Chereads / Tiga Pahlawan Bayangan / Chapter 5 - Pembelaan Pertama

Chapter 5 - Pembelaan Pertama

 Pagi itu terasa seperti biasa, dingin, dan penuh ketegangan. Ana masih merasa asing di sekolah baru ini. Meskipun dia sudah mulai merasa sedikit lebih nyaman, bayang-bayang kesepian masih mengikuti setiap langkahnya. Tak jarang, teman-teman perempuan sekelasnya mengganggu dengan berbagai cara, seolah-olah Ana adalah objek yang bisa mereka mainkan. Setiap kali, ia mencoba untuk mengabaikannya, namun entah mengapa, sakit itu tetap menyelusup ke dalam hatinya.

 Ketika bel tanda istirahat berbunyi, Ana duduk di bangkunya dengan buku catatan terbuka, mencoba fokus pada pelajaran yang baru saja diajarkan. Suara tawa dan bisikan teman-teman perempuan di luar kelas semakin jelas terdengar. Ana menundukkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang hampir menetes. Perasaan terasing itu semakin kuat setiap harinya, seolah dirinya adalah bagian yang tidak diinginkan dalam cerita yang sedang berlangsung di sekitar sana.

 Tiba-tiba, pintu kelas terbuka dan beberapa teman sekelasnya, termasuk Vina, muncul. Mereka melangkah masuk dengan ekspresi yang tidak ramah. Ana tahu, ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Vina mendekat dengan langkah pasti, dan langsung duduk di kursi sebelah Ana. Dia melirik Ana dengan pandangan tajam.

"Kenapa kamu di sini terus, Ana?" tanya Vina dengan nada mengejek. "Gak ada teman lain ya?"

Ana merasa wajahnya memanas, berusaha menahan diri untuk tidak merespons dengan cara yang bisa membuat situasi semakin buruk. Namun, sebelum dia bisa membuka mulut, suara lantang seorang laki-laki memotong percakapan itu.

"Vina, berhenti!" suara itu terdengar tegas dan penuh wibawa. Ana menoleh dan melihat Tama berdiri di pintu, dengan ekspresi serius. "Kenapa kamu ganggu Ana?"

Vina menatap Tama dengan mata menyala, namun Tama tidak menunjukkan tanda-tanda takut sedikit pun. "Ana nggak ganggu kamu, jadi jangan ganggu dia juga," kata Tama, berjalan mendekat ke arah Ana dan berdiri di antara mereka.

Vina terdiam sejenak, namun akhirnya mendengus dan pergi begitu saja, diikuti beberapa temannya yang masih melontarkan komentar sinis. Ana merasa sedikit lega, tapi sekaligus terkejut dengan sikap Tama yang begitu tegas. Setelah mereka pergi, Tama menoleh ke arah Ana dan tersenyum lembut.

"Jangan khawatir, Ana. Mereka cuma cari perhatian," katanya dengan nada tenang. "Kamu nggak sendirian."

Ana hanya bisa tertegun sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa berterima kasih, namun juga canggung. Tama yang biasanya selalu santai dan sedikit suka bercanda kini menunjukkan sisi yang berbeda. Ada ketegasan dalam dirinya yang membuat Ana merasa aman, meskipun hanya untuk sesaat.

 

 Saat bel istirahat berakhir dan pelajaran kembali dimulai, Ana merasa sedikit lebih tenang. Namun, perasaan itu tak berlangsung lama, karena pada saat itu juga, Eza muncul di pintu kelas, sambil membawa segelas jus jeruk.

"Eh, Ana, ini jus jeruk. Aku lihat kamu kelihatan kelelahan, jadi kupikir ini bisa bantu," ujar Eza sambil tersenyum, menyerahkan segelas minuman itu pada Ana.

Ana terkejut dan sedikit bingung. Tidak ada alasan bagi Eza untuk melakukan itu, bukan? Mereka bukan sahabat dekat atau apa, hanya teman sekelas yang tak lebih dari itu. Namun, perhatian sederhana itu begitu menyentuh hatinya. Ia menerima gelas itu dengan rasa terima kasih yang tulus.

"Terima kasih, Eza," jawab Ana, meskipun masih merasa canggung.

Eza hanya mengangguk dan kembali ke tempat duduknya tanpa berkata banyak. Namun, tatapan lembutnya tetap mengiringi Ana sepanjang waktu. Ana bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam pada sikap Eza. Meskipun Eza terkenal sebagai anak yang kaya dan tampan, ada sisi lain yang selama ini mungkin terabaikan. Sebuah sisi yang lebih peduli dan penuh perhatian.

 Setelah itu, hari-hari Ana terasa sedikit lebih ringan. Dia semakin sering berinteraksi dengan Tama dan Eza, dan meskipun kadang-kadang mereka masih bisa terdengar seperti teman-teman yang agak berlebihan, dia mulai merasa bahwa dia tidak sendirian lagi. Mereka, berdua, mulai menjadi teman yang lebih dari sekadar kenal saja. Ada kehangatan yang mulai tumbuh di antara mereka, tanpa perlu kata-kata berlebihan.

 Namun, meskipun demikian, ada satu orang yang diam-diam mengamati setiap gerak-gerik Ana, dia Juna. Sejak pertama kali Ana memasuki sekolah ini, Juna selalu mengamati dari kejauhan. Dia tidak terlalu banyak berbicara, tetapi setiap kali Ana berada dalam kesulitan, Juna selalu ada di dekatnya, meskipun tanpa kata-kata.

 Pada suatu sore, setelah pelajaran selesai, Ana berjalan keluar menuju tempat parkir sepeda, tempat di mana dia biasanya bertemu Tama dan Eza. Namun, saat ia tiba, dia melihat Juna sedang duduk di bawah pohon, menatapnya dengan penuh perhatian.

Ana merasa sedikit bingung, tetapi dia memutuskan untuk mendekat. "Juna, ada apa?" tanya Ana dengan suara pelan.

Juna menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berbicara, "Kamu baik-baik saja, Ana?" katanya dengan suara lembut. "Aku cuma ingin pastikan kalau kamu nggak merasa sendirian. Aku lihat, mereka sering ganggu kamu."

Ana terdiam. Tidak pernah ada yang berbicara seperti itu padanya. Juna, yang dikenal sebagai siswa pintar dan sedikit tertutup, tiba-tiba saja menunjukkan sisi yang peduli. Tanpa banyak bicara, Juna berdiri dan menepuk bahunya dengan lembut.

"Kalau kamu butuh teman, aku ada," katanya, lalu melangkah pergi begitu saja.

 Ana berdiri di sana, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hatinya. Tama melindunginya dengan cara yang tegas, Eza memberikan perhatian tanpa pamrih, dan Juna… Juna, dengan caranya yang misterius, ternyata juga peduli. Rasanya seperti ada tiga pahlawan yang muncul dalam hidupnya, masing-masing dengan cara mereka sendiri. Ana merasa sangat beruntung, tetapi sekaligus bingung dengan perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya.

Di tengah semua kekacauan dan kebingungan ini, Ana tahu satu hal dengan pasti: mungkin, hanya mungkin, dia tidak sendirian lagi.