Chapter 3 - bab 3

---

Alena terbangun dengan rasa bingung yang menghantui sepanjang malam.

Tidur yang seharusnya memberikan ketenangan malah membawa mimpi yang lebih buruk, penuh dengan bayangan yang memaksanya kembali mengingat percakapan dengan Raffael.

Setiap kata yang dia ucapkan berputar di benaknya, seolah menuntut jawaban yang tidak bisa dia temukan.

Apa yang sebenarnya dia inginkan dari kehidupan ini? Apa yang sebenarnya dia inginkan dari pernikahan yang tak pernah dia pilih?

Pagi itu, Alena memutuskan untuk keluar dari rumah dan menghirup udara segar, berharap dapat menenangkan pikirannya. Saat dia melangkah keluar, udara pagi yang dingin langsung menyambutnya.

Langkahnya otomatis menuju taman kecil di depan rumah.

Di sana, dia duduk di bangku kayu yang sepi, merasakan angin yang berhembus lembut.

Selama ini, dia selalu merasa terjebak dalam kehidupan yang dibangun oleh orang tuanya.

Tuntutan yang harus dihadapinya, pernikahan yang dijodohkan, semuanya terasa seperti penjara.

Namun, ada sesuatu dalam diri Raffael yang mulai mengusik ketenangannya. Meskipun dia bukan pilihan Alena, pria itu tampaknya memiliki tekad yang lebih kuat untuk menjalani pernikahan ini dengan cara yang berbeda.

Namun, Alena tak bisa begitu saja menyerah pada harapan. Bagaimana bisa dia mulai percaya pada seseorang yang sudah jelas menganggap hidupnya seperti sebuah kewajiban?

Apakah Raffael benar-benar tulus, atau dia hanya mencoba untuk memperbaiki citra dirinya di depan keluarga? Alena tidak tahu, dan itu yang membuatnya merasa bingung.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki menyadarkannya dari lamunannya. Alena menoleh dan melihat Raffael mendekat.

Wajahnya tetap dengan ekspresi serius, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada ketulusan yang tersembunyi di balik matanya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Alena, suaranya terasa sedikit canggung.

Raffael berhenti di depan bangku tempat Alena duduk. "Aku datang untuk mencari kamu. Aku tahu kamu tidak ingin berbicara, tetapi kita perlu melanjutkan percakapan itu."

Alena menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. "Tidak ada yang perlu dibicarakan, Raffael. Kita sudah jelas tentang siapa kita satu sama lain."

"Aku tidak setuju," jawab Raffael dengan tenang. "Kita tidak tahu siapa kita satu sama lain. Itu yang harus kita bicarakan."

Alena menatapnya, kebingungannya semakin dalam. "Lalu apa yang ingin kamu bicarakan?"

Raffael duduk di sampingnya, tetap menjaga jarak, meskipun ada ketegangan yang terasa di udara.

"Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu tentang semua ini. Aku tahu kamu merasa terjebak, dan aku mengerti itu. Tapi aku ingin tahu, apakah kamu pernah mempertimbangkan untuk memberi kesempatan pada pernikahan ini?"

"Apa yang harus aku beri kesempatan?" Alena bertanya, suaranya sarat dengan keraguan.

"Kamu dan aku tidak memiliki dasar apapun selain perjodohan ini. Bagaimana kamu bisa mengharapkan aku untuk membuka hati?"

Raffael menghela napas, tampaknya sedang berpikir keras. "Aku tidak meminta kamu untuk membuka hati seketika. Aku hanya ingin kamu memberi kesempatan untuk kita saling mengenal, tanpa prasangka. Tanpa beban dari keluarga atau perjodohan."

Alena terdiam. Kata-kata itu terasa berat, dan dia merasa sedikit terguncang. Selama ini, dia selalu melihat Raffael sebagai pria yang hanya peduli pada dirinya sendiri dan kewajibannya.

Tetapi sekarang, di hadapannya, ada sesuatu yang lebih dari itu. Seperti ada perasaan yang lebih dalam, meskipun sulit untuk dia pahami.

"Apa yang kamu harapkan dari pernikahan ini?" tanya Alena akhirnya. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?"

Raffael menatapnya dengan serius. "Aku tidak ingin memaksakan apapun, Alena. Tapi aku ingin kita menjalani ini dengan cara yang lebih baik. Aku tidak ingin kamu merasa sendirian dalam pernikahan ini."

"Jadi kamu ingin kita menjadi pasangan yang baik?" Alena bertanya, setengah tak percaya.

Raffael mengangguk. "Aku ingin kita lebih dari sekadar pasangan di atas kertas. Aku ingin kita saling mengenal dan mencoba untuk menjadi lebih baik satu sama lain."

Alena terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang baru saja diucapkan Raffael.

Sebelumnya, dia selalu berpikir bahwa pernikahan ini hanyalah sebuah kewajiban, sebuah rutinitas yang harus dijalani. Tetapi sekarang, ada rasa tidak nyaman di dalam dirinya yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Raffael mungkin benar, mungkin ada cara lain untuk menjalani ini semua.

"Bagaimana kalau aku tidak siap?" Alena bertanya, akhirnya mengungkapkan keraguannya.

"Tidak masalah," jawab Raffael, suaranya penuh pengertian. "Kita bisa melakukannya perlahan. Aku tidak akan memaksamu."

Alena menghela napas panjang, merasa ada bagian dari dirinya yang mulai membuka diri.

Ada perasaan yang berbeda, yang mungkin belum pernah dia rasakan sebelumnya. Mungkin, hanya mungkin, dia bisa mencoba mempercayai Raffael.

"Kita mulai dengan hal-hal kecil, oke?" kata Alena akhirnya, merasa sedikit lebih lega. "Tapi aku tidak bisa janji apa-apa."

Raffael tersenyum tipis, senyum yang jarang muncul di wajahnya. "Itu lebih dari cukup. Aku tidak menginginkan lebih dari itu."

Hari itu, percakapan mereka berakhir dengan langkah yang lebih ringan dari sebelumnya.

Raffael meninggalkan Alena di taman dengan rasa harapan yang baru, dan Alena merasa sedikit lebih ringan meski kebingungannya masih ada.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Mereka berdua belum tahu, tapi satu hal yang pasti: pernikahan ini mungkin bukanlah akhir, tapi justru awal dari sesuatu yang belum pernah mereka bayangkan.

---

Di hari berikutnya, Alena menjalani harinya seperti biasa di sekolah. Namun, kali ini, ada sedikit perbedaan.

Rasa khawatir yang biasanya menghantuinya tentang pernikahannya dengan Raffael mulai berkurang, meskipun tak sepenuhnya hilang. Sepanjang pelajaran, matanya sering kali melirik ponsel, berharap ada pesan dari Raffael, meskipun dia tahu itu terlalu berharap.

Raffael bukan tipe orang yang sering mengirim pesan atau menunjukkan perhatian secara terbuka. Namun, entah mengapa, hari itu perasaan itu terasa berbeda.

Saat istirahat, Clara mendekatinya dengan ekspresi penasaran. "Ada yang baru?" tanyanya, matanya menilai.

Alena hanya menggelengkan kepala, meskipun di dalam hatinya ada perasaan yang sulit diungkapkan. "Mungkin sedikit," jawabnya dengan ragu.

"Sedikit?" Clara menatapnya dengan cermat. "Kamu tidak kelihatan seperti kamu biasa. Apa kamu baik-baik saja?"

"Aku tidak tahu," jawab Alena pelan. "Aku hanya merasa ada sesuatu yang berubah."

Clara menatapnya bingung. "Apa maksudmu?"

"Raffael," kata Alena akhirnya, suaranya pelan. "Aku merasa dia... mencoba untuk lebih dekat."

Clara terkejut. "Serius? Kamu pikir dia benar-benar mencoba atau hanya pura-pura?"

Alena tidak tahu bagaimana menjawabnya.

"Aku tidak tahu. Aku hanya merasa ada sesuatu yang berbeda."

Mereka terdiam, masing-masing berpikir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Di dalam hati Alena, ada perasaan yang mulai tumbuh.

Mungkin, hanya mungkin, dia bisa memulai sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.

---

Sore harinya, saat Alena pulang, dia disambut oleh Raffael yang sudah menunggu di ruang tamu. Kali ini, wajahnya tidak terlihat sekeras biasanya.

Ada sesuatu yang lebih lembut di dalamnya. "Kamu pulang lebih awal," katanya.

"Ya, aku ingin istirahat sebentar," jawab Alena dengan suara pelan. "Ada apa?"

Raffael mengangguk, lalu duduk di sofa. "Aku ingin mengajakmu keluar malam ini. Mungkin kita bisa makan malam bersama."

Alena terdiam sejenak, berpikir. Ini adalah langkah pertama, langkah yang mungkin bisa mengubah banyak hal.

"Oke," jawabnya akhirnya, dengan sedikit senyum. "Kita lihat saja bagaimana nanti."

Raffael tersenyum tipis. "Terima kasih. Aku akan menunggumu di mobil sekitar jam enam."

Alena hanya mengangguk dan menuju kamar untuk bersiap-siap.

Malam ini mungkin bisa menjadi awal yang baru, atau malah berakhir seperti yang selalu dia takutkan.

Tetapi, dia merasa bahwa dia harus memberi kesempatan—meskipun sedikit—untuk melihat apa yang bisa terjadi antara dia dan Raffael. Tidak ada salahnya mencoba, kan?

---