Leonel Carthas, putra ketiga Duke Warwick, duduk di ruang perpustakaan keluarganya yang megah. Keluarga Warwick dikenal karena prinsip keras yang mereka junjung tinggi: yang terkuat adalah yang terbaik. Sebagai anak dari keluarga bangsawan, Leonel dibesarkan dengan disiplin yang ketat. Ayahnya, Duke Warwick, menginginkan anak-anaknya menjadi pemimpin yang tangguh dalam segala hal—dari peperangan hingga politik—dan tidak ada ruang untuk kelemahan.
Leonel merasa terperangkap dalam bayang-bayang prinsip tersebut. Sejak kecil, ia dilatih dengan keras untuk menjadi yang terkuat, lebih baik dari yang lain, dalam segala hal. Setiap langkah dalam hidupnya telah ditentukan oleh harapan-harapan keluarga. Ayahnya ingin ia melanjutkan tradisi keluarga, menjadi sosok yang kuat dan berkuasa. Namun, meskipun ia dihormati sebagai anak bangsawan, Leonel merasa ada kekosongan dalam hidupnya. Ia tidak tahu apakah itu jalan yang ingin ia tempuh.
Suatu hari, saat berkeliling di ruang pertemuan keluarga, Leonel melihat sebuah kotak kayu tua yang baru saja tiba. Rasa penasaran membawanya membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat beberapa lembar manga yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Di sampingnya ada sebuah catatan kecil yang menyebutkan judul Naruto.
"Naruto?" Leonel bergumam pelan, melihat gambar seorang anak muda yang tampak berlatih dengan tekun. Manga itu menceritakan kisah seorang pemuda bernama Naruto Uzumaki yang bercita-cita menjadi pemimpin desa ninja. Namun, yang lebih menarik bagi Leonel bukanlah sekadar cerita tentang kekuatan fisik. Ada semangat perjuangan, tekad, dan impian yang jauh lebih mendalam di dalamnya.
Dengan rasa penasaran yang semakin besar, Leonel mulai membaca. Halaman demi halaman ia lalui, dan semakin lama, cerita itu semakin membekas dalam pikirannya. Ia terpesona dengan semangat Naruto yang tak kenal lelah. Tidak hanya berjuang untuk menjadi kuat, tetapi juga untuk diterima dan dihargai. Terkadang, keberanian untuk terus maju meskipun banyak yang meragukan kita adalah hal yang lebih penting daripada sekadar kekuatan fisik.
Leonel merasa sesuatu yang menyentuh hatinya. Selama ini, ia hanya dilatih untuk menjadi yang terkuat, untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Namun, cerita Naruto memberinya sebuah perspektif baru—bahwa menjadi yang terbaik bukanlah tujuan hidup yang sesungguhnya. Ada hal lain yang lebih penting: kebahagiaan dan pengakuan, bukan hanya dari orang lain, tetapi juga dari diri sendiri.
Beberapa hari kemudian, Leonel duduk di ruang kerja ayahnya. Di hadapan Duke Warwick, Leonel merasa canggung. Ayahnya selalu menuntutnya untuk menjadi yang terbaik—baik dalam latihan, peperangan, dan bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi hari ini, Leonel tahu, ia harus berbicara tentang sesuatu yang sangat penting.
"Ayah, aku ingin berbicara tentang masa depanku," kata Leonel, suaranya sedikit gemetar.
Duke Warwick menatapnya dari balik meja besar, dengan tatapan yang tajam dan penuh kewibawaan. "Tentu, Leonel. Apa yang ingin kau bicarakan?"
Leonel menarik napas panjang. "Aku... aku ingin mencoba jalan yang berbeda."
Duke Warwick mengangkat alisnya, heran. "Jalan berbeda? Apa maksudmu, Leonel? Kamu sudah dibesarkan untuk menjadi seorang pemimpin dan pejuang yang kuat, tapi kini kamu ingin berpaling dari itu?"
Leonel menunduk sejenak, berusaha menenangkan diri. "Aku tidak ingin menjadi yang terkuat, Ayah. Aku tidak ingin melanjutkan latihan keras seperti yang kita lakukan. Aku ingin mencari jalan yang lebih sesuai dengan diriku."
Duke Warwick memandang putranya dengan tajam, dan perasaan cemas mulai menyelubungi hati Leonel. "Apa yang kau bicarakan, Leonel? Selama ini, kita telah melatihmu untuk memimpin, untuk menjadi yang terbaik. Itu adalah jalan keluarga ini, dan itu jalan yang harus kau tempuh."
Leonel menatap ayahnya dengan tekad yang mulai terbentuk. "Aku tahu, Ayah. Tapi aku merasa kosong. Selama ini, aku berlatih bukan untuk diriku sendiri. Aku berlatih untuk membuat Ibu bahagia. Ibu selalu tersenyum setiap kali aku berhasil melewati tantangan yang kau berikan. Namun, setelah Ibu tiada, semuanya terasa kehilangan makna."
Wajah ibunya tiba-tiba muncul dalam pikirannya—senyum lembut dan mata yang penuh kebanggaan setiap kali Leonel berhasil menyelesaikan latihan. Kenangan itu kini hanya tinggal kenangan, karena ibunya telah meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Sejak saat itu, Leonel merasa kosong. Semua latihan itu kini terasa tanpa tujuan