Hari itu, langit cerah seolah merayakan keputusan yang akhirnya harus diambil Ana. Dia berjalan perlahan menuju taman belakang sekolah, tempat yang menjadi saksi banyak momen penting dalam hidupnya. Hari ini adalah hari yang dia tahu akan mengubah segalanya. Setelah begitu banyak dilema dan emosi, Ana memutuskan untuk berbicara dengan mereka satu per satu. Sebuah keputusan harus diambil, meskipun itu berarti ada yang terluka. Namun, Ana percaya bahwa cinta yang sejati akan selalu memberikan jalan untuk kebahagiaan, meskipun jalannya penuh rintangan.
Eza adalah orang pertama yang Ana temui. Duduk di bangku taman dengan rambut hitamnya yang tertiup angin, Eza terlihat tenang, tetapi Ana tahu hatinya penuh dengan harapan dan kecemasan.
"Eza," Ana memulai dengan suara pelan, "aku ingin kamu tahu bahwa selama ini, kamu adalah seseorang yang spesial. Kamu selalu ada untukku, melindungiku dari gangguan, bahkan membuatku merasa bahwa aku berharga." Eza menatapnya dengan sorot mata yang tulus.
"Ana, aku tidak pernah meminta kamu untuk memilihku karena simpati atau rasa terpaksa. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu apa adanya. Tidak peduli apa keputusanmu, aku akan tetap menghormati dan mendukungmu."
Ana merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata Eza. Keberanian dan ketulusan yang dia miliki membuat Ana semakin yakin bahwa dia telah membuat pilihan yang tepat.
Berbeda dengan Eza, Juna lebih memilih berbicara di ruang kelas yang sepi. Ketika Ana masuk, Juna sedang membaca sebuah buku, tetapi senyumnya langsung terbit saat melihat Ana. "Juna," Ana berkata pelan, mendekatinya,
"aku ingin berterima kasih untuk semua yang telah kamu lakukan. Kamu adalah orang yang luar biasa pintar, berani, dan memiliki hati yang besar." Juna tersenyum kecil, tetapi Ana bisa melihat kekecewaan yang tersembunyi.
"Ana, aku tahu kamu sudah membuat pilihan. Aku bisa melihatnya dari cara kamu berbicara. Jangan khawatir tentang aku. Aku senang bisa mencintai seseorang sepertimu, meskipun itu berarti aku tidak bisa memilikimu." Air mata Ana hampir jatuh mendengar kata-kata Juna.
"Aku harap kamu mengerti bahwa aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Kamu selalu menjadi sahabat terbaikku, Juna. Aku ingin persahabatan kita tetap ada, apa pun yang terjadi." Juna mengangguk.
"Kamu tidak perlu khawatir, Ana. Aku selalu ada untukmu. Selamanya."
Tama memilih untuk berbicara di lapangan olahraga, tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Tama tampak tenang, tetapi Ana tahu hatinya bergejolak. "Tama," Ana berkata, memecah keheningan, "aku tahu perasaanmu padaku lebih dari sekadar sahabat. Aku ingin kamu tahu bahwa aku menghargai semuanya; kebaikanmu, perhatianmu, dan keberanianmu." Tama menatap Ana dengan senyuman kecil.
"Ana, aku tahu dari awal bahwa aku mungkin tidak akan menjadi pilihanmu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku akan selalu menjadi sahabatmu. Aku ingin melihatmu bahagia, apa pun yang terjadi." Ana merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Tama.
"Aku tidak ingin kehilangan persahabatan kita, Tama. Kamu adalah salah satu orang terbaik yang pernah aku temui." Tama mengangguk.
"Kamu tidak akan kehilangan aku, Ana. Aku tetap di sini, sebagai sahabatmu. Selalu."
Setelah berbicara dengan ketiganya, Ana merasa lega tetapi juga berat hati. Namun, dia tahu, keputusannya sudah bulat. Dia memilih Eza. Saat matahari hampir tenggelam, Ana kembali ke taman tempat Eza masih menunggunya. Dia mendekatinya dengan senyum yang lembut tetapi penuh makna.
"Eza," Ana berkata, suaranya tegas tetapi lembut, "aku memilih kamu." Mata Eza membelalak, seolah tidak percaya.
"Kamu memilih aku?" tanyanya, memastikan apa yang baru saja didengarnya. Ana mengangguk. "Ya, aku memilih kamu. Kamu membuatku merasa dihargai, dilindungi, dan dicintai dengan cara yang tulus. Aku tahu hatiku tidak salah memilihmu." Eza tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Tanpa berkata-kata, dia meraih tangan Ana dan menggenggamnya erat. "Terima kasih, Ana. Aku janji, aku tidak akan mengecewakanmu."
Namun, keputusan Ana bukan tanpa konsekuensi. Meskipun Juna dan Tama menerima dengan lapang dada, ada momen-momen kecil di mana suasana terasa canggung. Juna terkadang tampak termenung, tetapi dia selalu menyembunyikan kesedihannya dengan senyuman. Tama, di sisi lain, tetap ceria dan mendukung Ana seperti biasanya, meskipun Ana tahu ada bagian dari hatinya yang masih berusaha menerima kenyataan. Geng Afi juga tidak tinggal diam. Mereka mencoba memancing masalah dengan komentar sinis, tetapi Eza selalu ada untuk membela Ana. "Kamu bisa bicara apa saja," kata Eza suatu hari kepada geng Afi, "tapi jangan pernah meremehkan Ana. Dia lebih berharga daripada yang kalian pikirkan." Kata-kata itu membuat geng Afi bungkam, dan Ana merasa semakin bersyukur memiliki Eza di sisinya.
Hari-hari berikutnya diisi dengan kebahagiaan sederhana. Ana dan Eza menikmati waktu bersama, sementara Juna dan Tama tetap menjadi bagian penting dalam hidup Ana. Mereka berempat sering menghabiskan waktu bersama, menjaga persahabatan mereka tetap utuh meskipun dinamika telah berubah. Ana merasa bersyukur memiliki tiga orang luar biasa dalam hidupnya. Meskipun dia hanya bisa memilih satu, dia tahu bahwa cinta dan persahabatan yang mereka miliki adalah sesuatu yang langka dan berharga.
Kadang, cinta adalah tentang keberanian untuk memilih, pikir Ana. Dan aku bersyukur, aku dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaiku dengan tulus, meskipun itu berarti mereka harus melepaskanku. Dengan senyum di wajahnya, Ana tahu bahwa ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan baru. Sebuah perjalanan yang penuh cinta, persahabatan, dan harapan untuk masa depan.