Chereads / Tiga Pahlawan Bayangan / Chapter 2 - Awal yang Sulit (Kelas 10)

Chapter 2 - Awal yang Sulit (Kelas 10)

 Pagi itu, Ana berdiri di depan gerbang sekolah barunya, sebuah gedung megah yang tampak menjulang dengan dinding bercat putih bersih dan deretan jendela kaca besar. Di bawah langit biru yang cerah, sekolah itu terlihat seperti simbol harapan, namun bagi Ana, tempat ini adalah awal dari perjuangan baru. Meninggalkan Surabaya dan berpindah ke kota yang asing baginya membuat setiap detik terasa begitu berat. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa lebih kencang dari biasanya.

"Aku bisa melewati ini," bisiknya pada diri sendiri, meskipun di dalam hatinya penuh dengan keraguan.

 Ia melangkah masuk ke halaman sekolah, dengan tas selempang kecil tergantung di bahu. Suara langkah kakinya tenggelam dalam kebisingan suara siswa-siswa lain yang bercanda, tertawa, dan berbicara dengan teman-teman mereka. Ana merasa seperti orang asing yang tersesat di tengah keramaian. Semua orang tampak begitu akrab satu sama lain, sementara dia hanya bisa berdiri dan mengamati. Ia mengedarkan pandangannya, mencari kantor guru untuk mengambil jadwal pelajaran.

"Permisi, kantor guru di mana ya?" tanyanya pada seorang siswa perempuan yang sedang berjalan melewatinya.

Namun, bukannya menjawab, gadis itu hanya memandang Ana dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi dingin, lalu pergi tanpa sepatah kata pun. Ana berdiri kaku sejenak, menahan rasa malu yang menyelinap di dadanya. Tanpa bisa mengeluarkan kata-kata, ia menggigit bibir bawahnya dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tidak terlarut dalam perasaan yang mulai membanjiri dirinya.

 Dengan perasaan canggung, Ana mencari petunjuk lain. Setelah bertanya kepada seorang petugas kebersihan, akhirnya ia menemukan kantor guru. Di dalamnya, seorang guru perempuan dengan rambut pendek dan senyuman hangat menyambutnya. Guru itu memperkenalkan diri sebagai Bu Santi, wali kelasnya. Dengan ramah, Bu Santi memberinya jadwal pelajaran dan mengantarnya ke ruang kelas.

"Selamat pagi, Ana. Ini adalah kelas baru kamu," kata Bu Santi dengan senyum tulus yang sedikit membuat Ana merasa lebih tenang.

Ketika pintu kelas dibuka, semua mata langsung tertuju pada Ana. Beberapa siswa saling berbisik, sementara yang lainnya hanya menatap tanpa ekspresi. Ana merasa tubuhnya seperti membeku di bawah tatapan mereka. Bu Santi memberi isyarat padanya untuk masuk dan memperkenalkan diri.

"Selamat pagi, teman-teman. Ini adalah teman baru kalian, Ana. Tolong sambut dia dengan baik," kata Bu Santi sambil tersenyum.

Ana melangkah maju, menghirup napas dalam-dalam, dan mencoba mengusir ketegangan yang terasa di tenggorokannya. "Hai, nama saya Ana. Saya baru pindah dari Surabaya. Senang bertemu dengan kalian semua."

Kelas hening sejenak. Semua orang sepertinya menunggu reaksi satu sama lain. Tiba-tiba, seorang siswa laki-laki di barisan belakang berseru dengan nada sinis, "Surabaya ya? Jauh juga! Apa kamu nggak takut tersesat di sini?" Komentar itu disambut tawa dari beberapa siswa lain. Ana hanya bisa tersenyum canggung, tidak tahu harus menjawab apa.

"Cukup, ya. Ana, kamu bisa duduk di kursi kosong di sana," kata Bu Santi sambil menunjuk ke kursi di barisan tengah, dekat jendela.

 Ana berjalan menuju kursi itu dengan kepala tertunduk, berusaha mengabaikan tatapan dan bisikan teman-temannya. Saat dia duduk, seorang gadis di sebelahnya menatapnya dengan pandangan sinis yang seolah menilai setiap gerak-geriknya.

"Namaku Vina," kata gadis itu dengan nada datar. "Jangan harap aku akan membantumu kalau kamu butuh sesuatu."

Ana terkejut mendengar kata-kata itu, namun ia hanya mengangguk pelan. Tidak ada gunanya membuat masalah di hari pertama, pikirnya. Ia mencoba fokus pada buku pelajaran yang terbuka di depannya, berharap bisa menghindari perhatian lebih lanjut.

 Hari pertama Ana di sekolah baru berjalan dengan lambat dan penuh tekanan. Di setiap kelas, dia merasa seperti menjadi pusat perhatian, bukan karena sesuatu yang positif, melainkan karena rasa penasaran atau bahkan ejekan. Para siswa sepertinya tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang dirinya, namun tidak dengan cara yang ramah. Di waktu istirahat, Ana memutuskan untuk tetap duduk di bangkunya sambil membuka buku catatan, berharap bisa menghindari perhatian.

 Namun, sekelompok gadis, termasuk Vina, mendekatinya. Mereka berdiri di sekitar meja Ana dengan sikap yang kurang bersahabat.

"Kamu ini siapa, sih?" tanya salah satu dari mereka, seorang gadis dengan rambut panjang dan wajah yang dipenuhi riasan tebal. "Berani-beraninya duduk di sini dan pura-pura nggak lihat kami."

Ana mengangkat kepalanya, bingung. "Maaf, maksudnya apa?"

"Udahlah, nggak usah pura-pura polos. Kita nggak suka anak baru sok penting kayak kamu," kata gadis lain sambil melipat tangan di dada, menatap Ana dengan tajam.

Ana merasa lidahnya kelu. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukannya hingga membuat mereka tidak suka. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara seorang laki-laki memotong pembicaraan.

"Hei, kalian ngapain ganggu dia?" seru suara itu dengan tegas.

Ana menoleh dan melihat seorang siswa laki-laki berdiri di dekat pintu kelas. Dia adalah Tama, siswa dengan rambut sedikit berantakan dan senyum yang tampak santai. Tama berjalan mendekat dengan langkah pasti, menatap gadis-gadis itu dengan tajam.

"Ini bukan urusan kamu, Tama," jawab Vina dengan nada kesal.

"Kalau kalian ganggu teman baru, itu urusanku," kata Tama dengan tegas. "Dia nggak ganggu kalian, jadi biarkan dia sendiri."

Vina mendengus, namun akhirnya mereka pergi sambil melontarkan komentar sarkastik. Ana merasa lega, meskipun ia tahu masalah ini belum selesai. Tama menoleh padanya dan tersenyum.

"Kamu Ana, kan? Aku Tama. Jangan takut sama mereka. Kalau butuh bantuan, bilang aja ke aku," katanya dengan penuh perhatian.

Ana mengangguk, merasa sedikit lega karena ada seseorang yang bersikap ramah padanya. "Terima kasih, Tama."

 Hari itu berlalu dengan perlahan. Meskipun Tama telah membantu, Ana tetap merasa sulit untuk menyesuaikan diri. Semua terasa asing baginya, mulai dari lingkungan sekolah hingga sikap teman-temannya. Ia berharap hari-hari ke depan akan menjadi lebih baik, namun ia juga tahu bahwa perjalanan di sekolah baru ini tidak akan mudah.

 Namun, Ana belum tahu bahwa hari itu adalah awal dari perjalanan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Di sekolah ini, dia akan bertemu dengan orang-orang yang tidak hanya akan menjadi pahlawan dalam hidupnya, tetapi juga menciptakan konflik yang akan menguji hati dan keberaniannya.