Chereads / Penyamar Dari Tanah Legendaris Mistik / Chapter 2 - Menuju jantung Hijau Kegelapan

Chapter 2 - Menuju jantung Hijau Kegelapan

New beigining

Dinding-dinding bangunan yang dulunya kokoh kini dipenuhi retakan menganga, seperti luka yang tak kunjung sembuh. Batu-batu berserakan di jalanan, membentuk gundukan kecil di antara debu dan puing. Beberapa bagian tembok kota menghitam bekas kobaran api, dan aroma anyir bercampur asap masih menusuk hidung, meski beberapa bulan telah berlalu. Noda-noda gelap mengering di beberapa titik jalan, membentuk pola abstrak yang mengerikan—di beberapa tempat, bentuknya menyerupai bayangan tubuh manusia.

Di antara reruntuhan, beberapa bendera Party Barat berkibar setengah tiang tertiup angin—sebuah ironi yang menyakitkan, seolah mengejek penderitaan kota ini. Kota ini, dulunya merupakan bagian tak terpisahkan dari faksi Timur, kini menjadi monumen bisu sebuah pengkhianatan. Konspirasi yang dirancang Rick telah menyeret mereka ke dalam pelukan Barat, sebuah pilihan yang awalnya dijanjikan sebagai jalan keluar dari kesulitan, namun justru berujung pada petaka yang lebih mengerikan. Bukan hanya kehilangan perlindungan dari Timur, mereka justru menghadapi kekejaman yang tak terbayangkan dari pihak yang seharusnya menjadi sekutu.

Tangan-tangan para pejabat yang dulunya kertas dan pena kini dipaksa mencengkeram cambuk dan senjata, mengawasi ladang-ladang yang ditanami rakyatnya secara paksa bahkan bukan untuk kebutuhan mereka, melainkan memuaskan perut orang Barat. Bisik-bisik tentang pengkhianatan masih terdengar di antara penduduk yang selamat, bercampur dengan isak tangis dan kutukan. Seorang wanita tua berjalan terseok-seok di antara reruntuhan, matanya kosong menatap sebuah sumur yang dipenuhi mayat. Sudah jatuh tertimpa tangga, dan sekarang tenggelam di sumur yang sama, gumamnya dengan suara serak, sambil menunjuk ke arah sumur itu—sebuah metafora yang lebih mengerikan dari yang ia sadari.

Beberapa bangunan hancur bukan karena pertempuran, melainkan karena sengaja diratakan dengan tanah, sebagai peringatan bagi yang berani melawan. Di dinding-dinding yang masih berdiri, coretan-coretan kasar dan kata-kata penghinaan terpampang jelas, sebuah bukti bisu tentang kebencian yang membabi buta. Di pasar kota yang dulunya ramai, kini hanya tersisa puing dan beberapa tiang gantungan yang berayun pelan tertiup angin. Lebih mengerikan lagi, beberapa tiang gantungan dibangun tepat di depan rumah-rumah penduduk, tempat dimana mereka dipaksa menyaksikan anggota keluarga mereka meregang nyawa karena menolak tanam paksa. Kota ini, yang tadinya merupakan salah satu urat nadi suplai musuh, disaat yang bersamaan juga menjadi monumen bisu sebuah pembantaian, pengingat pahit bahwa terkadang, berpihak pada pemenang tidak menjamin keselamatan, justru mendatangkan kehancuran yang lebih dahsyat.

Misi baru

Sean duduk di sudut ruang pertemuan yang remang-remang, bahunya merosot, tatapannya kosong menatap lantai yang berdebu. Jari-jarinya tanpa sadar mengusap bekas luka di bahu kirinya, tempat perban yang mulai kotor masih melingkar. Ia bisa merasakan tekstur kasar kain itu bergesekan dengan kulitnya yang masih sensitif. Bukan rasa sakit fisik yang mengganggunya, melainkan bayangan Aisya yang tergeletak di antara puing, matanya terbuka kosong menatap langit.

Di dekatnya, pedangnya—biasanya memancarkan cahaya hijau lembut—tergeletak tak berdaya di atas bebatuan, cahayanya padam. Ia masih ingat kilatan Listrik ber cahaya putih kebiruan yang memercik kencang dari cambuk yang melilit tubuh Aisya, menyambar Aisya tepat di sekujur tubuhnya. Kulit di sekitar titik hantaman itu tampak menghitam dan tercabik, asap tipis mengepul darinya. Tubuh Aisya menegang sesaat sebelum jatuh membentur tanah dengan suara berdebam yang memilukan. Pedangnya, yang biasanya digenggam erat, terlempar beberapa meter jauhnya, logam dan ganggangnya hangus. Dan kemudian, ledakan itu—getarannya masih terasa di telinganya. Sebelum semuanya menjadi gelap, ia mendengar suara parau Sean meneriakkan namanya, kini Aisya hanya terbaring lemas dan belum sadarkan diri seolah hantaman Listrik itu menghambat proses penyembuhan ditubuh Aisya, setiap hari Sean mengunjunginya setiap hari juga keadaan Aisya semakin memburuk.

Cino berdiri di depan peta dunia Aerth yang besar, menunjuk area hijau tua di selatan. Ekspresi wajahnya tenang, tapi matanya memancarkan kesungguhan. Ia melirik Sean dengan tatapan penuh pengertian. Ia tahu betul Sean masih berjuang menghadapi rasa bersalah yang begitu mendalam. Ia mengerti, kadang yang dibutuhkan bukan kata-kata, tapi pengalihan.

Cino berjalan mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Sean, memberikan sedikit tekanan.

"Sean," ucapnya lembut, namun dengan nada yang tegas. "Kita pergi."

Sean mendongak perlahan, matanya sayu.Cino menunjuk peta.

"Hutan Terlarang. Kudengar ada kabar tentang kaum Elf dan Dark Elf di sana. Mereka memiliki kekuatan sihir yang luar biasa dan umur yang Panjang, berliansi dengan mereka bisa sangat krusial. Terutama setelah… kejadian itu." Cino berhenti sejenak, memberi Sean waktu untuk mencerna. Lalu, dengan nada lebih berwibawa, ia melanjutkan, "Ini bukan sekadar misi. Ini tugas penting. Mungkin saja disana ada healer hebat yang bisa mengobati rekan kita, Sean Kita harus terus bergerak maju."

Ia menoleh pada dua orang di belakangnya. "Tara," panggilnya, menunjuk wanita berambut keriting yang balas tersenyum tipis. Tara mengangkat tangannya, memperlihatkan kilatan cahaya hijau emerald yang sekejap muncul dan menghilang di telapak tangannya. "Dia akan memandu kita di hutan."

Cino beralih ke pria berbadan besar di dekat pintu. Zirahnya tampak berat dan kokoh, perisainya seperti tembok berjalan. "Dan Nusa akan memastikan kita tetap hidup," ujarnya datar. Nusa mengangguk singkat, perisainya berderit.

Sean mengalihkan pandangannya dari Tara dan Nusa kembali ke Cino. Ada sedikit perubahan dalam sorot matanya, mulai muncul secercah fokus. "Hutan Terlarang? Sihir… Healer?" tanyanya pelan, namun dengan nada yang lebih tegas, seolah dia baru sadar sesuatu.

Cino mengangguk mantap. "Ya. Kita butuh… perspektif baru. Dan mungkin, ini cara terbaik untuk membantu mereka." Tatapannya melembut, namun tetap ada ketegasan di dalamnya, walau jauh didalam hatinya yang juga masih besedih Cino benar-benar ingin Aisya Kembali pulih sepeti semula.

Sean menarik napas dalam, lalu mengangguk. Ia berdiri, menatap peta, lalu kembali menatap Cino. Ada tekad yang mulai menyala di matanya. "Baik," katanya.

Perjalanan Menuju Hutan terlarang

Day 1

Mentari pagi mencium puncak-puncak Pegunungan Veloria, mewarnai salju abadinya dengan semburat oranye dan merah muda. Embun pagi membekukan rumput di kaki gunung, tempat rombongan mereka memulai perjalanan. Napas Sean mengepul membentuk awan putih di udara dingin yang menusuk. Ia mengencangkan ikatan ranselnya, merasakan beratnya persediaan yang ia bawa—pengingat akan perjalanan panjang di depan mereka. Bebatuan kasar menusuk telapak kakinya meski terlindung sepatu bot. Lanskap dengan cepat berubah. Mereka meninggalkan lereng berbatu, memasuki hutan pinus yang rapat. Aroma getah pinus memenuhi udara, bercampur dengan bau tanah lembap. Di bawah kaki mereka, jarum-jarum pinus membentuk karpet cokelat yang empuk.

Tara berjalan dengan langkah ringan di depan Sean, sesekali menunjuk ke arah tumbuhan atau jejak kaki binatang di tanah. Ia memetik jamur berwarna ungu terang dari batang pohon tumbang, membaliknya di tangannya, lalu menggeleng dan membuangnya. "Jangan sentuh yang itu," katanya tanpa menoleh, "Bisa membuatmu melihat warna yang belum pernah ada—sebelum kau pingsan." Di atas mereka, bayangan besar melintas di antara pepohonan. Sean mendongak dan melihat dua sosok mahluk bersayap berputar-putar di langit, cakar mereka terlihat jelas dari bawah.

Nusa, dengan perisai besarnya yang terbuat dari baja hitam yang diperkuat logam mistik, memayungi dan membuka jalan di depan rombongan. Ia dengan hati-hati menginjak setiap bebatuan yang ia lewati, memastikan tanah di depan mereka padat dan aman. Beberapa kali ia berhenti, meneliti tanah dan pepohonan di sekitarnya, mencari tanda-tanda bahaya.

Suatu sore, saat mereka beristirahat di tepi sungai yang airnya jernih dan dingin, Sean memperhatikan peta yang dipegang Tara. Garis-garis kusut, simbol-simbol aneh, dan gradasi warna yang rumit tampak seperti abstrak baginya. Ia menunjuk sebuah lingkaran kecil di tengah peta. "Tara, apakah kau yakin kita tidak akan tersesat? Apa maksud lingkaran ini?"

Tara tertawa kecil, matanya berbinar. Ia menyentuh peta dengan jarinya. "Itu adalah air terjun kembar. Aku mengingatnya seperti telapak tanganku. Bentuk bebatuan di sekitarnya, bunyi air yang jatuh, bahkan aroma lumut yang tumbuh di sana. Aku bisa merasakan aliran air dari sini." Ia mengulurkan tangannya, seolah merasakan aliran sungai yang sebenarnya cukup jauh dari tempat mereka berada.

Cino mengangguk, menyeka keringat di dahinya. "Aku harus setuju. Tara memang yang terbaik dalam hal navigasi. Ingat saat kita tersesat di rawa-rawa berkabut dua tahun lalu? Dia yang membawa kita keluar."

Tiba-tiba, Nusa mendongak, matanya menyipit menatap awan gelap yang mulai menggumpal di langit. Ia mengendus udara. "Hujan akan segera turun." Beberapa saat kemudian, tetesan air mulai jatuh, semakin deras dalam hitungan menit. Mereka berlarian mencari tempat berlindung di bawah tebing batu besar.

Di bawah naungan tebing, mereka mendirikan tenda dengan cepat. Api unggun kecil menyala di tengah tenda, memberikan kehangatan dan cahaya. Sean duduk bersila di dekat api, menggosok-gosok kedua tangannya. Ia memperhatikan Cino sedang membersihkan pedangnya dengan kain kasar. Suara gesekan logam yang berirama memecah keheningan. Tiba-tiba, Sean teringat Arisu. Dia pergi begitu cepat…"Cino," kata Sean, "apa kau tahu kenapa Arisu pergi secepat itu?"Cino menghentikan gerakannya, meletakkan pedangnya di sampingnya. Ekspresinya berubah serius. "Ya. Dia menerima pesan darurat dari Kekaisaran Utara. Tampaknya ada masalah serius yang membutuhkan kehadirannya segera." Cino menghela napas. "Dia tidak memberi tahu detailnya, hanya mengatakan bahwa itu terkait dengan urusan kekaisaran. Aku khawatir itu sesuatu yang besar."

Sean terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Cino. Kemudian, ia menatap api unggun dan bertanya, "Jadi, Cino, kenapa Hutan Terlarang disebut 'terlarang'?"

Cino kembali mengambil pedangnya dan melanjutkan membersihkannya. "Ada desas-desus tentang berbagai hal di sana. Jejak-jejak penampakan monster berkepala tiga, reruntuhan kota kuno yang menghilang dalam semalam, suara-suara teriakan aneh di malam hari. Beberapa orang yang pernah kesana tidak pernah kembali dengan anggota tubuh lengkap luka yang mereka terima tidak bisa dijelaskan, mengatakan mereka diserang oleh bayangan hidup. Para tetua juga memperingatkan tentang Elf dan Dark Elf, yang menjaga hutan mereka dengan sangat ketat."

Sean menelan ludah, merasa tertarik sekaligus takut. "Kedengarannya…"

"Berbahaya?" Cino menyelesaikan kalimatnya, lalu tersenyum tipis. "Memang." Saat Cino berbicara, tiba-tiba terdengar suara "plop" dari luar tenda. Disusul suara "plop" lainnya, lalu "plop plop plop" dengan irama yang semakin cepat.

Nusa melompat berdiri, tangannya meraih gagang perisainya. "Apa itu?"

Tara mengintip keluar tenda, matanya melebar. "Kadal… hujan kadal!"

Sean dan Cino saling pandang dengan bingung. Sean keluar dari tenda dan mendapati pemandangan yang aneh. Ratusan kadal kecil, seukuran telapak tangan, berjatuhan dari langit. Beberapa menimpa tenda mereka dengan suara "plop" yang nyaring, lainnya mendarat di tanah dengan suara "gedebuk" yang lebih pelan. Kadal-kadal itu berwarna-warni, ada yang hijau terang, biru metalik, bahkan merah menyala. Beberapa di antaranya mulai merangkak di tanah, sementara yang lain masih terhuyung-huyung karena pendaratan mereka. Salah satu kadal hijau kecil mendarat tepat di bahu Cino. Awalnya, Cino hanya menatap kadal itu dengan ekspresi datar, seolah mencoba mengabaikannya. Namun, saat kadal itu mulai bergerak-gerak di bahunya, wajah Cino perlahan berubah. Matanya menyipit, bibirnya membentuk garis tipis, dan ia bergidik ngeri. Ia menepis kadal itu dengan gerakan cepat dan jijik, seolah baru saja menyentuh sesuatu yang sangat kotor.

Nusa berseru panik, "Kita harus pergi dari sini! Siapa tahu apa lagi yang akan jatuh dari langit!" Ia mulai membereskan peralatannya dengan tergesa-gesa. Tara terlihat sama paniknya, melompat-lompat menghindari kadal yang mencoba memanjat kakinya.

Cino, yang masih mengamati tempat di mana kadal itu mendarat tadi dengan tatapan jijik, melirik Sean. Ia berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya, namun bahunya masih sedikit naik turun karena bergidik. "Ini… fenomena cuaca yang cukup menarik," ujarnya dengan nada yang sedikit dipaksakan tenang.

Sean, yang tadinya hanya mengamati fenomena aneh itu dengan ekspresi ingin tahu, kini menoleh ke Cino. Ia melihat dengan jelas usaha Cino untuk tetap tenang, namun juga melihat dengan jelas rasa jijik yang terpancar di matanya. Ia menahan senyum dan menepuk lembut lengan Cino. "Tentu saja. Sangat menarik," jawab Sean dengan nada datar, namun matanya menunjukkan ia sedang bercanda. Ia berjongkok dan mengamati salah satu kadal biru metalik yang merangkak di dekatnya. Kadal itu memiliki mata berwarna emas dan kulitnya berkilauan di bawah cahaya api unggun.

Cino menatap kadal biru itu sekilas, lalu dengan cepat memalingkan wajahnya. Ia merapatkan dirinya ke Sean, tanpa sadar memegang lengannya erat-erat. "Te-tetapi… bisakah ia berhenti merayap ke arah kita?" bisik kalapnya dengan suara bergetar, usahanya untuk mempertahankan wibawa benar-benar lenyap. "I-itu… menggelikan."

Sean merasakan Cino berpegangan erat padanya dan melihat dengan jelas bahwa ia benar-benar merasa jijik. Ia mengangguk mengerti. "Kau benar," katanya lembut.

Tiba-tiba, salah satu kadal hijau mengeluarkan gelembung dari mulutnya dan meledak dengan suara "pop" yang kecil, meninggalkan noda hijau lengket di batu. Cino tersentak dan tanpa sadar memeluk lengan Sean lebih erat lagi, menyembunyikan wajahnya di bahu Sean untuk sesaat. Nusa berteriak histeris. "Mereka meledak! Kita harus pergi sekarang!"

Sean menghela nafas, merasakan Cino masih berpegangan erat padanya. "Baiklah, kurasa kita memang harus pergi dari sini sekarang." Ia berdiri, menepuk-nepuk celananya, dan menatap Cino dengan senyum menenangkan. "Kau benar, kita tidak bisa tinggal di sini selamanya."

Cino akhirnya melepaskan pegangannya, wajahnya sedikit memerah. Ia membalas senyum Sean dengan senyum kecil, masih terlihat sedikit gugup. Disisi lain Nusa kesulitan bergerak dengan perisainya yang mulai berat karena lendir. Tara mencoba mengusir kadal dengan batang kayu berapi, tapi mereka sama sekali tidak takut. Cino, dengan tertegun wajah pucat, menebas beberapa kadal yang merayap terlalu dekat, tapi jumlahnya terlalu banyak dan semakin banyak, terlebih lendir di pedangnya membuatnya kesulitan bergerak. Kepanikan mulai menyelimuti mereka. Cino, yang sudah di ambang batas jijiknya, berteriak tertahan, "A-a-aaa KYAAAAA!"

Sembari menebas kadal-kadal itu sean menatap sekelilingnya dengan cepat menarik kembali Cino kesisinya. Mereka terjebak. Keluar dari tebing sama saja dengan masuk ke mulut singa. Ia harus bertindak cepat. Dengan nada tenang namun tegas, Sean berkata, "Semuanya, mundur ke belakangku dan tutup mata kalian rapat-rapat. Sekarang!"

Nusa, Tara, dan Cino saling bertukar pandang kebingungan. "Apa yang—?" Nusa mulai bertanya, tapi Cino, melihat keseriusan di mata Sean, menyela, "Lakukan saja apa yang dia bilang!" Ia menarik Nusa dan Tara mundur di belakang Sean dan memejamkan matanya.Sean menarik napas dalam-dalam. Ia memejamkan matanya sejenak, memusatkan perhatiannya. Sudah waktunya. Tiba-tiba, hembusan angin hangat menerpa mereka—whoosh—seperti angin musim panas yang tiba-tiba datang di tengah badai. Kemudian, whassss—aliran air yang deras dan kuat menyapu mereka, membawa serta segalanya.

Nusa, Tara, dan Cino merasakan hembusan angin dan kemudian guyuran air yang kuat. Mereka hanya bisa berpegangan satu sama lain dalam kegelapan di balik kelopak mata mereka yang terpejam, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Hanya Sean yang tahu apa yang sedang dilakukannya.Setelah beberapa saat, Sean membuka matanya. Ia melihat sekelilingnya. Kadal-kadal itu hilang. Lendir menjijikkan yang sebelumnya membanjiri mereka juga lenyap, seolah tidak pernah ada. Bahkan tanah di sekitar mereka terlihat bersih, seperti baru saja dicuci. Ia menoleh ke belakang dan berkata, "Kalian boleh buka mata sekarang."

Perlahan, Nusa, Tara, dan Cino membuka mata mereka. Mereka terdiam, memandang sekeliling dengan bingung. Kekacauan tadi benar-benar hilang. "A-apa yang… terjadi?" tanya Tara dengan suara tercekat.

Cino menatap Sean dengan tatapan tak percaya 'aku mengenalnya sudah hampir satu tahun aku tau persis dia tidak memiliki energi sihir di tubunya' benak Cino, "Bagaimana…?" Ia bahkan tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Bahkan dengan nyata dia merasa seluruh tubuhnya di tabrak arus air yang lembut Ketika Ia melihat sekeliling, memeriksa tangannya, pakaiannya, semuanya bersih bahkan tidak basah sama sekali. lalu ia menoleh ke tebing di belakang mereka, kemudian ke area di depan mereka, yang sekarang bersih dari bekas air, kadal dan lendir. Tidak ada jejak bahwa hujan dan hujan kadal ataupun pernah terjadi.

Sean tersenyum tipis. "Anggap saja… bantuan dari tuhan," jawabnya misterius, tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. Ia melangkah maju, meninggalkan tebing. "Ayo. Kita lanjutkan perjalanan."Nusa, Tara, dan Cino masih tertegun, tapi mereka mengikuti Sean dalam diam, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Setelah menghadapi semua itu mimic wajah mereka Nampak jelas kelelahan, "sepertinya hari ini cukup sampai disini dulu" ujar Cino menyinggahkan regu mereka di sebdang tanah datar diantara pepohonan "kita dirikan tenda!"

"siap" sahut mereka ber tiga segera bergegas mendirikan tenda dan menyambut senja

Day 2

Keesokanharinya Matahari pagi menyapa mereka dengan cahaya keemasan yang menembus pepohonan. Hutan Terlarang menyambut mereka dengan keheningan yang menenangkan, kontras dengan kekacauan yang mereka alami semalam. Setelah beristirahat dan mengisi perut dengan perbekalan yang tersisa, mereka melanjutkan perjalanan.

Sean berjalan di depan, diikuti oleh Cino, Nusa, dan Tara. Suasana masih sedikit tegang, terutama bagi Nusa dan Tara yang masih belum sepenuhnya pulih dari kejadian semalam. Cino, di sisi lain, beberapa kali melirik Sean dengan tatapan kagum dan penasaran. Ia masih memikirkan bagaimana Sean bisa membersihkan mereka dan lingkungan sekitar mereka dari lendir kadal yang menjijikkan itu.

Sean Nampak canggung dengan tatapan rekan-rekannya Tiba-tiba, bumi bergetar pelan. Suara gemuruh yang dalam terdengar dari angkasa. Semua mendongak. Sebuah bayangan raksasa melintas di atas mereka, memblokir cahaya matahari pagi untuk sesaat. Itu adalah naga. Bukan naga biasa, tapi naga yang sangat besar, dengan sisik berkilauan seperti emas terbakar dan sayap yang membentang lebar seperti layar kapal, sepuluh layar kapal penjelajah lebih tepatnya . Ia terbang dengan tenang, menuju ke arah jantung Hutan Terlarang.

Semua terdiam membeku. Nusa menunjuk ke langit dengan jari gemetar, matanya melotot. Tara menahan napas, wajahnya pucat pasi. Cino, yang biasanya selalu tenang, kini hanya bisa menatap naga itu dengan mulut sedikit terbuka. Tidak ada satu pun suara yang keluar dari mulut mereka. Keheningan yang tiba-tiba dan mencekam menyelimuti mereka. Suasana yang tadinya canggung kini berubah menjadi hening total, diisi oleh rasa kagum dan sedikit ketakutan.

Setelah naga itu menghilang di balik pepohpnan besar setinggi gunug, barulah mereka mulai bernapas lega. keheningan terjadi selama beberapa jam perjalanan mereka, bahkan mereka mengambil langkah kecil dan pelan seolah berhati-hati agar memastikan jikalau mereka memang hening, namaun selain Sean yang nampak pasrah dan beradaptasi pada kenyataan yang lain masih syok dan takut dengan apa yang mereka lihat tadi, sampai salah seorang dari mereka tidak sengaja terinjank ranting yang membuat bunyi lumayan nyaring. ketegangan terjadi lagi.

Beberapa saat kemudian, Sean berdeham pelan, mencoba memecah kesunyian. Ia memasang ekspresi santai, seolah tidak ada kejadian luar biasa yang baru saja terjadi.

"Nah," ia memulai dengan nada ringan, sambil tersenyum kecil.

"Mengingat kita baru saja melihat salah satu penghuni hutan ini… tahukah kalian," ia melanjutkan dengan suara berbisik namun dramatis, "jaman dahuluuu, konon hiduplah seorang pemuda perkasa. Bukan sembarang pemuda, ia dikenal sebagai… Sang Pemakan Naga!"

Nusa, yang masih syok dengan penampakan naga tadi, menatap Sean dengan tatapan kosong menuju berbinar, Nusa yang selalu antusias dengan cerita-cerita heroik, langsung terpancing.

"Pe-pemakan Naga?" tanya Nusa terbata-bata, masih sedikit linglung. "Ba-bagaimana bisa… Na-Naga yang se-sebesar itu… DIMAKAN!?"

Sean menyeringai misterius. "Dulu sekali, saat naga masih merajalela di muka bumi, pemuda ini lahir dengan kekuatan yang luar biasa. Ia dilahirkan di tengah badai petir, dengan kilat menyambar di sekelilingnya dan guntur yang menggelegar memanggil namanya. Sejak kecil, ia telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa, mampu mengangkat batu sebesar rumah dan membengkokkan batang pohon dengan tangan kosong. Namun, kekuatan terbesarnya baru terungkap saat ia berhadapan dengan seekor naga api yang meneror desanya."

Sean berhenti sejenak, memberi jeda dramatis. semua pun serentak ikut berhenti berjalan sekaligus menyimak kisah, Sean melanjutkan dengan suara yang lebih rendah dan penuh penekanan, "Naga itu sangat besar, persis seperti naga yang kita lihat tadi, sisiknya sekeras baja, semburan apinya mampu melelehkan baja. Semua orang ketakutan, bahkan para prajurit terhebat pun gentar menghadapinya. Tapi pemuda itu, dengan keberanian yang membara di dadanya, maju seorang diri."

Tara, meskipun masih sedikit terguncang dengan penampakan naga yang sangat amat besar, ia mulai terlihat sedikit terhibur dengan usaha Sean. Ia memutar matanya, tapi ada sedikit senyum yang tersungging di bibirnya

"Pertarungan berlangsung selama berhari-hari," lanjut Sean. "Pemuda itu bertarung dengan gagah berani, menghindari semburan api naga dan melancarkan serangan-serangan yang tak kenal lelah. Akhirnya, di saat yang tepat, pemuda itu berhasil melompat ke atas punggung naga, membuka paksa rahangnya yang besar, dan…" Sean menelan ludah, memberi efek dramatis. "…menelan bulat-bulat jantung naga yang masih berdetak!"

Nusa terkesiap. "Ditelan bulat-bulat? Bagaimana bisa?"

"Kekuatan naga itu menyatu dengan dirinya," jawab Sean dengan yakin. "Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Sang Pemakan Naga, seorang pahlawan yang kekuatannya tak tertandingi."Tara akhirnya tidak tahan lagi. "Sean, kumohon," ia mendengus. "Cerita itu sangat tidak masuk akal. Tidak mungkin seseorang bisa menelan jantung naga bulat-bulat, apalagi bertahan hidup setelahnya. Organ dalam naga pasti beracun atau setidaknya sangat panas."

"Eeeh... tapi ini cerita seru kann" dalih Sean

Cino, yang sedari tiba-tiba berusaha menahan tawanya keetika memperhatikan ekspresi Nusa yang biasanya dingin tiba-tiba berbinar-binar percaya engan polosnya, tak sanggup menahan akhirnya ia terkekeh pelan "xixixi". Ia menutupi mulutnya dengan tangannya, berusaha menyembunyikan tawanya, tapi bahunya sedikit bergetar. Ia menggelengkan kepalanya pelan, menatap Sean dengan campuran antara geli dan hormat. Dia benar-benar… berbakat dalam mengarang, pikir Cino.

Nusa masih terlihat sedikit bingung, tapi ia mulai tersenyum. Ia menyadari bahwa Sean hanya bercanda, meskipun ia masih sedikit terkesan dengan cerita tersebut.Tara menggelengkan kepalanya lagi, tapi ia juga tersenyum.

"Sudahlah," kata Tara, mengibaskan tangannya. "Kita sudah hampir sampai di tempat peristirahatan kita. Mari kita dirikan tenda sebelum hari benar-benar gelap." Ia berjalan mendahului mereka.Sean merangkul pundak Nusa sambil tertawa pelan. "Jangan khawatir, Nusa. Meskipun yang kita lihat tadi asli tidak ada naga yang akan kita makan malam ini. kudengar naga besar tidak makan orang yang membawa perisai besar" bisiknya dengan nada bercanda.

Nusa mengangguk, meskipun masih sedikit ragu. Ia menatap sekali lagi ke dalam hutan, kemudian mengikuti langkah Tara.

Cino berjalan di belakang mereka berdua, senyum kecil masih menghiasi wajahnya. Suasana yang tadinya sedikit tegang karena perjalanan yang melelahkan, kini mencair berkat candaan Sean.

Day 3 

Keesokan harinya, cahaya matahari pagi menembus dedaunan dan menerangi perkemahan mereka. Embun masih membasahi rumput. Nusa dan Tara masih terlihat sedikit lesu, mungkin masih terbayang penampakan naga semalam. Cino duduk di dekat api unggun yang mulai meredup, mengasah pedangnya dengan gerakan tenang. Sean sedang menyiapkan sarapan sederhana.

Setelah sarapan selesai dan mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan, Cino memecah keheningan."Sean," panggilnya dengan nada serius, sambil menatap Sean dengan tatapan menyelidik. "Apa… apa yang sebenarnya kau lakukan semalam? Saat hujan kadal itu?"

Sean terdiam sejenak, ekspresinya sedikit menghindari dan terlihat bingung. Ia menggaruk belakang kepalanya. "Aku… tidak tahu," jawabnya dengan cepat. "Semuanya terjadi begitu saja."

Cino mengerutkan kening. "Kau yakin itu bukan… sihir?"Sean menggeleng cepat. "Bukan! Tentu saja bukan. Seperti yang kau ketahui aku ini tidak punya sihir."

"Tapi…" Cino terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Bagaimana lagi kau bisa menjelaskan kejadian itu? Menghilangkan semua lendir itu sekejap mata?"

"Aku benar-benar tidak tahu," jawab Sean lagi, mengangkat sambil membuang wajahnya kearah lain menghindari kontak mata dengan cino. "Mungkin… hanya keberuntungan, waktu itu aku hanya berencana megorbankan diriku membasmi mereka secepat yang kubisa hehe"

Cino menatapnya dengan curiga. "Keberuntungan seperti itu sangat jarang terjadi." Ia menghela napas. 

"lagipula Jika memang sihir… apa sebenarnya sihir itu?" tanya SeanSean mengerutkan kening, tampak berpikir keras. "Aku pribadi tidak pernah terlalu memikirkannya. Menurutku, sihir itu seperti… kekuatan yang bisa mengubah kenyataan? Sesuatu yang di luar nalar?" 'Karena diluar nalar makanya aku tidak ingin bergantung atau percaya pada hal seperti itu' lanjut sean dalam hati

Cino mengangguk. "Kau tidak sepenuhnya salah. Sihir bekerja dengan memanfaatkan energi spiritual yang ada di setiap makhluk hidup dan di alam semesta. Setiap orang memiliki kapasitas sihirnya masing-masing, semacam 'energi internal'. Beberapa orang lahir dengan bakat sihir yang lebih besar dari yang lain. Ada tipe sihir yang umum, seperti menyulut api kecil di telapak tangan atau mengendalikan angin sepoi-sepoi. Sihir tipe ini, meskipun terkesan sederhana, tetap membutuhkan mantra sebagai fokus dan katalisator untuk mengendalikannya. Mantra berfungsi sebagai 'kata kunci' yang mengaktifkan dan mengarahkan energi sihir. Sihir tipe ini bisa digunakan beberapa kali dalam sehari, tergantung kapasitas sihir masing-masing.

Namun, ada tingkatan sihir yang lebih tinggi, yang hanya bisa diakses melalui dua cara. Pertama, dengan melampaui batas kapasitas sihirnya, semacam limit break. Ketika seseorang mencapai limit break, ia dapat mengakses kekuatan sihir yang jauh melampaui batas normalnya dan tidak lagi membutuhkan mantra. Energi sihir mengalir dengan liar dan instingtif, memungkinkan pengguna melakukan hal-hal yang sebelumnya mustahil. Tetapi perlu diingat, mencapai limit break itu sangat langka. Bisa dibilang, hanya ada satu dari sepuluh ribu orang yang mampu melakukannya. Dibutuhkan kombinasi antara bakat alami, latihan yang sangat keras, dan kondisi psikologis yang ekstrem, seperti berada di ambang hidup dan mati. Itupun belum tentu berhasil.

Cara kedua untuk mengakses kekuatan yang setara dengan limit break adalah melalui ritual. Ritual adalah serangkaian tindakan dan perapalan mantra yang kompleks dan terstruktur, yang bertujuan untuk memanggil dan memanfaatkan energi dari sumber yang lebih besar, misalnya kekuatan alam, entitas spiritual, atau bahkan dewa. Ritual yang berhasil dapat menghasilkan efek sihir yang sangat kuat dan permanen, bahkan dapat menyamai fungsi unik dari limit break, tetapi ritual membutuhkan persiapan yang matang, bahan-bahan khusus, dan pengetahuan yang mendalam.

Sebagai perbandingan, Aisya menggunakan mantra saat memberikan pemberkatan pada pedangnya. Itu adalah sihir tingkat dasar yang membutuhkan fokus melalui mantra. Sementara Estomido, saat mencapai mode berserk, dia dalam kondisi limit break sehingga kekuatan dahsyatnya keluar tanpa kendali dan tanpa perlu mantra. Jadi intinya, semua sihir butuh mantra, kecuali dalam mode limit break."

"Jadi, tidak semua sihir terlihat butuh mantra atau ritual?" tanya Sean, mencoba memperjelas pemahamannya.

"Tepat sekali. Mantra dan ritual selalu ada di balik setiap sihir, kecuali dalam kondisi limit break. Mantra bisa diucapkan dengan lantang, dibisikkan, atau bahkan hanya dipikirkan dalam hati. Bagi penyihir yang sangat ahli, niat dan visualisasi saja terkadang cukup untuk mengaktifkan sihir tingkat dasar, meskipun secara teknis, 'mantra' dalam bentuk niat dan visualisasi tetap ada. Sedangkan Ritual adalah cara untuk mendapatkan kekuatan setara Limit Break, namun dengan usaha yang dipersiapkan matang dan membutuhkan waktu."

Cino menatap Sean lagi dengan tatapan tajam. "Jadi, Sean… kau masih yakin yang kau lakukan dengan kadal-kadal itu bukan sihir?"

Sean kembali terlihat menghindari kontak mata dan memasang wajah bingung. "Aku tidak… ah sudahlah," katanya, mengalihkan pembicaraan. "Kita harus segera berangkat. Tujuan kita hari ini cukup jauh." Mereka pun beranjak dari tempat itu dan melanjutkan perjalanan. Semakin dekat mereka dengan pepohonan raksasa itu, semakin kuat pula kesan yang ditimbulkannya. Ketika mereka akhirnya tiba di hadapan hutan itu, semua terdiam. Pepohonan itu menjulang tinggi, setinggi gunung, batang dan daunnya berwarna biru gelap, hampir kehitaman, menciptakan pemandangan yang begitu asing dan menakutkan.

Mata Cino memicing, menatap ke dalam hutan. Rasa dingin merayapi tulang punggungnya, bukan hanya karena angin yang berhembus dari celah-celah pepohonan, tetapi juga karena sesuatu yang lain, sesuatu yang tak terlihat. Angin itu sendiri membawa hawa dingin yang menusuk, seperti datang dari tempat yang sangat dalam dan gelap, berbisikkan rahasia yang tak terucapkan. Tara memeluk dirinya sendiri, wajahnya pucat. Ia teringat jelas bayangan naga besar itu terbang ke arah hutan ini beberapa hari yang lalu. Ingatan itu tiba-tiba terasa sangat menakutkan sekarang, di hadapan hutan yang tampak seperti mulut raksasa yang siap menelan.

Tiba-tiba, keheningan dipecahkan oleh lolongan nyaring yang memekakkan telinga. Bukan hanya satu, tetapi tiga lolongan sekaligus, menggema dari kedalaman hutan, menciptakan resonansi yang membuat tanah di bawah kaki mereka bergetar. Llolongan itu terdengar seperti lolongan serigala, tetapi dengan nada yang lebih dalam dan lebih mengerikan, seolah berasal dari makhluk yang jauh lebih besar. Setelah lolongan itu berhenti, keheningan kembali menyelimuti mereka, tetapi keheningan itu kini terasa jauh lebih berat dan menakutkan.

Mata Sean melebar, bukan lagi dengan kebingungan, tetapi dengan ketakutan yang nyata. Ia menelan ludah dengan susah payah dan menatap teman-temannya dengan ekspresi khawatir. Cino melihat perubahan pada raut wajah Sean itu dan menguatkan firasatnya. Ada sesuatu yang sangat mengerikan di dalam hutan ini, dan Sean tahu lebih dari yang ia katakan. Cino merasakan jantungnya berdebar kencang. Apa yang sebenarnya menunggu mereka di jantung hijau kegelapan itu?

Pertanyaan itu menggantung di udara, sama dingin dan menusuknya dengan angin yang berhembus dari dalam hutan raksasa.