Suara telepon berdering, memecah keheningan di ruangan itu. Andi, yang sedang duduk santai di sofa dengan Marisa yang masih berada di pelukannya, segera meraih ponselnya. Ternyata, yang menelepon adalah Siska, sahabat lama yang sering menghubunginya.
Dengan senyum nakal, Andi langsung mengangkat video call itu tanpa ragu. "Halo, Siska!" ujarnya, masih tetap memeluk Marisa dengan santai.
Di layar telepon, Siska muncul dengan wajah yang terkejut. "Eh, Andi! Kamu ngapain tuh?" tanyanya, matanya beralih ke Marisa yang masih terpeluk mesra di pelukan Andi.
Andi tertawa kecil, menyandarkan kepala Marisa di bahunya dan dengan sengaja menoleh ke kamera ponsel. "Lihat ini, Siska. Lagi santai aja, kok," jawab Andi dengan nada menggoda. Dia menatap Marisa, senyum nakal di wajahnya, sementara Marisa hanya tersenyum malu-malu, tapi tampaknya menikmati perhatian itu.
Siska, yang ada di layar, semakin terkejut. "Hah? Serius nih, Andi? Marisa, ya? Wah, kalian berdua kayaknya seru banget, ya?" Suara Siska terdengar canggung, tapi ada nada penasaran yang tak bisa disembunyikan.
Andi, masih dengan senyum nakal, menoleh ke Siska. "Ya, kamu tahu kan, Siska, kadang kita butuh momen seperti ini. Gimana? Kapan kamu mau ikut merasakan sensasi ini?" goda Andi sambil melirik Marisa dengan penuh arti.
Siska terdiam sejenak, sepertinya berpikir. Wajahnya yang terlihat terkejut tadi kini berganti dengan senyum tipis. "Hmm, kalau aku ikut, bisa nggak? Apa kamu pikir aku nggak bisa merasakan hal seru seperti itu, Andi?" tanya Siska, suaranya semakin penuh dengan godaan.
Andi tertawa, tangannya mengelus rambut Marisa yang masih terbaring di pelukannya. "Kenapa tidak? Kapan pun kamu siap, Siska. Dunia ini penuh dengan kesenangan yang bisa kita bagi, kan?"
Marisa yang mendengar percakapan itu, menatap Andi dengan penasaran. "Mungkin saja, ya? Siska kan teman dekat kita," katanya sambil tersenyum. "Kenapa tidak mencoba sesuatu yang baru?"
Siska yang melihat percakapan itu, tertawa kecil. "Bener juga, ya. Mungkin suatu hari nanti aku bisa bergabung. Tapi, jangan terlalu banyak menggoda aku, Andi. Aku bisa saja berubah pikiran," jawabnya sambil melemparkan senyum menggoda.
Andi hanya terkekeh. "Oke, Siska. Kita tunggu aja. Kalau kamu siap, kita bisa bikin momen yang lebih seru. Tapi ingat, kadang hal-hal terbaik itu datang tanpa direncanakan."
Percakapan berlanjut dengan tawa ringan, ketiganya bermain-main dengan kata-kata, saling menggoda dan berbicara tentang kemungkinan yang datang tanpa batas.
Andi mematikan ponselnya dan meletakkannya di samping sofa, masih merasa hangat dengan percakapan barusan. Marisa, yang sejak tadi diam, menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. Akhirnya, dia membuka mulut.
"Lo mau gue mutusin Dimas nggak?" tanya Marisa, suaranya terdengar agak ragu, seolah mencari kepastian dari Andi.
Andi menoleh padanya, ekspresi wajahnya serius tapi penuh rasa tanggung jawab. "Ya, jangan. Gue nggak enak sama dia," jawab Andi, suara lembut namun tegas. Andi tahu bahwa Dimas, meskipun bukan orang terdekat, adalah sosok yang cukup penting dalam hidup Marisa, dan dia tak ingin merusak hubungan itu begitu saja.
Marisa terlihat berpikir, matanya menatap ke bawah sejenak, lalu kembali menatap Andi dengan sedikit kebingungan. "Hemm... terus gimana dong?" tanyanya dengan nada agak ragu, sepertinya bingung tentang apa yang harus dilakukannya dalam situasi yang penuh ketegangan ini.
Andi menarik napas, lalu memeluk Marisa dengan lembut. "Ya... jalanin aja semua seperti biasa. Tapi, ingat... tubuh ini milik gue," ucap Andi dengan suara rendah, hampir berbisik, sambil memeluk Marisa erat. Wajahnya dekat dengan telinga Marisa, dan dia bisa merasakan degupan jantung mereka yang berirama bersama.
Marisa terdiam sejenak, merasa hangat dengan pelukan Andi. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa Andi dan dia sudah melewati banyak hal bersama, tapi situasi ini membuatnya merasa terjepit antara dua dunia yang berbeda. Meski begitu, dia merasa ada rasa aman dan nyaman dalam pelukan Andi, yang membuatnya tak bisa begitu saja melepaskan diri.
Akhirnya, Marisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. "Oke, Andi. Gue coba jalanin aja. Tapi, kita harus hati-hati, ya?" ujarnya pelan, meresapi setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Andi mengangguk pelan, matanya menatap penuh arti ke dalam mata Marisa. "Kita berdua yang tahu apa yang terbaik, Marisa. Jadi, jangan khawatir."
Marisa menatap Andi dengan tatapan penuh pertanyaan, masih tidak bisa sepenuhnya mengerti arah percakapan mereka. Setelah beberapa saat hening, akhirnya dia bertanya lagi, "Lalu, bagaimana dengan Siska?" Matanya menunggu jawaban, ingin tahu apakah Andi punya rencana untuk sahabat mereka itu.
Andi tersenyum nakal dan sedikit menggoda. "Perawannya juga akan menjadi milikku, sama seperti kamu," jawabnya dengan nada bercanda, sambil memeluk Marisa semakin erat. Ucapan itu jelas membuat suasana semakin menggoda, tapi Andi tahu dia hanya main-main, meskipun ada keinginan untuk membuat Marisa sedikit cemburu.
Marisa terkejut mendengar jawaban Andi, matanya membesar sejenak. "Hah? Kamu serius?" tanyanya, setengah terkejut dan setengah tertawa. Ada perasaan tidak nyaman yang muncul, tetapi dia juga tahu bahwa Andi sering menggoda seperti itu.
Andi mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Serius, tapi kamu tahu, ini semua hanya permainan. Yang penting adalah kita saling punya kendali atas diri kita sendiri. Siska juga tahu batasannya. Semua ini nggak akan pernah lebih dari sekadar canda dan godaan," jawab Andi, meskipun ada sedikit keinginan untuk menantang batas antara mereka.
Marisa menatap Andi, merasa cemas sekaligus tertarik dengan apa yang dia dengar. "Tapi, Andi... Siska itu sahabat kita, kan? Gue nggak mau kalau semuanya jadi berantakan," kata Marisa, suara agak ragu, tapi juga menunjukkan kekhawatiran yang semakin mendalam.
Andi hanya tertawa kecil dan menyentuh pipi Marisa dengan lembut. "Gue tahu, Marisa. Gue nggak akan biarkan semuanya jadi kacau. Kita harus bisa menjaga semuanya tetap baik-baik saja. Cuma, kita juga nggak bisa menahan keinginan yang ada," ujarnya sambil menatap Marisa dengan penuh arti.
Marisa menghela napas panjang, perasaan campur aduk muncul di hatinya. "Kita harus hati-hati, Andi. Jangan sampai semuanya jadi berantakan," katanya, suara pelan namun tegas.
Andi mengangguk, matanya tidak pernah lepas dari Marisa. "Tenang saja, gue jaga semuanya, termasuk kamu dan Siska."
Andi, yang merasa suasana semakin menggoda, memutuskan untuk melontarkan kalimat yang lebih berani. "Gue juga bakal mengisi tubuh kalian berdua secara gantian," ujarnya, suara Andi sengaja dibuat lebih dalam dan penuh dengan nada menggoda, berharap bisa memancing reaksi dari Marisa.
Marisa yang mendengarnya langsung terkejut, lalu tersenyum setengah geli dan setengah bingung. "Eh, emang gue WC umum?" sahut Marisa, dengan ekspresi wajah yang mencampurkan rasa heran dan geli, mencoba membalas gurauan Andi dengan candaan.
Andi tertawa kecil, merasa puas melihat reaksi Marisa yang cerdas dan cepat. "Bukan gitu juga," jawabnya sambil mendekatkan wajahnya ke Marisa, senyum nakal terukir di bibirnya. "Tepatnya, tempat pipis pribadi gue," ucap Andi, menggoda Marisa lebih dalam lagi.
Marisa, meskipun sedikit terguncang dengan candaan Andi, tak bisa menahan tawa kecil. "Duh, Andi, lo ini kayaknya udah kelewatan," ujarnya sambil menggelengkan kepala, masih merasa bingung antara serius dan bercanda.
Andi tetap mendekatkan wajahnya, matanya penuh godaan. "Kenapa, sih? Kamu kan juga tahu kok, Marisa. Gue cuma bilang yang sebenernya," jawab Andi dengan nada menggoda, meskipun dia tahu kata-katanya bisa membuat Marisa merasa sedikit tidak nyaman.
Marisa menarik napas panjang dan melirik Andi dengan ragu. "Lo serius nggak sih, Andi? Gue jadi bingung nih," kata Marisa, sedikit tersenyum tapi juga merasa ada perasaan tidak nyaman di dalam dirinya. "Lo suka main-main banget."
Andi tersenyum, menatapnya dengan penuh arti. "Gue main-main, tapi lo juga tahu kok, Marisa, di balik semua ini ada perasaan yang lebih dalam," jawab Andi dengan sedikit lebih serius, meskipun tetap ada sentuhan nakal di wajahnya
Aku akan terus mengisi lubang ini, dengan cairan "rudal" milikku.
Ucap Andi sambil menyentuh area itu dengan lembut.
Malam itu berlalu, dengan desahan dari Marisa yang terus terdengar.