Setelah membaca Naruto, Leonel mulai menyadari sesuatu yang mendalam. Naruto tidak hanya berjuang untuk menjadi yang terkuat; ia berjuang untuk sesuatu yang lebih besar—untuk menemukan makna hidup dan mendapatkan pengakuan orang lain. Semangat itu, tanpa Leonel sadari, mulai membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Ia tidak lagi tertarik untuk menjadi yang terkuat dalam hal kekuasaan atau peperangan. Ia ingin menemukan kebahagiaan yang pernah ia rasakan saat ibunya tersenyum bangga padanya.
Selama ini, hidup Leonel terasa penuh dengan tuntutan dan ekspektasi dari keluarganya, terutama dari ayahnya, Duke Warwick. Ia dipaksa untuk mengikuti jalan yang sudah digariskan: menjadi seorang pemimpin yang tangguh dan pejuang yang kuat. Namun, setelah membaca Naruto, Leonel menyadari bahwa ia tidak perlu mengikuti jalan yang sama persis dengan yang diinginkan oleh keluarganya. Ia ingin mencari kebahagiaan yang lebih sederhana, yang dulu ia rasakan saat ibunya masih hidup.
Hari itu, Leonel memutuskan untuk berbicara dengan ayahnya, untuk menjelaskan perasaannya yang telah berubah.
"Ayah, aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi seperti yang Ayah harapkan," kata Leonel pelan, matanya tertunduk. "Tapi aku ingin mencoba jalan yang lain, untuk menemukan kebahagiaan yang lebih sederhana, yang pernah ada dalam hidupku."
Duke Warwick terdiam, menatap putranya dengan serius. Ketegangan di ruangan itu begitu terasa. Leonel tahu ini bukanlah percakapan yang mudah.
"Jalan yang kau pilih, Leonel, tidak akan mudah," jawab Duke Warwick dengan suara berat. "Dunia ini mengharuskan kita untuk menjadi kuat, terutama sebagai seorang bangsawan. Namun, jika itu adalah keputusanmu, aku tidak akan menghalangimu. Tetapi ingat, jalan itu akan penuh dengan tantangan yang jauh lebih berat daripada yang kau bayangkan."
Leonel mengangguk dengan mantap menatap tatapan ayahnya yang penuh kewibawaan namun juga ada sedikit kekhawatiran di matanya.
"Apa pun jalan yang kau pilih, ingatlah satu hal," kata Duke Warwick, suaranya berat dan dalam. "Keluarga ini tidak pernah setengah-setengah. Apa pun yang kau lakukan, usahakan yang terbaik. Dalam keluarga ini, kita mengajarkan bahwa tidak ada tempat untuk setengah-setengah. Apa pun yang kau pilih untuk lakukan, jadilah yang terbaik di dalamnya."
Leonel menatap ayahnya dengan penuh tekad. Kata-kata itu menggema di dalam hatinya, dan ia merasa semangatnya semakin berkobar. "Jadi, meskipun aku memilih jalan yang berbeda, aku harus berusaha menjadi yang terbaik dalam hal itu?" tanya Leonel, memastikan.
Duke Warwick mengangguk pelan. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya yang keras. "Tepat. Karena itu adalah motto keluarga kita. Yang terkuat bukan hanya tentang kekuatan fisik atau kekuasaan, tetapi tentang menjadi yang terbaik dalam apa pun yang kau pilih untuk lakukan. Tidak ada alasan untuk menjadi biasa-biasa saja. Ingat itu, Leonel."
Setelah beberapa saat hening, Duke Warwick memandang putranya dengan serius. "Leonel," katanya dengan suara yang dalam dan tegas, "jalan yang dipilihkan orang lain mungkin terasa nyaman, karena itu sudah terjamin dan jelas. Namun, jalan yang kau pilih sendiri, meskipun lebih berat, akan menuntutmu untuk menanggung segala perjuangan dan konsekuensinya seorang diri. Keluarga ini tidak akan membantumu jika kau memilih jalan yang berbeda. Itu adalah pilihanmu, dan tanggung jawabmu. Ingat, jika kau memilih untuk menempuh jalan itu, maka kau harus siap menghadapi segala kesulitan tanpa mengandalkan siapa pun. Tidak ada yang akan membantumu, selain dirimu sendiri."
Dengan kata-kata itu, Leonel mulai merasakan beratnya pilihan yang telah ia ambil. Meskipun ia sudah yakin dengan keputusannya, ia tahu bahwa itu adalah jalan yang penuh tantangan dan harus ditempuh dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya.
Dengan langkah mantap, Leonel meninggalkan ruang kerja ayahnya. Ia siap untuk mencari hal yang membuat hidupnya terasa lebih hidup.