merasa jika Fenly kurang nyaman setelah ia mematikan lampunya.

"Gue ngga bisa tidur kalau terang.. Lagian, mana ada sih, orang tidur ga matiin lampu? Lo beneran aneh, sumpah. Lo takut apa, sih? Rumah ini aman dari setan, jadi tidur aja. Ngga usah ribet." Fenly hanya diam, tetapi napasnya mulai memburu, bahkan ia sedikit kesulitan bernapas.

"Sakit.. Tolong.. S-sakit," lirih Fenly yang seketika membuat Fajri panik dan langsung menyalakan kembali lampu kamarnya. Kini, Fajri dihadapkan dengan wajah Fenly yang pucat.

"Lo beneran setakut itu? Sorry, gue ngga tahu.. Gue panggil bangshan dulu, ya. Lo jangan kemana-mana." Fajri segera berlari keluar kamar dan langsung memanggil Shandy. Tak menunggu lama, ia tiba kembali bersama Shandy dan Gilang. Dengan sekali gerakan, Shandy membawa Fenly ke dalam pelukannya.

"Baru aja ketemu, lo udah hampir bunuh anak orang, Ji.." Ucap Gilang sambil memeluk Fajri.

"Fen yang salah. Fen ngga kasih tahu kalau beneran takut sama gelap. Fen ngga takut hantu. Fen cuma pernah punya pengalaman ngga menyenangkan sama kegelapan. Maaf, kalau Fen ngerepotin."

Shandy tersenyum sambil mengusap rambut Fenly. Akhirnya, adiknya itu mau berbicara. Setidaknya, dirinya tidak menolak Fajri sebagai teman. Dan Shandy memiliki satu orang lagi, yang bisa ia percaya selain Gilang.

☆☆☆

Sesuai yang Shandy katakan, jika mereka hanya menginap semalam di rumah Gilang. Dan setelahnya, mereka harus pergi. Meski Gilang menahan Shandy dan Fenly, keputusan Shandy untuk menolak tawaran Gilang tetap tak bisa di ganggu gugat. Hal ini karena berkaitan dengan keselamatan Gilang dan Fajri. Sudah terlalu banyak orang yang Shandy sayangi menjadi korban. Jadi, Shandy tidak akan membiarkan ada korban lagi, terlebih ini adalah sahabat baiknya sendiri.

"Setelah ini kita kemana, kak?" Tanya Fenly sambil meletakkan beberapa barang penting ke dalam tas ransel miliknya.

"Kakak juga belum tahu. Yang pasti, kita udah ngga aman bisa disini lagi. Mungkin, kita coba cari kost, hotel, atau guest house di sekitar Jakarta. Kita ngga bisa tinggal di satu tempat terus-menerus, karena cepat atau lambat, mereka pasti temuin kita."

"Umm.. Mereka sebenarnya mau apa sih, Kak?"

"Mereka mau sesuatu yang selama ini dijaga baik-baik sama papa. Selain itu, mereka juga mau balas dendam sama papa yang pernah berhasil bongkar kasus perdagangan manusia, yang dulu pernah mereka lakuin."

"Yang waktu Fen juga hampir jadi korban itu, ya?" Shandy hanya mengangguk dan kini menggendong tas ransel miliknya di punggung, begitu juga dengan Fenly.

"Fen percaya sama kak Shandy, kan? Kalau Fen percaya sama kakak, kedepannya tolong selalu dengar dan lakuin apa yang kak Shandy minta. Semua itu, demi keselamatan Fenly."

"Fen ngerti, kak.. Fen pasti berusaha dan ngga akan nyusahin kak Shandy." Shandy tersenyum, kemudian menarik lengan Fenly dan mengajak adiknya itu untuk bergegas pergi.

Mereka juga terpaksa untuk tidak menggunakan semua kendaraan yang di rumah. Karena hal itu akan cukup berbahaya, mengingat mereka sudah mengetahui kendaraan yang dimiliki oleh keluarga Adhitama. Baru berjalan beberapa langkah dari gerbang utama, Shandy melihat seseorang dengan gerak-gerik sedikit mencurigakan yang berada tak jauh dari mereka.

"Fen, hati-hati!" Ucap Shandy yang melihat orang asing melempar pisau kearah Fenly. Shandy langsung menarik lengan Fenly dan menyembunyikan adiknya itu dibalik tubuhnya. Karena gerakan cepat dari Shandy, Fenly selamat. Tetapi, lengan Shandy terluka akibat sayatan pisau.

"Lari, Fen!" Tegas Shandy sambil menggenggam tangan Fenly dan mengajaknya berlari meninggalkan tempat tadi. Fenly hanya bisa menuruti keinginan Shandy dan mengikuti langkahnya, meski ia tak tahu kemana kakaknya akan mengajaknya berlari.

Tiba di persimpangan, mereka di hadang oleh sebuah mobil. Dengan cepat, Shandy mengajak Fenly untuk untuk putar balik dan kembali berlari, dengan mobil yang terus mengikuti mereka. Sepertinya, mobil itu mencoba membuat mereka celaka.

Shandy langsung berbelok menuju jalan setapak menuju hutan di sekitar perumahan tempat tinggal mereka, supaya mobil tadi tidak bisa mengejar.

"Kak.. Awas!" Ucap Fenly saat melihat beberapa orang asing di depan mereka.

"Sial!" Gerutu Shandy yang kembali berbelok sambil terus berlari dan menggenggam erat tangan Fenly.

"Jangan liat belakang dan terus lari, Fen!"

"Kak, di depan ada jurang."

"Fen percaya sama kak Shandy, kan? Turuti omongan kakak. Lari lebih cepat lagi.."

"Tapi, kak.."

"Percaya sama kakak, Fen!" Fenly menganggukz meski tak mengerti jalan pikir Shandy. Di otak Fenly saag ini hanya tersisa dua pilihan, mati di tangan orang asing yang mengejar mereka atau mati karena jatuh ke jurang.

Fenly semakin tak mengerti dengan jalan pikir Shandy ketika ia yakin beberapa meter lagi tiba di tepian jurang. Dengan gesit, Shandy berbelok tepat beberapa langkah sebelum jurang, dan menarik tubuh Fenly supaya terhindar masuk ke dalam jurang.

Sementara orang-orang yang tadinya mengejar mereka, tidak tahu-menahu tentang jurang tersebut, mereka pun seketika terjatuh begitu saja ke dalam jurang.

"Kak.." Lirih Fenly sambil menatap orang-orang tadi yang masuk ke dalam jurang.

"Mereka ngga akan kenapa-kenapa kok, Fen.. Paling masuk kuburan. Udah ayo pergi dari sini, sebelum yang lain berhasil temuin kita." Fenly mengangguk dan kini berlari entah kemana bersama Shandy. Fenly hanya akan mengikuti kemana Shandy mengajaknya berlari.

Cukup lama mereka berlari, akhirnya keluar dari area hutan dan menuju sebuah gedung yang lama tak terpakai. Shandy mengajak Fenly untuk masuk ke dalam gedung tersebut. Mungkin, untuk hari ini, mereka akan tinggal di tempat itu hingga menemukan tempat lain yang cukup aman.

"Hari ini kita istirahat disini gapapa, kan? Kakak belum berani pakai hotel atau semacamnya, karena mereka pasti dengan mudah akan menemukan kita."

"Gapapa, kak.. Lengan kak Shan luka. Fen obati dulu, ya." Shandy melirik lengannya yang ternyata terdapat luka sayat yang cukup lebar. Ia bahkan tidak merasakan sakit pada lukanya, karena terlalu tegang saat berlari menghindari kelompok mafia yang berusaha menangkap mereka. Fenly mengeluarkan kotak obat dari ransel miliknya dan segera mengobati luka pada lengan Shandy.

"Setelah ini, Fen tunggu disini dan jangan kemana-mana kalau kak Shandy belum balik kesini. Kak Shandy mau cari makanan dulu buat kita."

"Umm.. Jangan lama-lama ya, kak."

"Ngga bakal lama kok. Intinya, Fen inget pesen kakak baik-baik. Kalau ada orang lain selain kakak kesini, langsung sembunyi dan tunggu sampai kakak dateng. Paham?" Fenly kembali mengangguk sambil memasang perban pada lengan Shandy.

Shandy mengacak rambut Fenly sekilas sebelum meninggalkan. Sementara Fenly, mencari tempat yang aman dan lebih tersembunyi, sambil menunggu kedatangan Shandy. Ia memainkan kubik rubik miliknya karena selama mereka dikejar oleh mafia itu, Shandy meminta Fenly untuk mematikan ponsel miliknya.

Cukup lama Fenly bermain dengan kubik rubik miliknya, hingga seseorang menyodorkan burger di hadapannya. Fenly mendongak dan menemukan Shandy sambil tersenyum. Dengan senang, Fenly menerima burger tadi. Shandy duduk di dekat Fenly sambil bersandar pada dinding yang mulai berlumut.

"Makan yang bener, habis itu istirahat. Kita ngga pernah tahu, kapan kita akan mulai lari lagi, kan?" Tutur Shandy sambil sedikit membuma pembungkus burger miliknya. Fenly mengangguk, ia memasukkan kubik rubik miliknya dan langsung fokus pada burger yang akan menjadi menu makanannya kali ini. Belum sempat Shandy dan Fenly menyantap makanannya, suara letupan pistol terdengar tak jauh dari mereka.

"Kak.." Lirih Fenly sambil meraih lengan Shandy. Shandy mengurungkan niatnya untuk makan dan memasukkan burger miliknya ke dalam ransel, kemudian menyembunyikan Fenly di balik tubuhnya. Dari tempatnya saat ini, Shandy melihat beberapa orang tampak membawa pistol dan mendekati tempatnya bersembunyi.

"Fen.. Tunggu instruksi dari kakak! Hitungan ketiga, lari.." Fenly mengangguk setuju sambil menggenggam erat salah satu tangan Shandy.

"Satu.." Shandy meraih batu bata yang berada di dekat kakinya.

"Dua.." Shandy melempar batu bata kearah kirinya, sehingga beberapa orang tadi mengira jika mereka berada disana.

"Tiga.. Lari, Fen! Ucap Shandy sambil menarik Fenly pergi. Sedikit terkejut, tetapi Fenly langsung menyesuaikan langkahnya dengan Shandy yang tengah menggandeng tangannya. Fenly sedikit melirik burger miliknya yang terjatuh dan belum sempat ia gigit sedikitpun.

Para mafia itu berusaha mengejar saat menyadari kepergian Fenly dan Shandy. Melihat hal itu, Fenly tak lagi memikirkan burger yang ingin ia makan dan memilih untuk mengikuti Shandy berlari. Tiba di persimpangan, Shandy menarik Fenly untuk bersembunyi dibalik tong minyak kosong.

Selang beberapa menit, para mafia itu melewati mereka dan terus berlari. Shandy dan Fenly menghembuskan napas lega dan langsung duduk lebih nyaman. Shandy mengeluarkan burger miliknya dan memberikannya pada Fenly.

"Makan.. Jangan sampai sakit." Ucap Shandy sambil mengusap rambut Fenly.

"Kakak, gimana?"

"Gampang, udah makan aja." Titah Shandy setelah Fenly menggigit burgernya, ia menyodorkan burgernya pada Shandy supaya kakaknya juga ikut makan. Shandy tersenyum, kemudian menggigit burgernya. Mereka memilih untuk istirahat sebentar, sambil menghabiskan makanannya.

"Disini kalian ternyata.."

Happy Reading..