Chereads / Tiga Pahlawan Bayangan / Chapter 7 - Rahasia Dibalik Bayangan

Chapter 7 - Rahasia Dibalik Bayangan

 Hari itu, cuaca cerah, namun hati Ana dipenuhi dengan rasa bingung yang semakin mendalam. Ia baru saja mendengar percakapan yang membuatnya terkejut. Eza, teman baiknya yang selama ini selalu menunjukkan perhatian, terlibat dalam percakapan yang tidak seharusnya ia dengar. Ana sedang duduk di kantin, menikmati waktu istirahat, ketika Afi seorang gadis kaya yang terkenal dengan sikap sombongnya mendekati Eza. Tanpa disangka, percakapan mereka berlanjut menjadi hal yang sangat membingungkan bagi Ana.

"Apa kamu lebih memilih aku atau Ana?" Afi bertanya, suaranya terdengar penuh tantangan.

Ana, yang tidak sengaja mendengar percakapan itu, merasa hati kecilnya tergetar. Ia tahu Afi, yang selama ini selalu merasa menjadi pusat perhatian di kelas, adalah gadis yang menyukai Eza. Afi selalu merasa dirinya lebih baik, lebih cantik, lebih kaya dari yang lain. Namun, Ana tak pernah menganggap hal itu serius, hingga pertanyaan Afi itu terdengar seolah menguji sesuatu yang lebih dalam.

Eza terdiam sejenak, seolah merenung, sebelum akhirnya ia menjawab dengan penuh keyakinan, "Aku lebih memilih Ana. Ana jauh lebih baik daripada kamu."

Kata-kata itu menggema di telinga Ana, membuatnya terhenyak. Ana tidak tahu apa yang harus dirasakan. Terkejut? Senang? Bingung? Semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hubungan mereka, namun perasaan itu terlalu membingungkan untuk diungkapkan.

Afi, yang mendengar jawaban Eza, langsung tampak marah dan kecewa. Namun, Eza tidak peduli, dan hanya berjalan pergi meninggalkan Afi yang masih terdiam di tempat.

Ana merasa seperti dunia di sekitarnya terhenti sejenak. Mengapa Eza memilihnya? Apa yang membuatnya begitu yakin? Dalam kebingungannya, Ana merasa perlu berbicara dengan Eza, ingin mengetahui lebih banyak tentang perasaan dan alasan di balik jawabannya.

 Saat jam pelajaran berakhir, Ana mencari Eza. Eza sedang duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah, terlihat sedang membaca buku dengan serius. Ana mendekat dengan hati yang berdebar-debar.

"Eza," Ana memanggil dengan suara pelan.

Eza mengangkat wajahnya, memberikan senyuman yang menenangkan. "Ana, ada apa?"

"Aku... aku dengar tadi percakapanmu dengan Afi," Ana memulai, suaranya sedikit bergetar. "Kenapa kamu memilih aku?"

Eza menatap Ana dengan serius, lalu menutup bukunya dan duduk dengan santai. "Karena menurutku, kamu lebih baik daripada Afi. Afi itu... ya, dia kaya dan cantik, tapi ada sesuatu tentang kamu yang lebih menarik, Ana. Kamu tulus, kamu tidak berpura-pura, dan kamu tidak pernah mencoba menjadi orang lain. Kamu selalu jadi dirimu sendiri."

Ana merasa hatinya hangat mendengar kata-kata Eza. Namun, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Mengapa ia merasa semakin bingung? Apakah ini hanya perasaan bersyukur, atau ada sesuatu yang lebih dalam?

 Tiba-tiba, Juna muncul di samping mereka. "Eza benar, Ana. Kamu memiliki kualitas yang nggak bisa dipunyai orang lain. Itu sebabnya kita semua peduli padamu," kata Juna dengan nada yang lembut.

Ana menatap Juna, merasakan sesuatu yang berbeda dari dirinya. Juna yang selama ini pendiam, kini mengungkapkan perhatian yang lebih dalam. "Terima kasih, Juna," Ana membalas dengan senyum kecil. "Aku nggak tahu harus bilang apa."

Juna tersenyum, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Ana merasa ada ketertarikan yang lebih dari sekadar persahabatan. Namun, Ana tidak ingin berpikir terlalu jauh. Rasanya terlalu rumit untuk dihadapi saat itu.

 Malam itu, setelah pulang sekolah, Ana memutuskan untuk merenung. Ia duduk di kamar, menatap langit yang dipenuhi bintang. Pikirannya terombang-ambing antara Eza dan Juna. Kedua pemuda itu memiliki cara mereka sendiri untuk melindungi dan memberi perhatian kepadanya. Namun, ada satu hal yang tak bisa ia ingkari: Tama.

 Tama adalah sosok yang selalu hadir dengan keberanian dan keceriaannya. Sejak pertama kali bertemu, Ana merasa nyaman dengan kehadirannya. Tama tidak hanya melindunginya, tetapi juga membuat Ana merasa dihargai. Namun, Ana merasa bingung. Tama selalu ada di dekatnya, tetapi ia tidak pernah secara terbuka menunjukkan perasaannya. Ataukah Ana yang terlalu ragu?

 Ketika Ana memutuskan untuk berbicara dengan Tama, ia merasa sedikit cemas. Apakah Tama benar-benar merasa sesuatu yang lebih darinya? Apakah ia hanya menganggap Ana sebagai teman? Ana tidak tahu jawaban pasti, tetapi dia merasa perlu mencari tahu.

 Pagi berikutnya, Ana bertemu Tama di sekolah. Tama terlihat lebih ceria dari biasanya, senyum lebarnya menyambut Ana saat mereka bertemu di lorong sekolah.

"Ana, aku ingin bicara denganmu," kata Tama, tiba-tiba terlihat lebih serius dari biasanya.

Ana terkejut, namun ia mengangguk. Mereka berjalan bersama ke taman kecil di sekolah, tempat yang biasa mereka gunakan untuk berbicara.

"Tama, ada apa?" Ana bertanya, sedikit cemas.

Tama menatap Ana dengan tatapan yang dalam dan tiba-tiba tersenyum memegang tanganku. "Aku nggak bisa bohong, Ana. Aku mulai merasa lebih dari sekadar teman. Aku... aku suka sama kamu."

Kata-kata itu membuat Ana terdiam. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Hatinya berdebar, kebingungannya semakin menjadi-jadi.

"Tama, aku... aku juga merasa ada yang berbeda. Tapi aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan dengan semua perasaan ini."

Tama tersenyum, meskipun ada sedikit kesedihan di mataannya. "Kamu nggak perlu tahu sekarang. Aku cuma ingin kamu tahu, aku ada di sini. Untuk kamu."

 Ana menatapnya, merasa hangat oleh kata-kata Tama. Namun, hatinya masih penuh keraguan. Dengan segala perhatian yang diberikan Eza, Juna, dan Tama, Ana merasa seperti berada di tengah-tengah perasaan yang membingungkan.

 Rahasia di balik bayangan perasaannya mulai terungkap. Namun, jawabannya masih jauh dari jangkauan. Ana harus memutuskan apa yang sebenarnya ia rasakan, dan apa yang akan terjadi selanjutnya.