Chereads / Streamer Secret / Chapter 18 - Bab 18

Chapter 18 - Bab 18

Beberapa bulan kemudian, Andi menerima surat pemberitahuan tentang tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang harus dilaksanakannya. Lokasi yang ditentukan adalah sebuah desa terpencil di pedalaman, jauh dari peradaban modern. Desa itu memiliki kondisi yang sangat terbelakang—tidak ada listrik, tidak ada sinyal, bahkan penduduknya belum mengenal peralatan elektronik sama sekali.

Saat tiba di desa tersebut, Andi terkejut melihat kehidupan penduduk yang sangat sederhana. Para wanita mengenakan pakaian dari kulit binatang yang hanya cukup untuk menutupi bagian intim mereka, sementara para pria bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek dari bahan serupa. Desa ini benar-benar terasa seperti melangkah ke masa lalu.

"Kok tempat kayak gini masih ada, ya?" gumam Andi sambil mengamati sekeliling.

Kehidupan di desa itu benar-benar berbeda dari apa yang pernah Andi alami. Tidak ada lampu listrik, hanya obor dan lilin yang menerangi malam. Anak-anak bermain dengan mainan buatan tangan dari kayu, sementara para wanita sibuk menenun kain dari serat alami. Para pria berburu dan menangkap ikan sebagai sumber makanan utama.

Tugas utama Andi dan teman-temannya dalam program KKN ini adalah membantu mengajarkan hal-hal dasar, seperti membaca, menulis, serta memberikan pemahaman tentang kebersihan dan kesehatan. Namun, tantangan terbesar adalah komunikasi, karena penduduk desa menggunakan bahasa daerah yang hampir tidak dimengerti oleh Andi.

Hari pertama KKN berlalu dengan berbagai kesulitan, namun Andi tetap mencoba menyesuaikan diri. Di sisi lain, ada sesuatu yang menarik perhatian Andi—gadis-gadis desa yang wajahnya cantik alami, meski hidup dalam kesederhanaan. Salah satu dari mereka, seorang gadis bernama Laksmi, tampak sering mencuri pandang ke arah Andi.

Satu minggu berada di desa terpencil itu, Andi mulai merasakan betapa sulitnya hidup tanpa akses internet. Sebagai seseorang yang terbiasa dengan teknologi, kehilangan koneksi membuatnya merasa terisolasi.

"Astaga, gimana gue bisa bertahan di sini tiga bulan tanpa sinyal," keluh Andi sambil menatap layar ponselnya yang terus-menerus menampilkan tanda no signal.

Belum lagi suasana malam hari yang benar-benar berbeda dari kota. Ketika malam tiba, desa itu berubah menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya obor dan lilin. Suara hewan malam, seperti burung hantu dan serangga, terdengar nyaring di antara keheningan. Hal ini membuat Andi merasa was-was setiap kali mendengar suara ranting patah atau dedaunan yang bergemerisik.

"Kok kayak film horor, sih?" gumamnya sambil memeriksa pintu kamar untuk memastikan terkunci.

Teman-temannya yang lain tampak mulai terbiasa dengan kehidupan di desa, tetapi Andi merasa sulit untuk beradaptasi. Dia merindukan rutinitasnya di kota—bermain game, streaming, dan interaksi di dunia maya. Di desa ini, hiburannya hanya obrolan dengan penduduk setempat, pekerjaan KKN, dan langit malam yang penuh bintang.

Namun, di tengah keluhannya, Andi mulai memperhatikan sesuatu yang menarik. Penduduk desa memiliki kehidupan yang sederhana tetapi penuh kebersamaan.

Pagi itu, Andi menggigil saat air sungai yang dingin menyentuh kulitnya. Dengan malas, dia mencuci muka sambil mengeluh dalam hati, "Kenapa gak ada air hangat di sini, sih?"

Namun, keluhannya mendadak hilang ketika matanya menangkap pemandangan yang membuatnya tertegun. Di seberang sungai, beberapa wanita desa sedang mandi. Mereka tertawa riang, mengenakan kain sederhana yang basah, sehingga membentuk lekuk tubuh mereka. Rambut mereka yang panjang dibiarkan terurai, beberapa bahkan terlihat memeras air dari kain yang mereka kenakan.

"Gila… pemandangan kayak gini gak bakal gue dapet di kota," gumam Andi sambil berusaha tidak terlalu mencolok.

Dia memperhatikan salah satu wanita yang tampaknya paling mencuri perhatian. Wajahnya manis dengan kulit sawo matang yang eksotis, dan tubuhnya terlihat proporsional meski tersembunyi di balik kain basah. Andi segera mengenali gadis itu—Laksmi, yang sering mencuri pandang ke arahnya di malam hari.

Namun, Andi buru-buru menundukkan kepala saat Laksmi tiba-tiba melirik ke arahnya dan tersenyum tipis. Apakah dia sadar kalau gue memperhatikannya? pikir Andi dengan panik, tapi juga sedikit senang.

Beberapa hari berikutnya, kepala desa meminta Andi untuk mengajari penduduk desa belajar baca tulis.

Kepala desa pun meminta Andi untuk tinggal di salah satu rumah penduduknya.

Penduduk desa itu memperkenalkan dirinya Bernama Dian seorang wanita berumur 19 tahun. Dan suaminya bernama Jaki,dia berumur 22 tahun.

Tentu saja pernikahan di usia muda di dalam desa ini adalah hal yang wajar, bahkan pada usia 15 tahun,mereka sudah menikah.

Andi menerima tugas itu dengan senyuman, meski di dalam hati ia merasa sedikit terbebani. Tinggal bersama keluarga muda seperti Dian dan Jaki adalah pengalaman baru baginya. Dian menyambut Andi dengan ramah, memperlihatkan senyuman tulus yang membuat suasana terasa hangat. Dia mengenakan pakaian tradisional sederhana, sementara Jaki hanya memberikan anggukan sopan sebelum kembali ke aktivitasnya di ladang.

"Silakan, Mas Andi. Memang rumah kami sederhana, tapi saya akan pastikan Mas merasa nyaman," ucap Dian lembut.

Andi mengangguk sambil meletakkan ranselnya. "Terima kasih, Dian. Rumah ini terasa hangat dan nyaman."

Malam pertama di rumah itu terasa sedikit canggung. Dian selalu memastikan semua kebutuhan Andi terpenuhi, sementara Jaki hampir tidak terlihat karena sibuk bekerja di ladang hingga larut malam. Andi mulai memperhatikan bahwa Dian sering terlihat sendirian.

"Jaki sering pulang malam, ya?" tanya Andi suatu malam.

Dian tersenyum kecil, tapi ada nada sendu di baliknya. "Iya, Mas. Dia sibuk mencari rezeki. Kadang saya merasa seperti tidak memiliki teman di rumah."

Percakapan itu membuat Andi memahami sedikit kehidupan pernikahan di desa itu. Dian tampak sangat bersemangat belajar membaca dan menulis. Bahkan, ia sering menjadi murid yang paling antusias di antara warga lainnya. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Dian yang tidak bisa diabaikan oleh Andi—seolah ada rasa penasaran yang lebih dari sekadar pelajaran.

Malam itu, saat Andi sedang bersiap tidur, Dian mengetuk pintu kamar. "Mas, maaf kalau mengganggu," katanya dengan nada ragu.

Andi membuka pintu, sedikit terkejut. "Ada apa, Dian?"

Dian menunduk, meremas kain yang dikenakannya. "Saya cuma mau bertanya... apakah di kota, wanita seusia saya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik seperti ini?"

Pertanyaan itu membuka percakapan panjang. Dian mendengarkan cerita Andi dengan penuh perhatian, matanya berbinar saat Andi menceritakan tentang kehidupan modern di kota. Namun, tatapan itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang sulit dijelaskan—sebuah keinginan yang terpendam.

Setelah pembicaraan selesai, Dian berdiri di depan pintu kamar Andi, masih terlihat ragu. "Terima kasih, Mas. Kalau Jaki pulang larut malam lagi, bolehkah saya sesekali berbicara dengan Mas? Rasanya menyenangkan bisa mendengar cerita seperti tadi."

Andi terdiam sesaat, lalu mengangguk. "Tentu saja, Dian. Kapan pun kamu butuh teman bicara."

Namun, dalam hati Andi, ia mulai merasa bahwa situasi ini bisa menjadi rumit. Dian bukan hanya seorang murid yang antusias—ada sesuatu dalam dirinya yang menuntut perhatian lebih.

Perjalanan Andi di desa itu berjalan dengan lancar. Dian semakin sering berkunjung ke kamarnya pada malam hari, memanfaatkan waktu ketika semua pria di desa, termasuk suaminya, sibuk berburu di hutan. Percakapan mereka semakin mendalam, membahas kehidupan di desa, mimpi Dian yang terpendam, dan dunia luar yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Namun, perhatian Andi mulai teralihkan pada sesuatu yang tak dapat ia hindari. Pakaian penduduk desa, termasuk Dian, sangat sederhana—hanya berupa celana dalam dan bra yang longgar, membuat tubuh mereka terlihat jelas tanpa banyak yang disembunyikan. Andi berusaha menjaga pandangannya tetap sopan, tetapi sulit baginya untuk mengabaikan detail itu, terutama saat Dian berbicara dengannya dengan santai seolah tidak ada yang aneh.

Suatu malam, Dian datang ke kamar Andi seperti biasa. Kali ini ia membawa buah-buahan sebagai camilan untuk menemani obrolan mereka. Dian duduk di lantai, dekat dengan tempat tidur Andi, sambil memakan buah dengan tenang.

"Mas Andi," ucapnya pelan, matanya menatap Andi dengan rasa ingin tahu yang mendalam, "di kota, apa semua orang berpakaian seperti yang Mas ceritakan?"

Andi tersenyum tipis, berusaha menjelaskan dengan hati-hati. "Iya, Dian. Orang-orang di kota biasanya memakai pakaian yang lebih tertutup. Tapi di sini, kalian punya tradisi sendiri, dan itu tidak kalah menarik."

Dian tertawa kecil, nada suaranya sedikit menggoda. "Mas nggak risih lihat kami seperti ini?" tanyanya polos, tapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya yang membuat Andi bingung bagaimana harus menjawab.

Andi menelan ludah, mencoba terlihat tenang. "Rasanya... agak berbeda. Tapi, aku menghormati budaya di sini."

Dian mengangguk, lalu mendekat sedikit. "Mas tahu nggak? Saya suka cerita Mas tentang kota. Rasanya saya ingin melihat dunia luar, lepas dari desa ini. Tapi... saya takut."

"Takut apa?" tanya Andi, penasaran.

"Takut meninggalkan semuanya, termasuk suami saya," jawabnya lirih, menunduk. "Tapi kadang, saya merasa ada yang hilang dalam hidup saya. Mas pernah merasa seperti itu?"

Andi terdiam, merasakan ketegangan yang mulai muncul di antara mereka. Dian berada begitu dekat, dan suasana malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Apakah ini hanya percakapan biasa, atau ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang Dian coba sampaikan?