Hari-hari Ana kini dipenuhi dengan kebingungan yang semakin dalam. Setiap kali berinteraksi dengan salah satu dari mereka; Eza, Tama, atau Juna hatinya terasa dipenuhi oleh berbagai perasaan yang sulit ia pahami. Dulu, ia hanya ingin menjadi diri sendiri, tanpa harus memikirkan perasaan yang rumit. Namun, kini Ana dihadapkan pada pilihan yang sulit, sebuah pilihan yang tidak hanya melibatkan perasaannya, tetapi juga persahabatan dan kepercayaan yang telah terbentuk di antara mereka.
Pada suatu sore yang cerah, Ana duduk di teras tempat aku les, memikirkan semuanya. Eza yang selalu memberikan perhatian tulus, Juna yang bijaksana dan penuh dengan pengertian, dan Tama yang selalu ceria dan penuh semangat. Ketiga pemuda ini telah masuk ke dalam hidupnya dengan cara yang berbeda-beda, namun semuanya meninggalkan jejak yang tak mudah dihapuskan.
Tama, dengan senyumnya yang lebar dan kehadirannya yang selalu membuat Ana merasa nyaman. "Ana, kamu nggak tahu betapa senangnya aku bisa dekat denganmu," kata Tama suatu waktu, seolah tanpa beban mengungkapkan perasaannya. Keberanian Tama dalam mengungkapkan perasaan membuat Ana merasa dihargai, meskipun ia tidak tahu bagaimana membalasnya.
Kemudian ada Eza, yang selalu mendukungnya, terutama ketika Afi dan teman-teman lainnya mencoba mengganggunya. Eza telah menunjukkan bahwa dia lebih dari sekadar teman. "Ana, kamu lebih baik dari yang kamu kira," kata Eza dengan lembut suatu hari. Ana merasa ada sesuatu yang dalam pada setiap kata-kata Eza, sesuatu yang membuat hatinya terasa hangat, namun juga penuh keraguan.
Juna, dengan kecerdasannya yang tak tertandingi dikelas yang selalu rangking 1, juga mulai masuk dalam pikirannya. Setiap kali Juna berbicara, ada ketenangan dalam suaranya yang membuat Ana merasa aman. "Jangan khawatir, Ana. Aku akan selalu ada untukmu," kata Juna dengan mata yang penuh perhatian. Ana merasa Juna mengerti dirinya lebih dari siapapun, tetapi terkadang perasaan itu malah membuatnya bingung, karena Juna tidak pernah secara langsung mengungkapkan perasaannya.
Tiga laki-laki yang begitu berbeda, masing-masing dengan caranya sendiri, namun semuanya memberikan perhatian yang besar padanya. Ana merasa terjebak di antara mereka, bingung dengan perasaannya sendiri. Apakah ia hanya merasa terhormat dan dihargai oleh perhatian mereka? Ataukah perasaan itu lebih dari sekadar persahabatan? Ana tidak tahu, namun satu hal yang pasti: perasaan ini menguji batasan antara cinta dan persahabatan.
Di suatu sore yang berbeda, Ana bertemu dengan Eza di taman. Mereka duduk bersama, berbicara tentang hal-hal ringan seperti biasa. Namun, kali ini suasana terasa berbeda. Eza terlihat lebih serius, dan Ana bisa merasakan ada ketegangan yang tidak biasa.
"Ana," Eza memulai, suaranya agak rendah.
"Aku tahu ini mungkin akan membuatmu bingung, tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Aku lebih dari sekadar teman bagimu. Aku… aku suka padamu."
Kata-kata Eza membuat Ana terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus meresponsnya. Apa yang harus ia katakan? Eza sudah cukup jelas mengungkapkan perasaannya, dan kini giliran Ana untuk menghadapinya. Namun, sebelum Ana sempat memberikan jawabannya, Tama datang menghampiri mereka dengan langkah cepat, wajahnya tampak cemas.
"Eza, kamu ngomong apa ke Ana?" Tama bertanya dengan nada sedikit tinggi, seolah khawatir.
"Apa masalahnya, Tama?" Eza menjawab dengan tenang, meski ada sedikit ketegangan di antara keduanya.
Ana terkejut melihat mereka berdua berselisih. Perasaan Ana semakin kacau. Mengapa mereka harus bertengkar hanya karena dirinya? Mengapa persahabatan mereka diuji oleh hal ini?
Tama melihat Ana yang terlihat bingung, dan segera melunak.
"Ana, aku cuma nggak mau kamu merasa tertekan. Aku... aku cuma mau kamu tahu, kalau aku juga menyukaimu. Aku nggak akan biarkan kamu merasa sendiri."
Ana hanya bisa menatap mereka berdua dengan perasaan campur aduk. Tidak hanya Eza yang mengungkapkan perasaannya, tetapi juga Tama yang tiba-tiba menjadi lebih terbuka. Dan ketika Ana merasa kebingungannya belum cukup, Juna datang. Dia tersenyum tipis, namun matanya terlihat lebih tajam dari biasanya.
"Ana, kamu nggak perlu buru-buru memilih. Kami semua ingin yang terbaik untukmu," kata Juna dengan suara yang lembut, tetapi ada ketegasan di baliknya. Juna masih saja diam menutupi perasaannya namun selalu peduli pada Ana.
Ketiga laki-laki itu, dengan cara mereka masing-masing, menunjukkan perhatian yang tulus. Ana merasa seperti berada di tengah-tengah perasaan yang membingungkan, di antara tiga hati yang begitu berbeda. Persahabatan mereka mulai teruji, dan Ana harus memilih meskipun hatinya merasa berat untuk melakukannya.
Di malam hari, Ana merenung di kamarnya. Semua kata-kata mereka terus berputar dalam pikirannya. Eza, yang selalu bijaksana dan penuh perhatian. Tama, yang ceria dan selalu ada di dekatnya. Juna, yang tenang dan penuh pengertian. Ketiganya begitu penting baginya, namun Ana tahu bahwa ia harus memilih salah satu. Pilihan itu bukanlah sesuatu yang mudah, karena setiap langkah yang ia ambil bisa mengubah segala sesuatu.
Esok harinya, Ana bertemu dengan ketiga pemuda itu di taman sekolah. Wajah mereka terlihat cemas, tetapi Ana sudah memutuskan untuk berbicara.
"Aku… aku harus memutuskan sesuatu," kata Ana dengan suara yang sedikit gemetar.
"Kalian semua berarti banyak buat aku, dan aku nggak bisa memungkiri perasaan ini. Tapi aku tahu, aku harus memilih. Aku nggak bisa terus begini."
Ketiga laki-laki itu saling bertukar pandang, namun tidak ada yang mengganggu keputusan Ana. Mereka semua tahu, meskipun ini berat, Ana harus memilih dengan hati yang tulus. Tapi Ana belum siap. Pilihan ini bukanlah keputusan yang bisa dibuat dengan mudah.
"Aku… aku minta waktu sedikit lagi," kata Ana akhirnya, dengan perasaan penuh kebingungan. "Aku ingin memikirkan semuanya dengan lebih matang."
Keputusan itu mungkin menunda jawaban, tetapi Ana tahu satu hal: apapun yang terjadi, perasaan ini akan terus menguji hatinya. Dan mungkin, waktu akan memberinya jawaban yang tepat.