Pagi itu, Ana melangkah ke ruang kelas 11 dengan perasaan yang sedikit berbeda. Setelah hampir setahun menjalani kehidupan baru di sekolah ini, rasanya ada sedikit perubahan dalam dirinya. Walaupun masih merasa asing dan terasing, setidaknya kali ini dia merasa lebih siap menghadapi apa yang akan datang. Ada secercah harapan yang mulai muncul, seiring dengan semakin akrabnya dia dengan beberapa teman baru.
Saat Ana memasuki kelas, pandangannya segera mencari tempat duduk yang familiar. Tanpa diduga, matanya bertemu dengan sepasang mata yang penuh perhatian. Tama. Seperti biasa, senyumannya yang tulus menyambutnya. Tanpa pikir panjang, Ana melangkah menuju tempat duduk di sebelahnya.
"Selamat pagi, Ana!" Tama menyapanya dengan penuh semangat.
"Hai, Tama," jawab Ana dengan senyum malu-malu. Semakin lama, dia mulai merasa nyaman dengan kehadiran Tama yang selalu terlihat ramah dan penuh perhatian.
Hari pertama di kelas 11 berjalan dengan lancar, dan Ana merasa ada perubahan kecil dalam dirinya. Dia tidak lagi merasa terlalu canggung atau terasing. Tentu saja, dia masih merasa sedikit terpisah dari teman-teman lainnya, tetapi perasaan itu tidak lagi menguasainya seperti dulu. Ada Tama, yang selalu berada di dekatnya, membuatnya merasa tidak begitu kesepian.
Setelah jam pelajaran berakhir, Tama mengajak Ana untuk berjalan bersama menuju kantin. "Mau makan siang bareng? Aku tahu tempat yang enak, kamu pasti suka," ajak Tama, dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
Ana mengangguk, merasa senang ada seseorang yang ingin menghabiskan waktu dengannya. Mereka berdua berjalan bersama melewati koridor, berbincang ringan tentang pelajaran yang baru saja selesai. Tidak ada yang terasa canggung di antara mereka. Tama, dengan sikapnya yang ramah dan perhatian, membuat Ana merasa lebih diterima.
Di kantin, Tama memesan makanan untuk mereka berdua. Setelah beberapa menit, mereka duduk di meja yang agak terpencil, jauh dari keramaian. Ana merasa nyaman, menikmati suasana yang jauh dari tatapan orang lain. Seiring waktu, percakapan mereka semakin hangat dan akrab.
Saat sedang asyik berbicara, Ana mendengar suara familiar yang memanggilnya dari kejauhan. "Ana! Tama!" Suara itu datang dari Eza dan Juna, yang sedang berjalan ke arah mereka. Ana merasa sedikit terkejut. Beberapa minggu terakhir, dia mulai lebih banyak berinteraksi dengan Eza dan Juna, namun tak pernah sekalipun mereka makan bersama.
"Hei, kalian berdua! Kenapa nggak bergabung?" seru Tama dengan semangat.
Ana hanya bisa tersenyum canggung. Eza, dengan senyum hangatnya, segera duduk di sebelah Ana, sementara Juna duduk di sisi lain. Mereka saling bertukar cerita tentang pelajaran dan kegiatan sekolah. Ana mulai merasa semakin dekat dengan mereka bertiga, terutama dengan Eza yang selalu ceria dan Juna yang lebih pendiam namun tidak kalah perhatian.
Semenjak pertemuan pertama mereka di kelas 10, Ana tidak pernah membayangkan bahwa dia akan menjadi bagian dari kelompok ini. Tama yang selalu melindunginya, Eza yang selalu membawa keceriaan, dan Juna yang diam-diam memperhatikan, semuanya mulai membentuk sebuah ikatan yang tidak terduga.
Hari-hari pun berlalu, dan Ana mulai merasa lebih betah di sekolah. Keakraban dengan Tama, Eza, dan Juna semakin terasa. Setiap hari mereka makan bersama, belajar bersama, dan berbagi cerita. Bahkan, Ana mulai merasa senang saat mendengar Eza melontarkan candaan, atau saat Juna tersenyum lembut padanya.
Suatu hari, Tama mengajak Ana untuk pergi bersama setelah sekolah. Mereka memutuskan untuk mengikuti les tambahan, dan Ana sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa mereka ternyata terdaftar di tempat yang sama. "Jadi, kamu juga ikut les di sini?" Ana bertanya sambil mengerutkan kening, merasa sedikit bingung.
Tama tertawa kecil. "Iya, aku juga ikut. Ternyata kita satu tempat les, ya! Bisa jadi lebih sering ketemu."
Ana tidak tahu apakah itu kebetulan atau memang sudah takdir, tetapi yang jelas dia merasa senang. Dengan semakin seringnya mereka bertemu, Ana merasa hubungan mereka semakin erat. Tidak hanya itu, kehadiran Tama di kelas les itu juga memberikan rasa nyaman yang lebih besar bagi Ana. Setiap kali merasa kesulitan, Tama selalu ada untuk membantunya, memberi semangat, dan membuat Ana merasa sedikit lebih ringan.
Di suatu sore, saat mereka sedang duduk bersama di ruang les, Tama menatap Ana dengan serius. "Ana, aku tahu kita baru kenal, tapi aku senang kita bisa dekat. Kamu itu nggak hanya pintar, tapi juga orang yang baik. Aku suka banget ngeliat cara kamu menghadapi segala hal, meskipun kadang aku tahu kamu merasa kesepian."
Ana terkejut dengan pernyataan Tama. "Tama, terima kasih, tapi aku... aku juga kadang merasa canggung dengan banyak hal. Semua terasa baru dan asing buat aku."
Tama tersenyum lembut. "Itu wajar kok. Tapi kamu nggak sendirian. Aku di sini, Eza juga, dan Juna juga. Kita saling mendukung."
Ana merasakan ada kehangatan yang muncul dari kata-kata Tama. Entah kenapa, hati Ana terasa berdebar. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Setiap hari, semakin dekat dengan Tama, semakin Ana merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka. Di balik senyumannya yang selalu menenangkan, ada perasaan yang lebih dalam. Ana merasa bingung, apakah ini hanya perasaan sementara, atau apakah Tama juga merasakan hal yang sama.
Tapi Ana tidak berani bertanya lebih jauh. Dia hanya ingin menikmati hari-hari ini, di mana semuanya terasa lebih mudah dengan Tama di sisinya. Di tengah segala kesulitan dan kebingungannya, ada secercah harapan yang semakin terang. Dan harapan itu datang dari kehadiran Tama yang selalu ada untuknya.
Ana tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang pasti: dia merasa lebih hidup dari sebelumnya, dan semua itu berkat pertemuannya dengan Tama, Eza, dan Juna. Mereka bukan hanya teman, mereka adalah bagian dari perjalanan hidupnya yang penuh dengan perubahan dan harapan baru.