Chereads / Tiga Pahlawan Bayangan / Chapter 3 - Kesepian

Chapter 3 - Kesepian

Hari-hari di sekolah baru bagi Ana terasa semakin berat. Meskipun wajah-wajah baru mulai muncul di sekelilingnya, dia merasa semakin terasing. Rasa sepi yang tidak pernah bisa dijelaskan semakin menekan hatinya. Setiap kali dia memasuki kelas, seolah-olah semua mata memandangnya dengan rasa ingin tahu yang tidak menyenangkan. Tidak ada teman yang bisa dia ajak berbicara, dan ketika dia mencoba mendekat, dia hanya menemukan dinding ketidakpedulian yang semakin tinggi.

Selama beberapa hari pertama, Ana berusaha keras untuk menyesuaikan diri. Namun, tak peduli seberapa keras dia berusaha tersenyum atau bertanya tentang pelajaran, hampir tidak ada yang merespons. Setiap percakapan yang terjadi selalu berpusat pada kelompok-kelompok yang sudah terjalin, sementara Ana hanya menjadi pengamat. Wajah-wajah yang dulu ramah kini menjadi buram, dan suara-suara tawa yang terdengar di sekitar hanya memperburuk perasaannya.

Ana menghabiskan waktu di sekolah dengan berusaha terlihat sibuk. Ketika bel istirahat berbunyi, dia memilih untuk tetap duduk di bangku, membuka buku catatan yang belum banyak dia tulis, hanya untuk menghindari tatapan yang terus mengikutinya. Begitu dia melihat beberapa teman sekelasnya duduk bersama, bercanda, dan tertawa, dia merasa seperti bayangan yang tidak diperhitungkan, yang hanya ada di ruang kelas tanpa menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Hari demi hari, Ana merasa semakin kesepian. Kembali memikirkan alasan mengapa dia pindah ke tempat ini membuat hatinya semakin berat. Dia merindukan Surabaya, teman-temannya, dan semua kenangan yang telah dia tinggalkan. Tak ada yang bisa menggantikan kedekatan yang dia miliki dengan orang-orang di sana. Sekolah ini, meskipun megah dan penuh dengan siswa-siswa baru, terasa seperti tempat yang sangat asing.

Puncaknya terjadi pada saat makan siang. Ana berjalan menuju kantin, berharap bisa makan dengan tenang, namun begitu sampai di sana, dia mendapati beberapa gadis yang duduk di meja sebelah menatapnya dengan tatapan yang kurang ramah. Mereka berbisik-bisik, kadang tertawa kecil sambil mencuri pandang ke arahnya. Ana bisa merasakan energi yang tidak menyenangkan itu. Mungkin mereka sedang membicarakannya, mungkin juga mereka hanya merasa terganggu dengan keberadaannya.

Sebelum Ana bisa duduk, salah satu dari mereka, seorang gadis dengan rambut panjang yang tergerai, menatapnya dengan dingin. "Ada apa sih, kamu masih ada di sini?" tanya gadis itu dengan nada yang menusuk.

Ana terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba, sebuah suara keras memotong suasana. "Kalian kenapa sih?" suara itu terdengar penuh keberanian.

Tama, seorang siswa dengan rambut hitam legam yang agak berantakan, muncul di hadapan Ana. Ana melihatnya dengan sedikit terkejut. Sebelumnya, dia sudah beberapa kali melihat Tama berjalan di sekitar sekolah, tapi mereka belum pernah berbicara lebih jauh.

Tama menatap gadis-gadis itu dengan tegas. "Kenapa harus mengganggu dia? Apa yang salah dengan dia?" tanyanya, nadanya tenang namun penuh makna.

Gadis-gadis itu terdiam sejenak, lalu salah satunya mengangkat bahu. "Kami hanya ingin tahu siapa dia. Apa yang dia inginkan di sini?" kata gadis itu, mencoba membela diri.

Tama menghela napas dan menoleh ke Ana. "Kamu nggak usah khawatir. Mereka nggak tahu apa-apa. Kalau ada yang mengganggu, bilang aja sama aku," ujarnya dengan senyum yang menenangkan.

Ana hanya mengangguk pelan, merasa sedikit lega meskipun perasaan cemasnya belum hilang sepenuhnya. Tama memberikan senyuman yang membuat Ana merasa dihargai untuk pertama kalinya di sekolah ini.

Setelah itu, Tama kembali ke meja tempat dia duduk bersama teman-temannya, sementara Ana melanjutkan makan siangnya dengan lebih tenang. Keberadaan Tama yang tiba-tiba muncul dan membelanya membuat Ana merasa sedikit lebih aman, meskipun kesepian itu masih terasa begitu dalam.

Namun, perasaan sepi itu tidak lama hilang. Tidak hanya Tama yang membantu, beberapa saat setelah itu, seorang laki-laki lain yang Ana tidak kenal datang mendekat. Eza, begitu dia memperkenalkan diri, adalah siswa terkenal di sekolah itu. Walaupun Eza datang dari keluarga yang sangat kaya, dia memiliki sikap yang sangat sederhana. Tidak ada kesan sombong pada dirinya. Dengan wajah yang serius namun ramah, Eza menyapanya.

"Hey, Ana, kan? Kalau ada apa-apa, kamu bisa datang ke aku atau Tama. Jangan biarkan mereka ganggu kamu terus," kata Eza, dengan suara yang begitu lembut namun tegas. Ana tersenyum canggung, merasa agak aneh karena dia baru saja bertemu dengan Eza, tapi kata-katanya terasa sangat tulus.

"Terima kasih, Eza," balas Ana, merasa sedikit lebih ringan.

Hari itu, Ana tidak merasa sendirian lagi, meskipun banyak hal yang masih harus dia hadapi. Di sela-sela kesibukannya, Eza terlihat selalu ada untuk menyemangatinya. Meskipun begitu, ada sesuatu yang membuat Ana merasa semakin penasaran. Seorang siswa dengan perawakan tinggi, rambut hitam rapi, dan tatapan yang penuh pemikiran—Juna.

Juna adalah siswa yang selalu duduk di barisan depan dan dikenal sebagai yang paling pintar di kelas. Selama pelajaran, dia tidak pernah banyak bicara, tapi matanya selalu mengamati segala sesuatu dengan saksama. Ana mulai merasa ada sesuatu yang berbeda ketika Juna menyapanya dengan halus, "Selamat datang di sekolah ini, Ana. Kalau ada pelajaran yang bingung, bisa tanya aku kapan saja."

Juna tidak terlihat seperti orang yang terlalu terbuka, namun ada sesuatu dalam tatapan mata dan suaranya yang membuat Ana merasa dihargai. Tidak ada canda, tidak ada lelucon, hanya sebuah perhatian sederhana yang membuat Ana merasa, entah kenapa, sedikit lebih diterima.

Ketiga laki-laki itu—Tama, Eza, dan Juna—mulai menjadi bagian penting dalam hidup Ana. Masing-masing dengan cara mereka sendiri, mereka melindunginya dari rasa kesepian yang begitu mengekangnya. Di tengah segala kesulitan yang dia hadapi, Ana merasa bahwa mungkin ada harapan baru di tempat yang terasa asing ini.

Namun, Ana juga mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam terhadap mereka. Tiga laki-laki ini tidak hanya memberi perhatian lebih padanya, tapi Ana merasa bahwa mereka memiliki perasaan yang berbeda terhadap dirinya. Cinta? Mungkin, tapi Ana belum siap untuk itu. Dalam hatinya, dia hanya ingin merasa diterima, merasa bahwa dia tidak lagi menjadi orang asing.

Namun, apakah kehadiran ketiga pahlawan bayangan ini cukup untuk mengubah hidup Ana? Atau apakah mereka hanya akan menjadi bagian dari kenangan lainnya yang harus ia tinggalkan? Masa depan Ana masih penuh dengan pertanyaan, dan dia harus menemukan jawabannya sendiri.