Chereads / Penyamar Dari Tanah Legendaris Mistik / Chapter 3 - Lebih Gelap Dari Malam

Chapter 3 - Lebih Gelap Dari Malam

Hari ke empat, di bawah langit kelabu yang menggantung rendah, Cino, Tara, dan Nusa berdiri di tepi Hutan Terlarang. Pepohonan di hadapan mereka menjulang tinggi, batangnya berwarna hitam legam dan daunnya yang lebat menutupi cahaya matahari, menciptakan kegelapan abadi di dalamnya. Udara di sekitar hutan terasa dingin dan lembap, berbeda dengan udara segar di perkemahan.

Tara, yang biasanya ceria dan penuh semangat, kini tampak pucat. Tangannya gemetar saat memegang busurnya"Ini... Hutan terlarang yang sesungguhnya" ucap Tara menatap titik-titik cahaya yang memantul biru diantara kegelapan hutan, Ia bergidik, merasakan bulu kuduknya meremang, "kita sudah sampai di titik terujung peta" Tara menatap Cino

"ya..." Cino dengan menelan sedikit ludahnya, memahami bahwa apa yang ada kedepannya belum pernah terjamah oleh manusia manapun.

sementara Nusa yang selalu tenang, pun menunjukkan tanda-tanda kegugupan. Ia mengusap-usap perisaitnya dengan gelisah, matanya menyipit saat menatap kegelapan di dalam hutan, terpaku pada hawa misterius dari sesuatu di dalam sana, Sean nampak tidak terlalu menghiraukan semua itu. 

Mereka melangkah memasuki hutan. Begitu mereka melewati batas pepohonan, kegelapan langsung menyelimuti mereka. Cahaya matahari yang tidak dapat menembus lebatnya dedaunan, menciptakan suasana yang suram dan menakutkan. Udara terasa semakin dingin dan lembap, dan suara-suara aneh mulai terdengar dari segala arah: suara ranting patah, desisan angin, dan lolongan jauh yang membuat bulu kuduk meremang.

Beberapa langkah ke dalam hutan, mereka melihat sesuatu bergerak di antara pepohonan. Sebuah bayangan hitam besar melintas dengan cepat, terlalu cepat untuk diidentifikasi. Tara tersentak dan tanpa sadar menarik anak panahnya, siap menembak. Cino meletakkan tangannya di bahu Tara, memberi isyarat untuk tenang.

"Jangan gegabah," bisik Cino. "Kita belum tahu apa itu."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, mata mereka awas mengamati setiap sudut dan bayangan. Tiba-tiba, mereka melihat sekelebat cahaya di kejauhan. Mereka mendekat perlahan dan menemukan sebuah kolam kecil yang airnya berwarna hitam pekat. Di permukaan kolam, terlihat bayangan-bayangan aneh yang bergerak-gerak, seperti wajah-wajah yang tersiksa. Nusa mundur selangkah, wajahnya pucat pasi.

"Aura di sini… terasa memuakkan," bisiknya, suaranya bergetar. "Seperti disentuh bangkai-bangkai busuk.". Ia merasakan kekuatan gelap yang kuat memancar dari kolam itu, kekuatan yang mengancam untuk menarik mereka ke dalamnya. sementara Sean menatap kedalam kolam itu dengan wajah datar, ekspresinya seperti orang buta tidak melihat apapun, dan sikapnya menjadi lebih pasif.

Saat mereka hendak beranjak dari kolam air hitam yang permukaannya beriak aneh, gemerisik keras memecah kesunyian. Semak-semak di dekat mereka berguncang hebat, ranting-ranting patah dengan suara berderak. Dari balik dedaunan yang bergesekan, muncul sebuah sosok raksasa. Bukan sekadar besar, tetapi monumental. Ukurannya melampaui imajinasi mereka, lebih besar dari tiga ekor gajah Afrika dewasa yang disatukan. Tubuhnya kekar dan berotot, ditutupi bulu putih pucat yang tampak berkilauan di antara bayangan. Namun, yang paling mencolok adalah kepalanya: bukan satu, melainkan tiga kepala serigala yang masing-masing menatap ke arah yang berbeda, mata merah mereka menyala seperti bara api di tengah kegelapan. Uap tipis keluar dari mulut mereka yang terbuka, memperlihatkan gigi-gigi tajam sebesar belati.

Nusa, yang biasanya tenang dan percaya diri, tersentak mundur. Matanya membelalak, keringat dingin membasahi dahinya. Tanpa ragu, ia mengangkat perisainya—sebuah lempengan logam berat yang biasanya hanya sedikit lebih besar dari tubuhnya—dan dengan konsentrasi penuh, ia menyalurkan kekuatannya. Perisai itu berdesir, membesar dengan cepat hingga ukurannya melampaui tinggi pohon-pohon kecil di sekitarnya, membentuk dinding logam raksasa di antara mereka dan makhluk itu. Ia terengah-engah, wajahnya memerah karena mengerahkan kekuatan yang begitu besar.

Tara, dengan tangan gemetar, menarik anak panahnya ke belakang busurnya. Jari-jarinya mencengkeram tali busur begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia membidik salah satu kepala serigala raksasa itu, tetapi gerakannya terhenti. Makhluk itu tidak menunjukkan tanda-tanda agresi, melainkan hanya berdiri diam, ketiga kepalanya bergerak perlahan, mengamati dan mengintari mereka dengan tatapan yang tenang—namun terasa begitu mengancam. Tatapan itu bukan tatapan binatang buas yang siap menerkam, melainkan tatapan predator cerdas yang sedang menilai mangsanya.

Cino menghunus pedangnya dengan gerakan cepat dan mantap. Kilau perak pedangnya memantulkan sedikit cahaya yang menembus dedaunan. Ia berdiri di depan Tara dan Nusa, tubuhnya tegang, siap menghadapi serangan apapun. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, tetapi ia berusaha tetap tenang. Ia tahu, sekali saja mereka lengah, nyawa mereka bisa melayang.

Sejak awal kemunculan makhluk itu, Sean berdiri di belakang mereka, di antara bayangan pepohonan kecil. Ia tidak berteriak, tidak pula memberi peringatan—seolah kehadirannya dan pengetahuan yang ia miliki tentang makhluk itu adalah hal yang wajar. Wajahnya memerah, bukan karena takut, tetapi karena keterkejutan dan kekaguman yang luar biasa. Matanya terbelalak lebar, bukan karena ngeri, melainkan karena rasa ingin tahu yang membuncah. Ia memandang makhluk raksasa berkepala tiga itu dengan tatapan yang sama seperti seorang naturalis yang menemukan spesies baru yang belum pernah tercatat.

Ia menghela napas pendek, seperti baru saja berlari jarak jauh. Bibirnya sedikit terbuka, seolah kata-kata tercekat di tenggorokannya. Ia mengangkat satu tangan, jarinya sedikit gemetar, seolah ingin menyentuh—sesuatu yang mustahil dilakukan, mengingat ukuran dan aura makhluk itu.

"Cerberus," bisiknya akhirnya, suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena takjub. Kata itu meluncur dari bibirnya dengan nada yang sama seperti seorang ilmuwan yang mengucapkan nama latin dari penemuan barunya. Ada nada hormat, bahkan kekaguman, dalam suaranya.

Pertemuan di Kegelapan

Langkah kaki mereka meresap dalam tanah lembap, suara gemeretak ranting kering tertelan oleh keheningan yang menakutkan. Udara terasa berat, dingin menusuk, membawa aroma tanah basah bercampur daun yang membusuk. Pepohonan menjulang seperti dinding gelap, menutup langit di atas mereka.

Ketika Cerberus muncul dari bayang-bayang, langkah mereka terhenti serentak. Makhluk itu monumental. Ketiga kepala serigalanya bergerak bergantian, memindai mereka dengan mata merah menyala seperti bara api. Uap panas mengepul dari lubang hidungnya, membentuk awan tipis di udara dingin. Sean menatap tanpa berkedip, sementara Tara mencengkeram busurnya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Di sisi lain, Nusa mengencangkan pegangan pada perisainya yang besar.

"Ini... penjaga," bisik Sean, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan. Ia melangkah maju perlahan, namun matanya tetap waspada. "Mungkin kita tidak akan diserang jika tetap tenang."

"Penjaga apa?" Nusa bergumam dengan nada gelisah. Perisainya sedikit berderit saat ia bergerak, menciptakan suara yang terdengar begitu keras di tengah sunyi.

Tara menggigit bibir, tatapannya berpindah-pindah dari makhluk itu ke Sean. "Apa yang harus kita lakukan? Serang atau... mundur?"

Cerberus mengeluarkan suara geraman rendah, seolah menjawab pertanyaan itu. Kepalanya yang di tengah mencondongkan diri ke arah mereka, giginya yang sebesar belati terlihat jelas dalam cahaya remang-remang. Namun, sebelum ada yang bergerak, sesuatu terjadi. Dari balik pepohonan, muncul cahaya redup—biru dan dingin—berpendar seperti bola api kecil. Cahaya itu melayang mendekat, menari pelan di udara.

Bisikan mulai terdengar, seperti angin yang menyelinap di antara dedaunan. "Siapa yang memasuki wilayah ini tanpa izin?" Suaranya tidak berasal dari makhluk itu, melainkan dari udara di sekitar mereka, menggetarkan tulang punggung.

Cerberus mundur perlahan, gerakannya halus namun penuh kekuatan, seperti memberi jalan pada sesuatu yang lebih besar. Dari dalam kegelapan, muncul sosok tinggi dengan langkah yang tidak bersuara. Wanita itu memiliki kulit seputih bulan, rambut panjang hitam yang berkibar ringan, dan mata hijau bercahaya yang seperti menembus jiwa. Jubah hitam panjangnya dihiasi pola-pola bercahaya, menyerupai konstelasi bintang.

Ia berhenti beberapa langkah dari mereka, tongkat kayu yang dipegangnya bersinar di ujungnya, kristal biru berpendar lembut. "Manusia," ucapnya, suaranya dingin seperti es, namun ada nada penasaran di dalamnya. "Apa yang kalian cari di Hutan Terlarang?"

Sean melangkah maju, tubuhnya tegap meski ketegangan terasa jelas dari napasnya yang berat. "Kami mencari bantuan," katanya, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Kaummu adalah harapan terakhir kami."

Wanita itu memiringkan kepalanya sedikit, menatap Sean seperti menilai keberaniannya. Kemudian, ia melirik Cerberus yang masih berdiri diam di belakang mereka. "Makhluk ini tidak menyerang kalian. Itu berarti kalian jujur... atau bodoh," katanya, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis. "Aku Isla sang Penjaga gerbang dunia Elf" ucapnya dengan nada sedikit angkuh

Saat itu, tatapan Isla dan Sean bertemu. Mata mereka terkunci sesaat, dan waktu seolah melambat. Isla sempat memejamkan matanya sejenak, seolah memeriksa kembali apa yang ia rasakan, sebelum mengalihkan pandangannya dengan halus. Sean, meskipun tatapannya tetap tenang, menelan ludah perlahan. Kedua orang itu tidak berkata apa-apa, namun ada ketegangan tak terlihat yang menyelimuti mereka, seperti dua potongan teka-teki yang hampir menyatu.

Cino melangkah maju, wajahnya menampakkan ketenangan seorang pemimpin. "Penjaga Isla, kami datang bukan untuk mengganggu kedamaian kaummu," katanya dengan suara lantang namun sopan. "Kami berasal dari Timur, tempat yang sedang dilanda kehancuran. Bantuan dari kaum Elf dapat menyelamatkan banyak jiwa."

Isla mengangkat satu alis, ekspresinya tetap dingin. "Jangan berbicara seolah kau tahu soal kaumku, Dan mengapa kaum elf harus peduli pada kehancuran manusia?" tanyanya, nadanya menusuk.

Cino menahan napas sejenak, matanya bersinar dengan keyakinan. "Karena kedamaian kami adalah cerminan dari kedamaian kalian. Jika Barat menghancurkan kami, apa yang menghentikan mereka untuk berbalik menyerang wilayah kalian? Kaum Elf dan manusia memiliki sejarah yang panjang, baik konflik maupun kerja sama. Kami memohon, beri kami kesempatan untuk membuktikan bahwa aliansi ini akan menguntungkan kita semua."

Isla tampak hendak menjawab, namun tatapannya kembali jatuh pada Sean yang masih berdiri diam, matanya penuh kesungguhan. Isla menghela napas pelan, hampir tak terdengar. "Baiklah," katanya akhirnya, meskipun suaranya terdengar berat. "Ikuti aku. Tapi ingat, langkah kalian di dunia kami diawasi." Tatapannya kembali pada Sean sesaat sebelum ia berbalik, melangkah dengan anggun di depan mereka.

Ketika mereka melangkah lebih dalam, atmosfer di sekitar mereka berubah drastis. Udara menjadi lebih ringan, namun tubuh mereka terasa tertarik oleh gravitasi yang tak terlihat. Cahaya redup dari pepohonan perlahan memudar, digantikan oleh semburat warna-warni yang berkilauan seperti aurora. Seketika, hutan gelap menghilang, digantikan oleh pemandangan kota tersembunyi yang luar biasa.

Di depan mata mereka, sebuah kota berdiri megah di atas pohon raksasa. Menara-menara kayu bercahaya lembut menjulang ke langit, dihiasi ukiran rumit yang memantulkan cahaya bintang. Jembatan gantung yang halus dan kokoh menghubungkan setiap bangunan, menciptakan harmoni sempurna di udara.

Saat Isla melangkah mendekati gerbang utama bersama mereka, para Elf penjaga yang berdiri di kedua sisi membungkuk dalam-dalam. Tatapan mereka tidak hanya menunjukkan penghormatan, tetapi juga kekaguman yang hampir seperti ketakjuban. Kemudian warga Elf dan para pasukan sampai menghentikan aktifitas hanya untuk menyaksikan.

"Nona Isla," salah satu penjaga berbisik, suaranya dipenuhi rasa terkejut. "Anda... kembali ke istana?"

Isla tidak menjawab, hanya memberi anggukan kecil. Wajahnya tetap datar, namun langkahnya sedikit lebih cepat, seolah ingin menyelesaikan tugas ini sesegera mungkin.

Di dalam aula utama istana, Raja Elf berdiri dari tahtanya saat melihat Isla. Matanya melebar, dan ia membungkuk dalam penghormatan yang tidak biasa. "Isla... kehormatan apa yang membawa Anda ke sini?"

Isla hanya melirik ke arah Sean sebelum menjawab, "Mereka butuh bantuan, dan saya membawa mereka untuk berdiskusi."

Raja menoleh ke arah Cino dan kelompoknya, ekspresinya berubah menjadi lebih tegas. "Bicara," perintahnya.

Cino melangkah maju, membungkuk hormat. "Yang Mulia, kami memohon bantuan dari kaum Elf. Barat telah menghancurkan tanah kami, dan kami tidak memiliki kekuatan untuk melawan tanpa aliansi. Saya berjanji, kami akan mematuhi semua syarat dan batasan yang Anda tetapkan."

Raja mengerutkan dahi, tampak ragu. "Menggabungkan pasukan kami dengan manusia akan menjadi risiko besar. Kami tidak mempercayai mereka, terutama mungkin saja kalian akan meminta aliansi kepada Dark Elf, mereka dan kami memiliki sentimen yang—"

Cino segera menyela dengan nada penuh semangat. "Kami tidak meminta Anda mempercayai semua manusia, hanya kami. Saya berjanji pasukan kami tidak akan berada dalam satu regu dengan Dark Elf. Kami hanya ingin kesempatan untuk melawan bersama, bukan mengambil alih." Suaranya menggema di aula, penuh keyakinan dan semangat yang membara.

Raja terdiam, menatap Cino dalam-dalam, lalu melirik Isla. "Apakah Anda berkenan menyampaikan pemikiran Anda mengenai hal ini?" tanyanya dengan intonasi, bahasa yang seketika hormat.

Isla menatap Sean sejenak sebelum menjawab pelan. "Mungkin mereka pantas diberi kesempatan."

Raja menghela napas berat, lalu mengangguk. "Baiklah. Saya akan memberikan beberapa perwakilan. Tapi ingat, langkah kalian diawasi, dan pelanggaran sekecil apapun tidak akan dimaafkan."

Malam Hari di Dunia Elf

Malam setelah pertemuan itu, di bawah langit yang gelap dan berbintang, dua orang Elf muda diperkenalkan kepada mereka. Nova Glacia, seorang penyihir luar biasa yang telah mempelajari banyak jenis sihir, dan Nordir Vulkan, kapten pasukan perang Elf yang terkenal dengan kekuatan dan strateginya. Nova melangkah maju, matanya bersinar antusias saat ia memperkenalkan diri. "Saya Nova Glacia," katanya dengan nada ramah namun penuh percaya diri. "Saya mengabdikan hidup saya untuk seni sihir. Meski kemampuan saya terbatas, saya telah mempelajari sihir dari garis keturunan panjang para murid Grandmaster Isla."

Nordir Vulkan, dengan tatapan tajam dan sikap tenang, hanya memberikan anggukan kecil. "Nordir Vulkan," ucapnya singkat, suaranya berat namun tegas. "Kehormatan untuk mendampingi misi ini. Saya akan memberikan yang terbaik dari kemampuan saya."

Mereka berbincang sejenak, memperkenalkan diri lebih lanjut sebelum akhirnya satu per satu tertidur dalam keheningan malam. Namun, Sean tidak bisa tidur. Ia melangkah keluar dari kamar, membiarkan udara malam menyentuh wajahnya. Langit di dunia Elf terasa berbeda. Bulan terlihat jauh lebih besar, cahayanya lebih terang, memberikan suasana magis yang menenangkan sekaligus Mengagumkan "Lagi?" Sebuah suara dingin namun lembut terdengar dari belakang. Isla berdiri beberapa langkah darinya, rambut hitamnya berkibar perlahan diterpa angin. Mata mereka tidak bertemu, namun atmosfer di antara mereka terasa berat.

Sean hanya mengangguk pelan. Wajahnya samar dalam cahaya bulan, ekspresinya sulit dibaca.

Isla terdiam sesaat, lalu mengambil sesuatu dari jubahnya. "Aku bersedia mendengarkan, jika kau butuh..." ucapnya, sambil meletakkan sebuah gelang putih seperti kapur dengan permata hijau sehijau matanya. Cahaya permata itu memancar lembut dalam genggamannya sebelum ia menyerahkannya kepada Sean.

Sean mengambil gelang itu tanpa berkata-kata. Saat Isla berbalik untuk pergi, Sean akhirnya berbicara. "Terima kasih," katanya pelan namun tulus.

Isla berhenti sejenak, tubuhnya menegang. Ia tidak menoleh, namun wajahnya tampak sedikit terkejut. Dengan anggukan kecil, ia berjalan menjauh, menghilang di balik bayangan malam.

Keesokan Hari

Mentari pagi menyentuh dedaunan Kerajaan Elf dengan warna keemasan, namun kehangatan itu seketika sirna. Isla mengangkat tangannya, telapaknya terbuka menghadap mereka. Sebuah pusaran cahaya keperakan muncul di antara mereka, memancarkan desiran energi yang membuat bulu kuduk meremang. Detik berikutnya, sensasi aneh menyerbu indra mereka—seperti ditarik melalui air yang sangat dingin dan padat, lalu tiba-tiba menghilang.Kerajaan Elf, dengan Pepohonan berukuran luar biasa mendominasi lanskap, rumah-rumah dan menara-menara kayu yang diterangi cahaya lembut menjulang tinggi, lenyap secepat kedipan mata. Mereka sekarang berdiri di tanah berumput yang luas, di kejauhan tampak tembok batu raksasa yang mengelilingi sebuah kota—gerbang kerajaan Cino. Angin berhembus membawa aroma tanah dan asap dari perapian. Suara gemuruh aktivitas kota terdengar sayup-sayup.Mata Nova Glacia membulat sempurna, rahangnya sedikit terbuka, napasnya tercekat. Ia memandang sekeliling dengan tatapan kosong, seolah baru saja terbangun dari mimpi. Jari-jarinya gemetar menyentuh udara di sekitarnya, mencoba merasakan sisa-sisa energi sihir yang baru saja membawanya ke tempat ini. "Tele… teleportasi?" bisiknya dengan suara tercekat, matanya berkaca-kaca. "Kukira… kukira itu cuma legenda. Bagaimana… bagaimana mungkin?" Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mencerna kenyataan yang dihadapinya.Cino terdiam membatu, matanya terpaku pada tempat di mana Kota Eldoria baru saja berdiri. Mulutnya sedikit menganga, ekspresi tidak percaya terpancar jelas di wajahnya. Ia beberapa kali mengedipkan mata, berharap pemandangan di depannya akan berubah kembali, namun yang ia lihat hanyalah hamparan padang rumput dan tembok kota yang menjulang.Tara dan Nusa saling berpegangan tangan erat, wajah mereka pucat pasi. Mereka saling bertukar pandang dengan mata melebar, ekspresi ketakutan dan kekaguman bercampur aduk. Mereka merasakan jantung mereka berdebar kencang, masih merasakan sensasi aneh dari perjalanan singkat namun mencengangkan tersebut.Vulkan, yang biasanya tenang dan stoik, terlihat linglung. Ia mengusap matanya beberapa kali, lalu menatap tangannya sendiri, seolah memeriksa apakah dirinya masih nyata. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Ini… di luar nalar," gumamnya dengan suara berat, namun di balik nada tenangnya tersirat kekaguman yang mendalam.Sean tersenyum "kau memang hebat" pujinyaDari sudut matanya, Isla tersenyum tipis, hampir tak terlihat. Senyum misterius itu hanya bertahan sesaat sebelum ia berbalik dan menghilang dalam pusaran cahaya keemasan, meninggalkan aroma bunga night jasmine yang samar di udara, dan kenangan akan teleportasi yang baru saja mereka alami.