Chereads / Streamer Secret / Chapter 14 - Bab 14

Chapter 14 - Bab 14

Setelah Andi kembali ke rumahnya, ia tidak menemukan Tiara di sana. Hanya sepucuk surat yang tergeletak di atas meja.

"Andi, maaf. Aku harus kembali ke rumah orang tuaku. Mereka memintaku untuk mengurus beberapa hal.

Oh, ya, aku juga meninggalkan uang hasil streaming kita kemarin.

Terima kasih, Andi, untuk semua waktu yang telah kita habiskan bersama. Aku mencintaimu."

Andi memandangi surat itu cukup lama, tangannya menggenggam erat kertas tersebut. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya—antara lega, rindu, dan sedikit kesepian. Tiara, wanita yang selama ini menjadi teman sekaligus pelarian di tengah kehidupannya yang penuh ambisi dan hasrat, kini sementara pergi meninggalkannya.

Ia melirik amplop tebal yang tergeletak di meja, jelas berisi uang dari hasil streaming bersama Tiara. "Setidaknya dia nggak lupa bagi hasil," pikir Andi dengan senyum kecil, mencoba mengalihkan rasa sepinya.

Namun, hatinya tak bisa sepenuhnya tenang. Ia tahu Tiara mungkin hanya pergi untuk sementara, tapi ada sesuatu dalam surat itu yang terasa lebih dari sekadar kepergian biasa. "Apa dia akan benar-benar balik?" gumamnya, matanya kembali menyusuri setiap kata di surat itu.

Andi kemudian meraih ponselnya, membuka aplikasi tempat mereka biasa streaming. Akun mereka masih aktif, statistiknya menunjukkan peningkatan tajam sejak terakhir kali mereka tampil bersama. Komentar-komentar di live chat terakhirnya penuh dengan pujian, permintaan untuk streaming lebih sering, dan beberapa pesan pribadi yang cukup vulgar.

Ia menghela napas panjang, meletakkan ponselnya kembali ke meja. "Gue nggak bisa terus-terusan begini," ucapnya pelan, meskipun ia tahu dirinya belum siap meninggalkan semua ini. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan, terlalu banyak kenikmatan dan keuntungan yang ia nikmati dari kehidupannya sekarang.

Andi berjalan ke kamar, merebahkan tubuhnya di ranjang. Bayangan Tiara dan malam-malam panas mereka bersama masih segar di ingatannya. Tapi kini, tanpa kehadirannya, ia mulai merasa ada kekosongan yang tidak bisa diisi dengan uang atau kenikmatan fisik.

"Mungkin gue harus cari partner baru buat streaming," pikirnya sambil memejamkan mata. Tapi di dalam hatinya, ia tahu, Tiara bukan hanya sekadar partner biasa. Ada sesuatu tentangnya yang tidak bisa begitu saja digantikan.

Untuk beberapa saat, Andi terdiam. Hatinya terasa hampa, sedih karena ditinggalkan Tiara begitu saja. Seolah belum cukup, akun live streaming yang selama ini menjadi sumber penghasilannya juga telah diblokir.

Merasa kehilangan arah, Andi mulai berpikir keras. Dia tidak bisa berhenti di sini. Setelah merenung, dia memutuskan untuk mencari platform baru yang lebih bebas dan terbuka, tempat di mana dia bisa melanjutkan "pekerjaannya" tanpa batasan yang terlalu ketat.

"Semuanya belum berakhir," gumamnya, sembari membuka laptop dan mulai menjelajahi dunia maya untuk menemukan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhannya.

Akhirnya, Andi menemukan sebuah aplikasi baru bernama Triple Six. Aplikasi ini tampak berbeda dari platform sebelumnya. Di dalamnya, pengguna diberikan berbagai macam tugas dengan imbalan uang yang menggiurkan.

Andi memeriksa lebih lanjut fitur-fitur aplikasi tersebut. Triple Six menawarkan kebebasan yang jauh lebih luas, namun tugas-tugas yang ditawarkan juga terkesan misterius dan menantang. Ada opsi live streaming biasa, tetapi ada pula kategori "eksklusif" dengan aturan yang jauh lebih longgar.

"Ini menarik," pikir Andi sambil menyelidiki lebih dalam. Dia merasa aplikasi ini bisa menjadi peluang baru untuk melanjutkan hidupnya dan bahkan mendapatkan lebih banyak uang dibanding sebelumnya.

Namun, Andi masih merasa kebingungan. Dia butuh seorang wanita yang mau diajak berkolaborasi untuk melakukan live streaming di aplikasi Triple Six. Pilihan ini tidak mudah, mengingat tugas dalam aplikasi tersebut jauh lebih menantang dan cenderung kontroversial.

Sambil terus mencari solusi, Andi memutuskan untuk kembali menjalani rutinitas kuliahnya seperti biasa. Di kampus, dia berusaha tetap fokus pada kuliah dan tugas-tugas akademik, meskipun pikirannya sering melayang memikirkan cara untuk menyelesaikan tugas dari aplikasi tersebut.

Sesekali, dia melirik ke arah beberapa teman wanitanya di kelas, mencoba menganalisis siapa yang mungkin bisa dia ajak bekerja sama. Namun, Andi tahu bahwa membujuk mereka bukanlah hal yang mudah—terutama untuk sesuatu yang berada di luar zona nyaman mereka.

Di sela-sela kegelisahannya, Andi juga mulai memikirkan alternatif. "Mungkin aku harus cari seseorang di luar kampus," pikirnya. Tapi siapa? Dan bagaimana caranya?

Suara dering ponsel membuyarkan lamunan Andi. Dia meraih ponsel yang tergeletak di meja, melihat nama "Siska" terpampang di layar. Tanpa ragu, dia menggeser layar untuk menjawab panggilan itu.

"Andi, kamu di kampus, kan?" suara Siska terdengar ceria di seberang.

"Iya, Sis. Ada apa?" jawab Andi, mencoba terdengar santai meskipun pikirannya masih dipenuhi kebingungan.

"Ketemuan di kantin, yuk. Aku mau ngomong sesuatu," kata Siska singkat, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

"Oke, lima menit lagi aku ke sana," balas Andi, lalu menutup telepon.

Andi memasukkan ponselnya ke saku, bangkit dari kursi, dan berjalan menuju kantin. Pikirannya sedikit terganggu oleh rasa penasaran—apa yang Siska ingin bicarakan?

Di kantin, Siska sudah menunggu di salah satu meja, melambai ke arah Andi saat melihatnya datang. Dia tersenyum lebar, seperti biasanya, membuat Andi sedikit lebih rileks.

"Hei, ada apa, Sis?" tanya Andi sambil duduk di hadapannya.

Siska menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Andi dengan mata berbinar. "Aku dengar kamu lagi cari peluang baru untuk menghasilkan uang, benar nggak?" tanyanya tanpa basa-basi.

Andi terkejut sejenak, tapi mencoba tetap tenang. "Dengar dari mana?" tanyanya balik, sedikit waspada.

Siska tertawa kecil. "Ya, aku punya telinga di mana-mana. Lagipula, aku tahu kamu pintar cari peluang. Aku punya sesuatu yang mungkin cocok buat kamu," katanya sambil mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu di layar kepada Andi.

Andi menatap layar itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Triple Six? Kamu juga tahu soal ini?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.

Siska mengangguk, wajahnya berubah serius. "Bukan cuma tahu, aku juga pakai. Dan aku pikir, kita bisa kerja sama."

Andi menatap Siska dengan campuran rasa penasaran dan kebingungan. "Kerja sama gimana maksudnya?" tanyanya, mulai tertarik.

Siska menyandarkan tubuhnya lebih dekat ke meja, menurunkan suaranya. "Aku tahu beberapa tugas di aplikasi ini butuh tim. Aku pikir kita bisa saling bantu—dan kalau kamu butuh pasangan buat tugas-tugas tertentu... aku siap."

Andi terdiam sejenak, memikirkan tawaran Siska. Ini mungkin adalah solusi yang dia cari, tetapi dia tahu ada risiko besar di balik ini semua. "Kamu yakin, Sis? Tugas di aplikasi ini nggak main-main," ujarnya.

Siska tersenyum tipis, tatapannya penuh keyakinan. "Aku lebih dari sekadar yakin. Lagipula, kita bisa dapat banyak dari sini, kan? Jadi gimana, kamu setuju?"

Andi menatapnya dalam-dalam, mencoba membaca niatnya. Setelah beberapa detik, dia mengangguk perlahan. "Oke, kita coba," ucapnya akhirnya.

"Bagus," kata Siska sambil mengulurkan tangan untuk berjabat. "Kita akan jadi tim yang hebat, Andi."

Ketika Andi dan Siska tengah berbicara serius, tiba-tiba Marisa dan Dimas muncul dari arah pintu kantin. Langkah mereka mendekat ke meja tempat Andi dan Siska duduk. Andi menyadari kehadiran mereka dan langsung memasang ekspresi datar, sementara Siska menangkap momen itu dengan cermat.

Siska, dengan tatapan tajam ke arah Marisa, tiba-tiba mengubah sikapnya. Dia mendekatkan tubuhnya ke Andi, menyandarkan kepala ke bahunya sambil melingkarkan tangan ke lengan Andi. "Andi, aku yakin banget kamu bisa bantu aku nanti, kan? Kamu tuh selalu jadi andalanku," katanya dengan suara manja yang disengaja.

Marisa yang baru saja sampai di depan meja mereka, berhenti sejenak. Matanya menatap Siska yang terlihat begitu lengket pada Andi, sementara Dimas berdiri di sampingnya dengan ekspresi tidak peduli.

"Hei, Andi," sapa Marisa dengan nada datar, tapi sorot matanya mengarah tajam pada Siska. "Kita nggak sengaja ketemu di sini. Kamu sibuk?"

Andi tersenyum kecil, mencoba terlihat santai meski suasana terasa sedikit tegang. "Oh, nggak, kok. Lagi ngobrol sama Siska aja. Ada apa?"

Marisa melirik tangan Siska yang masih melingkar di lengan Andi, lalu dengan nada yang sedikit menantang, dia menjawab, "Nggak ada apa-apa. Cuma mau bilang kalau kita mau nongkrong di sini juga."

Siska tersenyum tipis, lalu berkata, "Oh, seru banget, ya. Tapi aku sama Andi lagi bahas sesuatu yang penting. Kalau kalian mau gabung, nggak apa-apa, sih." Ucapannya penuh nada provokasi, dan dia mempererat genggamannya di lengan Andi, seolah ingin menegaskan posisinya.

Dimas, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Santai aja, Marisa. Mereka kelihatannya lagi sibuk." Ucapannya membuat Marisa melirik tajam ke arahnya.

Andi, yang merasa suasana semakin tidak nyaman, mencoba mencairkan keadaan. "Kalau kalian mau duduk di sini, nggak apa-apa. Kita hampir selesai ngobrol, kok."

Siska menatap Andi dengan senyuman kecil, lalu berbisik pelan, cukup keras untuk didengar Marisa. "Andi, kamu terlalu baik, deh. Tapi ya udah, terserah kamu."

Marisa menghela napas panjang dan menarik kursi, duduk dengan Dimas di meja yang sama. Matanya masih sesekali melirik ke arah Andi dan Siska, sementara Dimas mulai mengeluarkan ponselnya, terlihat tidak peduli dengan situasi di sekitarnya.

Andi tahu, pertemuan ini akan jauh dari kata biasa. Ada api kecil yang mulai menyala di antara mereka, dan dia hanya berharap tidak akan berakhir menjadi ledakan besar.