Pagi itu, Kazuto berdiri di depan gerbang besar yang megah bertuliskan Sekolah Tinggi Ryoku. Bangunan sekolah ini tampak kuno namun kokoh, dengan ukiran-ukiran yang rumit di dindingnya. Di tengah-tengah kompleks, sebuah menara besar menjulang megah, memberikan kesan misterius. Sekolah ini berada di tengah deretan pegunungan, dengan pemandangan alam yang masih terjaga dari dunia luar. Terlebih lagi sekolah ini jauh dari pemukiman warga.
Kazuto menggenggam tasnya erat, merasa gugup sekaligus penasaran. "Apa aku benar-benar cocok di sini?" pikirnya sambil melangkah masuk. Di aula utama, banyak siswa berlalu-lalang. Tidak seperti sekolah biasa, murid di sini tampak unik. Tentu mereka semua sudah berseragam SMK Ryoku yaitu berupa jaket hitam dengan aksen putih, namun beberapa dari mereka me-stylish seragam mereka sendiri.
Tiba-tiba seperti ada suara yang memanggil, Kazuto menoleh dan melihat seorang pria tua berkacamata, mengenakan seragam resmi sekolah. "Selamat datang di Sekolah Tinggi Ryoku. Aku Kepala Sekolah Guro Nakamura."
"Saya Hitsugaya Kazuto, mohon bantuannya!" jawab Kazuto dengan sopan, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
"Hm, Hitsugaya ya... senang bertemu denganmu. Mari ikut aku ke ruang pendaftaran," ucap Nakamura dengan nada tenang namun berwibawa.
Kazuto mengikuti langkah kepala sekolah melewati lorong-lorong panjang yang dipenuhi jendela besar yang memamerkan pemandangan taman sekolah. Setelah beberapa saat, mereka tiba di ruang pendaftaran. Proses berjalan dengan cepat, diwarnai penjelasan singkat tentang peraturan sekolah dan jadwal pelajaran. Begitu selesai, Nakamura tersenyum dan berkata, "Sekarang, mari aku antar kau ke kelasmu."
Dengan hati yang berdebar, Kazuto berjalan menyusuri koridor menuju ruang kelasnya. "Kelas 1-R," tertulis di pintu kayu dengan ukiran rapi. Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanian, lalu membuka pintu perlahan. Suara langkahnya terhenti, dan seketika semua mata di dalam ruangan tertuju padanya.
"Selamat datang, murid baru," sebuah suara familiar menyambut. Kazuto menoleh, dan matanya melebar saat melihat siapa yang berdiri di depan kelas. Toshiro, mengenakan seragam guru dengan sedikit gaya kasual yang mencirikan dirinya, menatap Kazuto dengan senyuman khasnya.
"Sensei?!" Kazuto hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Toshiro tersenyum lebar, "Tentu saja, siapa lagi yang cocok untuk melatihmu? Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Jadi, jangan berharap aku akan baik padamu ya!"
Kazuto hanya bisa menghela napas. "Ini mimpi buruk!" gumamnya pelan, meski dalam hati ia merasa sedikit lega karena kehadiran seseorang yang ia kenal.
Kazuto kemudian menuju ke kelasnya dengan gugup, dia melihat keadaan sekitar ruangan dan mencoba menangkap ekspresi dari para murid. Beberapa tampak tertarik, sementara yang lain acuh tak acuh. Di antara semua wajah itu, satu orang menarik perhatiannya: Hosigaki Shinji, seorang pemuda dengan rambut biru gelap berantakan dan tatapan dingin yang menusuk. Ketika mata mereka bertemu, Shinji hanya mengangguk singkat tanpa banyak ekspresi.
Kazuto kembali ke tempat duduknya dengan perasaan campur aduk. "Dia sepertinya sulit didekati," pikir Kazuto.
Di sisi lain, seorang gadis dengan rambut panjang kecokelatan, Shinomiya Hisana, tampak lebih ramah. Saat pandangan mereka bertemu, Hisana tersenyum hangat. Ada sesuatu dalam senyumnya yang membuat Kazuto merasa canggung, namun ia tidak bisa mengalihkan pandangannya.
"Aku Shinomiya Hisana, senang bertemu denganmu, Kazuto," katanya ceria.
Kazuto mengangguk dengan gugup, "Ah, ya... senang bertemu juga," balasnya, mencoba menyembunyikan rasa malunya. Atmosfer di kelas perlahan mulai terasa lebih hangat baginya, meski ia tahu perjalanan barunya baru saja dimulai.
Setelah itu Kazuto berjalan menuju ke luar kelas.
Kazuto berdiri di serambi, pandangannya mengarah ke halaman sekolah yang luas. Angin pagi yang sejuk menerpa wajahnya, tapi pikirannya melayang jauh, mencoba memahami semua hal baru yang ditemuinya hari ini.
Tiba-tiba, ada seseorang menepuk bahunya dari belakang..
"Hei! Kau pasti Kazuto, kan?"
Kazuto menoleh dan mendapati seorang remaja berambut pirang berdiri di belakangnya. Postur tubuhnya tinggi, dan senyum lebarnya memancarkan rasa percaya diri yang sulit diabaikan.
"Aku Fubuki Izumi," katanya sambil menyilangkan tangan di dada. "Jangan bilang kau berdiri di sini cuma buat melamun."
Kazuto menghela napas pelan, sedikit terganggu tetapi berusaha tetap sopan. "Aku hanya ingin menenangkan pikiran. Tempat ini agak... berbeda."
Izumi menyeringai kecil, lalu menyandarkan punggungnya ke dinding serambi. "Ya, aku tahu. Awalnya memang terasa aneh, tapi nanti kau akan terbiasa. Lagipula, kita semua di sini berasal dari tempat yang sama, kan?"
Kazuto mengerutkan kening, sedikit bingung. "Tempat yang sama?"
"Celestial, tentunya," kata Izumi sambil mengangkat bahu santai. "Sekolah ini dibuat khusus untuk kita yang berasal dari sana. Jadi, aku penasaran..."
Ia mencondongkan tubuh sedikit ke arah Kazuto, nada suaranya berubah serius tetapi tetap santai. "Dari klan mana kau berasal?"
Kazuto terdiam sesaat, menimbang-nimbang jawabannya. "Hitsugaya" ujarnya.
Izumi mengangguk pelan, ekspresinya berubah sejenak menjadi lebih serius. "Hitsugaya, ya? Sepertinya aku pernah mendengar nama klan itu."
Kazuto tidak merespons, hanya menatap Izumi dengan tatapan datar.
Izumi kemudian tersenyum lagi, nada suaranya kembali ceria. "Yah, jangan terlalu tegang, Kazuto. Kalau kau butuh bantuan, cari saja aku."
Sambil melambai santai, Izumi berjalan pergi, meninggalkan Kazuto yang masih berdiri di tempat, merenungkan apa yang baru saja dibicarakan.
Hari pertama berjalan cukup tenang. Setelah perkenalan, Toshiro mulai menjelaskan tentang sistem sekolah ini. Setiap kelas hanya terdiri dari satu angkatan kecil karena dunia Ryoku membutuhkan kualitas, bukan kuantitas. Untuk itu, setiap siswa harus bekerja dalam tim kecil yang terdiri dari tiga orang.
"Kalian akan dilatih sebagai tim mulai hari ini," kata Toshiro sambil memandang seluruh kelas. "Tim akan membantu kalian belajar bekerja sama dan menghadapi Serei. Tidak ada ruang untuk ego di sini."
Kazuto, Shinji, dan Hisana akhirnya ditetapkan sebagai satu tim. Meskipun awalnya Kazuto merasa canggung, terutama dengan Shinji yang pendiam, ia bertekad untuk menjalani kehidupan barunya ini sebaik mungkin.
Di malam hari, saat ia kembali ke asramanya, Kazuto memandang langit dari jendela kamar. "Tempat ini… jauh berbeda dari apa yang pernah aku bayangkan. Tapi aku ingin tahu lebih banyak," bisiknya, memandang bulan yang bersinar terang.
Tak lama, terdengar suara ketukan di pintu kamar Kazuto.
"Siapa? Masuk saja," ujar Kazuto sambil menoleh ke arah pintu.
Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang gadis dengan rambut coklat panjang yang membawa nampan kecil. "Ini aku, Hisana," katanya dengan suara lembut. "Aku membawakan beberapa makanan untukmu. Tadi aku bawa banyak, dan ini sisa yang masih ada. Aku pikir mungkin kau mau."
Kazuto tersenyum kecil dan menerima nampan itu. "Oh, terima kasih. Kau yakin tidak butuh ini?"
Hisana menggeleng dengan senyum ringan. "Aku sudah kenyang. Lagipula, kau pasti butuh tenaga setelah hari yang melelahkan."
"Terima kasih, Hisana. Aku sangat menghargainya."
"Sama-sama. Kalau begitu, aku pamit. Selamat malam, Kazuto."
"Selamat malam."
Setelah Hisana pergi, Kazuto menutup pintu dan meletakkan nampan di meja kecil di dekat tempat tidurnya. Ia duduk di kursi, menghela napas panjang. Perjalanan panjangnya di SMK Ryoku baru saja dimulai, dan hari ini sudah terasa begitu berat.
Selama bersekolah di SMK Ryoku Kazuto tinggal di asrama sama seperti murid-murid lain, Kazuto kemudian teringat akan ibunya.
Setelah beberapa saat, Kazuto mengambil ponselnya dan menghubungi ibunya.
"Halo, Ibu? Ini aku."
Suara ibunya terdengar lembut, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. "Kazuto? Bagaimana harimu? Apakah semuanya baik-baik saja di sekolah barumu?"
"Semua baik, Bu. Aku sedang beradaptasi, aku akan terbiasa. Bagaimana dengan Ibu? Apa Paman Usaku sudah sampai?"
Ibunya tertawa kecil. "Dia sudah di sini sejak pagi. Kau tahu dia, selalu tepat waktu. Sekarang dia sedang di dapur, memasak makan malam."
Kazuto tersenyum mendengar itu. "Baguslah. Kalau ada apa-apa, Ibu jangan ragu untuk bilang ke Paman, ya. Aku tahu selama ini Ibu selalu mengurus semuanya sendiri, tapi sekarang biarkan dia membantu."
"Ibu tahu, Nak. Jangan khawatirkan Ibu. Fokuslah pada sekolahmu. Itu lebih penting sekarang."
Kazuto terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara pelan, "Aku tetap khawatir. Tapi aku lega karena Paman Usaku ada di sana."
"Dia juga senang bisa membantu, Kazuto. Jangan terlalu memikirkan kami di sini. Kami baik-baik saja."
Kazuto mengangguk meskipun tahu ibunya tak bisa melihatnya. "Baiklah. Aku hanya ingin memastikan. Kalau begitu, aku akan belajar dulu. Selamat malam, Bu."
"Selamat malam, Nak. Jaga dirimu di sana."
Setelah telepon berakhir, Kazuto meletakkan ponselnya di meja dan menghela napas. Ia kembali menatap roti yang diberikan oleh Hisana tadi, lalu mulai memakannya perlahan. Dunia baru ini memang penuh dengan tantangan, tetapi Kazuto merasa sedikit lebih tenang setelah mengetahui ibunya baik-baik saja.
Informasi telah terungkap:
"Alasan mengapa Sekolah Tinggi Ryoku tidak dapat dilihat manusia biasa karena bangunan ini tertutup oleh Border tak kasat mata yang disebut Shin'en"