Chereads / The Prince I'm Looking For / Chapter 1 - Mimpi yang Sama

The Prince I'm Looking For

lidyasuherlan
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Mimpi yang Sama

Lidya, gadis konyol yang sukanya hanya mencari perhatian makhluk hidup disekitarnya. Umur 21 tahun dan kini menetap di indonesia bagian kota bandung. Dia suka hal hal berbau di luar nalar, contoh nya saja kehidupan yang penuh triller dan misteri tak terpecahkan.

Ayam jantan berkokok menghadap surya dunia telah muncul di ujung bumi sana, tak lupa kepakan sayapnya yang menambah kehebohan di pagi buta. Tak hanya 1 ayam, tapi 1 kandang ayam milik tetangga ikut berkokok.

"Kokk kokkk kokkkk," berisik sekali.

di rumah sebelah dengan tingkat lantai 2 kamar no 7. "DUHHHH BERISIK BANGET GILAK YA TU AYAM!" teriak gadis bermata coklat itu sambil membuka pintu kamar kost nya. Jangan lupakan, daster pink di padu muka bantal bangun tidur dengan rambut acak acakannya. Kemoceng tak ketinggalan di lemparnya kebawah balkon tempat kandang ayam itu berada.

Ya, dia lidya manusia konyol yang sedang di cerita kan dan akan menjadi karakter paforite audthor kali ini.

"Gila ya tu tetangga! Pelihara ayam di bawah kostan orang, sekandang kandang isi nya belasan, ga mikir tempat apa ya?" oceh Lidya.

"TETANGGA TOLONG AYAM NYA POTONG AJA SEMUA, BERISIK NI PAGI PAGI!" lanjut nya berteriak.

"Kokkkk kokkkk kokkkk petokkkkk"

Suara ayam ayam itu semakin keras, seakan membalas omongan lidya.

"Apa lu? Mau gua goreng pake nasi sambel terasi?" pelotot nya gila dengan nada mengancam pada ayam itu.

"Kokkkk petokk petokk kokkkk!"

"Eleh.. eleh.. nyaut lu ya kurang ajar dasar ayam," gerutu nya. "Awas aja lu kalau udah cukup umur gue po- bla bla bla." sambung nya mendumel dilanjut dengan suara burung berisi umpatan cacian dan makian.

"Arghhhhh!!" garuknya abstrak pada rambut dan berbalik masuk rumah.

'BRAKKK!'

Suara pintu ditutup kencang dan rapat. Capek malah dia yang gila karena meladeni hewan, sungguh tidak jelas.

Di dalam kost, gadis itu segera mengambil handuk dan bersiap ke kamar mandi sambil melucuti satu persatu piyama tidur nya, mulut nya tak hentinya menggerutu sebal.

sesampainya ia di kamar mandi, 'Shusshh' suara shower mengisi kesunyian ruang sempit itu.

'Kecepak kecepuk'

Air mengguyur tubuh indah dan putih halus itu. Dinginnya air menyapu noda dan bau tak sedap di badan nya. Indah sekali, tubuh gadis itu sangat indah. Buah dada adahal hal kebanggaan paling menonjol, pantat yang bulat sempurna di dampingi rambut hitam panjang yang basah.

Sabun harum bunga kasturi menjadi wewangian tubuh nya. Tak sadar semuanya begitu cepat selesai, meninggalkan keran shower mati dan keluar kamar mandi dengan handuk pink soft nya.

"Uhhhh dingin.." gumamnya sambil berlari ke cermin besar setinggi pintu.

"Ohhh lihat, seperti biasa aku selalu terkagum dengan tubuh mu wahai nona muda. Hahahaha.." kikik nya geli, menyombongkan lekuk tubuhnya yang sempurna.

segera nya ia beranjak meninggalkan cermin besar itu dan mulai menata diri dengan pakaian yang sesuai keinginannya. Sambil memakaikan bh, Lidya memutar tv dan mencari chanel berita favorite nya.

"Selamat pagi semuanya, bersama lagi dengan saya gurnadi, pembawa acara kali ini-"

dengan santai ia mendengarkan, ia suka berita di chanel ini, karena selain menambah wawasan informasi yang di dapat ia juga suka karena talk berita kali ini akan membahas tentang misteri antartika. Ya.

"Pemirsa sekalian pasti tahu bagaimana keadaan antartika kali ini, gunung gunung es sedikit demi sedikit mencair. Tapi informasi dari NASA belum memberikan siaga 1 ataupun peringatan ringan terkait samudra antartika yang kini air lautnya semakin tinggi, bahkan hampir naik ke daratan negara tetangga kita yaitu australia."

"Hah? Serius?" gadis itu repleks menoleh ke televisi.

"Kami dari liputan kura kura ninja mengabarkan, dan sekian terimakasih. Sampai jumpa di lain waktu," akhirannya.

'TENG NENENG'

Suara bel berita telah usai.

Jari jemarinya mengetuk dagu sembari di pangku oleh satu tangan yang lain, "Kalau antartika meleleh.. otomatis air laut meningkat, terus batas antar samudra juga menipis atau bahkan bumi ini bisa terendam banjir. Tpi.. ga mungkin ga si? Setiap tahun bahkan puluhan tahun selalu ada pemanasan global, dan suhu disana pasti akan ada pendinginnya sendiri dari sekutu alam, tapi.."

Ia pusing memikirkan hal ini, banyak teori mengatakan, "Sebenernya di luar antartika itu ada pulau ga si?" tanya nya pada kucing putih kesayangannya yang sedang rebahan di meja riasnya.

"Meowwwww.." sahut si kucing.

'Hi by i love u' suara notifikasi berbunyi dari handphone pipih berlogo durian, mengagetkan sesaat.

Lidya berjalan mengambil handphone nya. Terlihat disana pesan masuk dari seseorang yang di beri nama kontak, Vadel takodel kodel.

Vadel messege, "Lid, lo tau loli dimana?"

'Hah? Mana gue tau bzirrr' itu lah kata hati gadis itu dengan tatapan sebal.

back messege, "G"

Di lemparnya benda tersebut ke atas kasur. Mood nya sedang tidak baik baik saja, harap maklum.

Suara televisi masih mengisi ruangan, tapi pikirannya melayang ke pesan dari Vadel barusan.

Rasa penasaran mulai menggelitiknya. "Ah, bodo amat!" katanya sembari membanting tubuh ke kasur. Namun pikirannya terusik, membuat ia tidak bisa tidur.

Tapi dasar kepala kebo, nempel bantal dikit langsung teler. Pada akhirnya dia tertidur dengan mimpi yang menanti.

.

.

.

Seorang anak kecil berkepang 2 tengah bermain di atas perosotan anak anak. Umurnya masih 7 tahun, dia kabur dari rumah karena ngotot tidak mau sekolah, alasannya karena ia ingin mencari orang tuanya yang tidak pernah kembali dari luar negeri, hingga dirinya terpaksa di titipkan pada neneknya.

"Hikss.."

Rupanya anak perempuan itu sedang menangis. Air mata dan nafas yang tersenggal senggal lelah. Mata merah nya tidak bisa berbohong, linangan air mata begitu menyayat ketika dilihat oleh hati.

Sendirian, ditengah badai salju yang halus. Di pastikan beberapa jam lagi akan ada salju turun dengan lebat.

"Kenapa ibu dan ayah ninggalin Aleta? Aleta ga mau jauh dari kalian, kalian jahat huuuuu.." tangisnya dengan suara yang kecil.

Burung burung berwarna padu hijau merah biru, kucing berbulu imut lainnya menyaksikan hal tersebut dari tak jauh jaraknya.

Mereka seperti merasakan kesepian mendalam dari anak tersebut, entah kebetulan atau tidak tapi hewan hewan jinak tersebut seperti sedang menjaga anak tersebut dari gangguan di sekitar nya.

Contohnya saja anak laki laki bandel yang tidak pernah bersekolah dan hanya tahu main, hendak menghampiri suara tangisan dari tempat bermain kanak kanak, tapi secara cepat di halangi kucing jantan dengan di gigitnya tumit kaki anak itu, hingga anak laki laki tersebut terhenyak dan kaget menerima kesakitan tiba tiba.

"Lepasin! Syuhh syuhh!" henyak nya menendang kucing oren tersebut.

Tanpa mau tahu apapun lagi, meninggalkan rasa penasarannya, anak itu pergi dan lari ketika ada kesempatan. Kucing nya pun tak mengejar, seperti sengaja.

Burung burung yang melihat di sekitar mengitari taman bermain itu, tepatnya di atas perosotan dimana anak perempuan tersebut tengah bersembunyi.

Tangisan kecil masih terdengar lirih, tapi sesuatu yang berkilau datang dengan siluet angin yang begitu dingin, sampai sampai dedaunan dan air genangan di selokan ikut membeku.

Cauca di luar semakin dingin.

Tap tap tap

Suara langkah gagah seseorang terdengar mendekat, anak perempuan itu mendongakan kepalanya sedikit dan mengintip dari balik jari jemarinya yang mungil.

Anak itu takut, khawatir orang jahat menghampirinya. Namun, ada yang aneh. Angin dingin membawa siluet seseorang. Langkahnya terdengar berat, namun penuh wibawa.

"Ppa-paman siapa?" tanyanya terbata.

Aleta tak bisa melihat jelas wajah orang itu, sosok tersebut pun tak langsung menjawab. Ia mengulurkan tangan putih pucat dengan kuku berkilauan biru.

"Panggil aku Pangeran," ujarnya dengan suara lembut namun dingin.

Aleta menatap tangannya dengan ragu, lalu menggeleng cepat. "Nggak mau! Aku nggak kenal!"

Pangeran hanya tersenyum tipis, kekecewaan terlihat jelas di wajahnya. "Kamu istimewa, Aleta. Dunia ini memanggilmu..."

Udara di sekitar mereka semakin dingin, membawa keheningan yang menakutkan. badai salju mulai menjadi ancaman nyata. Aleta masih duduk meringkuk di atas perosotan.

Pangeran itu tetap berdiri, diam namun penuh wibawa. Suara angin berdesir membawa aura dingin yang tidak biasa.

"Aleta," ucap Pangeran perlahan. "Kamu tahu, kan, dunia ini lebih luas daripada yang kamu bayangkan?"

Aleta menatapnya dengan tatapan penuh air mata. Ia ingin menjauh, tapi tubuhnya terlalu lemah karena dingin.

"Apa maksud paman?" tanyanya pelan.

Pangeran berlutut, mendekatkan wajahnya. Matanya yang biru seperti laut dangkal memandang gadis kecil itu dalam-dalam.

"Kamu tidak seharusnya ada di sini. Tempatmu bukan di dunia ini."

Aleta menggeleng, kebingungan. "Aku mau pulang... ke Ibu dan Ayah..." suaranya bergetar.

"Ayah dan Ibumu sudah memilih untuk meninggalkanmu. Tapi aku tidak. Aku di sini untuk menjagamu, Aleta," ujarnya dengan nada yang menenangkan gadis itu.

Burung-burung yang tadi mengitari taman tiba-tiba pergi, seolah menghindar dari keberadaan pangeran. Kucing oren yang setia menjaga Aleta menatapnya dengan mata waspada, mendengkur pelan.

Pangeran berdiri, menepuk debu dari jubahnya. "Aku akan memberimu waktu, Aleta. Tapi jangan membuatku menunggu terlalu lama." Setelah itu, ia berjalan menjauh, meninggalkan jejak es di rumput yang membeku.

Tapi seketika Aleta tersedot oleh dimensi lain, dia anak kecil yang kini berada di sebuah hamparan es tebal tak berujung. Tidak ada jalan ataupun celah.

Remang

Suara deru angin dingin itu masih terdengar, seperti menggema dalam pikirannya. Sosok pangeran dengan mata biru menyala dan aura dinginnya yang menusuk tulang semakin mendekat. Wajahnya nyaris tak terbaca, namun senyumnya penuh teka-teki.

"Aleta... Waktumu telah tiba..."

Suara itu bergema, begitu dalam dan tajam hingga seakan menembus gendang telinga. Anak itu berdiri ditengah hamparan salju yang tak berujung, tubuhnya menggigil. Ia ingin bergerak, tapi kakinya seolah tertanam dalam es.

"Siapa?" anak itu berusaha bicara, tapi suaranya hilang, tenggelam dalam suara badai salju yang menderu.

Tiba-tiba, pangeran itu melangkah mendekat dengan tangan terulur. Mata birunya bersinar terang, menusuk hingga ke relung jiwa. Dingin itu menjadi terlalu nyata, membakar kulitnya. Ia ingin berteriak, ingin lari, tapi tubuhnya membeku!

Sebuah suara melengking menghantam udara, seperti ledakan angin yang membelah dunia. Pangeran itu menghilang, tergantikan oleh kegelapan pekat.

Lalu, "BRAKK!"

Lidya terbangun dengan napas memburu, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Pandangannya liar menyapu kamar yang berantakan. Poster di dinding, kipas angin berdengung lemah, televisi yang setia menyala di berita yang sama dan... ayam sialan yang masih berkokok di luar.

"Ayam brengsek! Kokok lo nyampe mimpi gua!" Lidya menggerutu sambil meraih bantal dan menutup wajahnya. Jantungnya masih berdetak kencang, bayangan pangeran bermata biru itu terlalu nyata untuk dilupakan begitu saja.

Namun, ada sesuatu yang aneh. Di jendela kamarnya, embun beku melapisi kaca—sesuatu yang mustahil di pagi Bandung yang hangat.

Lidya menatapnya lama, lalu bergumam pelan. "Mimpi ini lagi.."