"Ini adalah hari pertama bagi kami. Pertama kali kami bertahan, pertama kali kami berlari, dan pertama kalinya kami bersembunyi."
Shandy merangkul bahu Fenly dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk menaburkan bunga di gundukan tanah yang mengubur sang mama. Belum genap dua bulan sang papa pergi, bahkan makam nya masih tampak basah dengan beberapa bunga yang perlahan mengering. Kini, di sisi makam tersebut terdapat makam baru.
Shandy sempat berpikir, apa mungkin setelah ini ia harus memesan nisan untuk dirinya sendiri? Semua pikiran buruk untuk menyerah, terus menghantuinya. Tetapi, jika mengingat kembali, ia masih memiliki janji. Selama nyawanya masih ada, ia tak akan membiarkan siapapun menyakiti Fenly.
"Kita pulang sekarang.. Biarin mama istirahat. Kapan-kapan kita kesini lagi, ya.." Ucap Shandy sambil mengusap sisi wajah adiknya yang tertunduk. Sebenarnya, Shandy sendiri tak tahu nantinya, apakah mereka akan sempat kemari atau tidak. Bukan karena sibuk dengan urusan di rumah, tetapi sibuk mempertahankan hidup mereka.
"Kenapa Tuhan pilih kita ya, kak? Kenapa Tuhan ambil mama sama papa dengan cara kayak gini? Apa setelah ini kita juga bakal bernasib sama? Kalau iya.. Boleh Fenly yang minta duluan? Fenly ngga bisa kalau harus sekali lagi melihat kematian orang yang Fen sayang.."
"Fen ngomong apa, sih? Inget, ya! Selama ada kak Shandy, ngga akan ada yang bisa sakiti Fenly. Kakak janji bakal jaga dan lindungi Fenly. Jadi, jangan pernah punya pikiran kalau Fen bakal berakhir gini juga."
"Fen capek, kak.. Fen takut." Isak Fenly sambil memeluk erat tubuh Shandy.
"Gapapa, takut akan buat Fenly jadi lebih waspada." Ucap Shandy yang kini perlahan membawa tubuh Fenly menjauh dari area pemakaman.
Shandy bukan orang yang pandai menilai, ia juga tidak begitu perasa. Tetapi, sejak tadi ia merasa ada beberapa orang yang mengawasi mereka. Jadi, lebih baik Shandy segera membawa Fenly pulang.
Shandy mengendarai mobil miliknya dengan kecepatan sedang. Sesekali, ia menoleh pada kaca spion yang memperlihatkan bahwa, ada sebuah mobil di belakang mereka yang sepertinya tengah mengikuti mobil Shandy.
"Kak.. Kita udah muter jalan ini tiga kali." Ucap Fenly yang merasa telah berulang kali melewati jalan yang sama.
"Ada mobil yang ikuti kita, Fen. Jadi, ngga aman kalau langsung pulang." Jawab Shandy yang langsung membuat Fenly menoleh ke belakang. Dan benar saja, ada sebuah mobil hitam metalik yang mengikuti mereka.
"Terus gimana, kak?"
"Tenang, ya. Kita ke kantor polisi terdekat, kakak yakin mereka ngga akan punya nyali ikuti kita kesana." Jawab Shandy yang kini langsung memacu kecepatan mobilnya menuju kantor polisi terdekat.
Shandy dan Fenly menghela napasnya lega setelah mereka berhenti di kantor polisi. Mobil yang mengikuti mereka, langsung pergi melewati kantor polisi begitu saja. Shandy menoleh kearah Fenly, kemudian mengusap rambut adiknya dengan lembut. Mendapatkan perlakuan itu, secara tiba-tiba Fenly menoleh kearah Shandy.
"Fen.. Setelah hari ini, kedepannya mungkin akan lebih berat. Mungkin, kita bakal lebih sering lari dan sembunyi, mungkin juga kita bakal lebih sering merasa takut. Tapi, Fen harus percaya sama kak Shandy, kalau sedetikpun kak Shandy ngga akan pernah tinggalin Fen." Ucap Shandy tulus.
"Ummm.. Kita lari sama-sama ya, kak. Fen pasti percaya sama kak Shandy. Sekalipun kedepannya akan lebih capek dan lebih menakutkan, tapi kalau sama kak Shandy, kayaknya gapapa deh."
"Tunggu lima menit, habis itu kita pulang, ya."
Mereka sepertinya telah sama-sama tahu, jika teror ini tidak akan berhenti sebelum seluruh anggota keluarga Adhitama, lenyap. Jadi, mereka jelas tahu, kedepannya hidup mereka tidak akan tenang. Seperti yang dikatakan oleh Shandy, setelah ini mereka akan lebih sering berlari dan bersembunyi.
☆☆☆
Shandy memutuskan untuk tidak masuk sekolah, karena ujian yang telah selesai dan ia merasa tidak ada urusan penting di sekolah. Ia juga tidak tertarik dengan acara kelulusan atau pentas seni dan semacamnya. Shandy lebih memilih berada di rumah untuk menjaga Fenly.
Semenjak kepergian kedua orang tuanya, Shandy dan Fenly memang banyak berubah, mereka menjadi orang yang jauh lebih pendiam dari biasanya. Hubungan mereka masih sangat baik. Tetapi luka yang mereka rasakan, belum mengering sepenuhnya. Mereka masih membutuhkan waktu untuk terbiasa dengan rasa sakitnya.
Sekali lagi, Shandy memukul samsak yang berada dihadapannya, kemudian merebahkan tubuhnya di lantai. Tubuhnya basah oleh keringat, setelah menghabiskan waktu lebih dari satu jam di ruangan ini dengan samsak kesayangannya. Ruangan ini terasa kosong semenjak kepergian sang papa. Dulu, mereka sering melewatkan waktu bersama di tempat ini, tetapi sekarang Shandy sendirian.
"Disini lo ternyata. Tadi, gue udah ketuk pintu, tapi yang bukain malah Fenly.. Gue kira lo kemana." Ucap pemuda yang kini langsung duduk di sebelah Shandy yang masih terbaring.
"Turut berduka ya, Shan. Sorry, kemarin gue ngga temui lo dulu, kemarin gue ada acara. Fajri juga bilang kalau dia turut berdukacita, dia juga ngga bisa dateng karena ada turnamen basket."
"Santai aja, Lang.. Gue gapapa." Jawab Shandy sambil mengubah posisinya menjadi duduk.
"Lo kalau ada apa-apa, bisa bilang ke gue. Kita udah temenan cukup lama, ngga usah sungkan buat minta tolong sama gue. Gimanapun, gue selalu anggap lo itu sebagai abang gue."
"Gue ngga pengen punya adek kayak lo, Nyet. Tapi, makasi tawarannya. Sejauh ini gue masih bisa atasin sendiri kok, Lang.. Kalau nanti ada masalah, gue pasti bilang sama lo."
"Gue nawarin bantuan juga karena gue lihat Fenly ya, Nyet! Anak baik, lucu dan polos kayak dia tuh populasinya harus dipertahankan. Kalau modelan lo itu udah banyak, Shan."
"Emang salah sih, gue terharu sama perhatian monyet lepas kandang kayak lo." Kekeh Shandy sambil melempar sarung tangan tinju yang tadi ia kenakan kepada Gilang.
"Terus, rencana lo setelah ini, apa?" Tanya Gilang.
"Jujur, gue juga bingung. Tapi yang jelas, gue ngga akan mungkin bertahan di rumah ini terus, Lang. Mereka pasti udah tahu letak rumah ini, dan akan bahaya juga buat Fenly. Mungkin secepatnya gue mau cari rumah baru, atau apalah. Yang penting, bisa jadi tempat tinggal baru buat gue sama Fenly."
"Kalian bisa tinggal di rumah gue kok. Toh, gue juga di rumah cuma sama Aji."
"Sekalipun, gue ngga terlalu bersyukur punya temen kayak lo. Gue ngga mau kehilangan temen gue. Dan lo satu-satunya temen gue. Mana mungkin, gue seret lo ke dalam bahaya.. Gue bakal cari tempat lain. Makasih, ya.."
"Sebenarnya gue ngga ada masalah. Tapi, oke, gue hargai keputusan lo. Cuma, kalau lo beneran ngga tahu harus kemana lagi, tawaran gue masih berlaku."
"Makasih ya, Nyet!" Gilang mengangguk sambil menepuk bahu Shandy beberapa kali.
Hari itu akhirnya Gilang menghabiskan waktu di rumah Shandy. Sejujurnya, Gilang ingin menginap. Andai ia tidak teringat dengan sepupunya yang berada di rumah sendirian. Menjelang petang, Gilang berpamitan pulang. Rumah besar kediaman keluarga Adhitama itu kembali sepi, menyisakan Fenly dan Shandy.
"Kita belum belanja bulanan, ya?" Tanya Shandy saat ia membuka pintu kulkas dan memeriksa isinya.
"Iya, kak. Belum."
"Ya udah. Fen tunggu di rumah sebentar gapapa, ya? Kak Shandy beli makan dulu, buat makan malem. Kalau masak kayaknya lama nanti."
"Ummm.. Kak Shandy hati-hati, ya."
"Iya.. Inget, jangan buka pintu kalau bukan orang yang Fen kenal. Siapapun itu, jangan! Paham?" Fenly mengangguk mengerti.
Setelah Shandy pergi, Fenly memilih untuk membaca buku di dalam kamarnya. Saat tengah asik membaca buku, Fenly mendengar suara gaduh dari arah ruang tamu. Ia menutup bukunya, kemudian meraih ponsel miliknya dan turun untuk melihat kegaduhan apa yang terjadi di ruang tamu mereka.
Saat tiba di ruang tamu, ia tak mendapati siapapun. Rumahnya masih dalam keadaan sepi. Tetapi, ia melihat jika pintu rumah mereka terbuka. Fenly sedikit meneliti dan memperhatikan pintu rumahnya, apa handel pintu rumahnya memang rusak sejak tadi, atau bagaimana?
Baru saja Fenly ingin mencapai pintu, suara gaduh yang tadi ia dengar berpindah ke dapur. Dengan cepat, ia menoleh dan menatap pintu masuk ke dapur dengan sedikit waspada. Tangannya masih erat menggenggam ponsel miliknya.
"Kak.. Kakak udah pulang? Kak Shandy.. Kak.." Panggil Fenly.
Dari arah dapur, muncul seorang pria dengan perawakan tegap. Ia menggunakan pakaian serba hitam dan di tangannya membawa sebuah pisau yang mungkin ia ambil dari dapur. Kali ini, pria tersebut tidak menutup wajahnya dengan masker. Jadi, Fenly bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah pria itu.
Dia adalah pria yang pernah menculiknya dan sang mama. Pria itu tersenyum mengerikan kearah Fenly, sambil memainkan pisau di tangannya. Sementara Fenly, gemetar ketakutan.
"Kita bertemu lagi, anak nakal.." Ucap pria itu sambil tersenyum dan sedikit berjalan mendekati Fenly.
Tanpa pikir panjang, Fenly langsung berlari keluar rumah. Pria tersebut dengan sigap mengikuti Fenly berlari. Perumahan tempat tinggalnya, saat malam hari akan terlihat sangat sepi. Hal ini memudahkan pria itu mengejar Fenly tanpa takut banyak orang yang memergokinya. Tetapi, bagi Fenly ini adalah bencana. Fenly mempercepat larinya dan saat tiba di sebuah belokan, ia langsung masuk ke dalam semak-semak untuk bersembunyi. Ia menutup mulutnya saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat.
"Sial! Kemana larinya anak itu?" Kesal pria tersebut.
"Ricky.. Gimana? Lo berhasil bunuh anak Adhitama itu?" Tanya rekannya yang menyusul pria bernama Ricky itu.
"Boro-boro bunuh, kabur tuh anaknya. Lo juga gimana sih, Han? Kan gue udah bilang, jaga pintu depan, kalau dia kabur langsung sikat. Lo malah pergi.. Bego!" Umpat Ricky.
"Tadi bos telepon, makanya gue pergi. Ya udah, coba cari sebelah sana. Kayaknya tuh bocah belum jauh larinya." Fenly melihat kedua pria itu sedikit menjauh dari tempat ia bersembunyi, dengan cepat ia menghubungi Shandy. Tak butuh waktu lama, Shandy menjawab panggilannya.
"Halo, Fen. Kenapa? Lama, ya? Maaf, tapi bentar lagi selesai kok. Ini kakak udah mau pulang."
"Kak.. Tolong, Fen diluar, lagi dikejar sama orang jahat." Bisik Fenly.
"HAH? Diluar mana?" Panik Shandy.
"Fen lagi sembunyi di semak-semak. Fen takut, kak. Mereka bilang kalau bunuh Fenly."
"Fen tenang, ya.. Sekarang pelan-prlan keluar dari tempat sembunyi. Lari ke tempat yang ramai orang. Kakak tahu, Fen takut dan ngga nyaman sama keramaian. Tapi, cuma itu tempat yang aman untuk saat ini. Jangan matiin panggilannya."
"Fen takut, kak.."
"Ayo, Fen.. Fenly bisa kok." Ucap Shandy yang mencoba memberikan adiknya kekuatan. Akhirnya, dengan sedikit keberanian yang ia miliki, ia keluar dari tempat persembunyian.
"Itu bocahnya!" Teriak pria dengan rambut keriting saat melihat Fenly keluar dari tempatnya bersembunyi. Dengan cepat, Fenly berlari menuju depan kompleks perumahan. Setibanya di depan kompleks, ia langsung pergi ke lapangan yang sedang mengadakan bazar dan pasar malam. Ia mencoba membaur dengan segerombolan orang-orang sekitar.
"Sial! Tuh anak pinter juga milih tempat. Kita ngga mungkin ikuti dia ke pasar malam, itu terlalu bahaya buat kita." Ucap Farhan, pria berambut keriting tersebut.
"Ya udah, balik aja dulu. Kapan-kapan kita dateng lagi." Usul Ricky. Mereka segera pergi dari tempat tersebut. Sementara Fenly, kini duduk di kursi sambil menunggu kedatangan Shandy.
Tak lama kemudian, Shandy datang dan langsung memeluk tubuh Fenly. Sekali lagi, Shandy hanya mengatakan kata maaf karena meninggalkan adiknya sendiri begitu saja. Padahal dirinya tahu, keadaan sedang tidak aman. Shandy memperhatikan penampilan Fenly yang cukup berantakan. Adiknya tersebut masih menggunakan setelan piyama pendek berwarna Lilac. Bahkan, kakinya juga lecet karena tidak memakai alas kaki.
"Maafin kakak, ya.."
"Fen takut banget, kak.. Mereka tadi bawa pisau. Mereka bilang kalau mau bunuh Fen.. Fen belum mau mati, kak. Fen takut."
"Ssttt.. Udah, ya! Gapapa, sekarang udah ada kakak." Shandy melepas jaket dan sepatu miliknya untuk memasangkannya pada Fenly.
"Malam ini kita tidur di rumah Gilang dulu, ya. Besok kita pulang buat ambil barang yang penting, habis itu kita pergi dari rumah. Rumah yang kita tinggali, udah ngga aman. Kita pergi gapapa, ya?"
"Gapapa.. Fen udah pernah bilang, kan. Gapapa lari dan sembunyi, mungkin emang lebih capek dari sebelumnya, tapi kalau sama kak Shandy, gapapa. Jadi, jangan tinggalin Fen ya, kak.."
"Iya.. Kakak akan selalu sama Fenly. Ya udah, kita ke pos jaga dulu, ya. Mau minta tolong satpam buat jaga rumah kita." Fenly mengangguk patuh.
Setelah mereka berbincang singkat dengan satpam tentang keadaan mereka, satpam perumahan itu meminta maaf pada Shandy dan Fenly, karena lalai menjaga keamanan perumahan. Shandy hanya merespon dengan senyuman dan anggukan kepala.
Selesai dengan urusan satpam dan rumah, Shandy langsung menghubungi Gilang. Tanpa menunggu lama, Gilang menjawab panggilan darinya.
"Ketahuan banget jomblo nya, gue telepon aja langsung jawab cepet." Ledek Shandy.
"Halah, kayak lo punya pacar aja. Ngapain telepon, gue sibuk."
"Sok sibuk. Eh Nyet, tawaran nginep dari lo itu masih berlaku ngga? Gue tadi kecolongan dan hampir aja kehilangan Fenly. Rumah gue udah ngga aman. Gue sama Fenly boleh numpang semalem di rumah lo, kan?"
"Hah?! Gimana ceritanya? Oke.. Nanti aja bahasnya. Dateng aja, Shan."
"Oke. Gue sama Fen kesana naik taksi, karena ngga aman juga kalau gue bawa mobil atau motor."
"Ngga usah naik taksi. Gue jemput lo berdua, deh! Ini gue udah di dalem mobil. Lo berdua tunggu disitu, jangan kemana-mana." Ucap Gilang yang membuat Shandy tersenyum.
"Makasih ya, Lang.."
Sambungan telepon langsung di tutup oleh Gilang. Shandy mengusap rambut Fenly sambil tersenyum. Sepertinya, Gilang sungguh menepati janjinya untuk menjadi orang pertama yang dapat Shandy andalkan.
Happy Reading..