---
Hujan di luar telah reda, menyisakan aroma tanah basah yang bercampur dengan udara dingin malam itu. Suasana di rumah keluarga Santoro terasa lebih tenang dibandingkan malam sebelumnya.
Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang tak kasat mata—sebuah ancaman yang terus mengintai dari bayang-bayang.
Pagi itu, Alena terbangun lebih awal. Tidurnya tidak nyenyak, dipenuhi mimpi-mimpi aneh tentang Raffael dan kehidupan yang kini ia jalani.
Ia menatap ke arah jendela kamarnya yang setengah terbuka, membiarkan cahaya matahari pagi menyelinap masuk. Perlahan ia bangkit, merapikan dirinya, lalu memutuskan untuk turun ke taman.
Di sana, ia menemukan ketenangan yang jarang ia rasakan. Burung-burung berkicau, dan angin pagi membawa hawa segar. Untuk sesaat, Alena bisa melupakan semua yang membebani pikirannya. Namun, momen itu tidak berlangsung lama.
"Pagi, Alena."
Suara bariton yang sangat ia kenal membuyarkan ketenangan itu. Ia menoleh dan mendapati Raffael berdiri di sana, mengenakan pakaian kasual dengan kemeja putih dan celana hitam.
"Pagi," balas Alena, sedikit terkejut melihatnya. Biasanya, Raffael sibuk dengan urusan pekerjaannya pagi-pagi seperti ini.
"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan hari ini," kata Raffael tanpa basa-basi.
Alena mengerutkan kening. "Jalan-jalan? Bukankah kau sibuk?"
Raffael tersenyum tipis. "Aku selalu bisa menyempatkan waktu untukmu."
Sikap Raffael yang tiba-tiba ini membuat Alena bingung. Pria itu biasanya begitu serius dan formal, tetapi hari ini, ia tampak lebih santai dan bersahabat.
"Baiklah," kata Alena akhirnya. Ia merasa tidak ada salahnya mengikuti kemauan Raffael, meskipun ia tidak tahu apa yang direncanakan pria itu.
---
Beberapa jam kemudian, Alena dan Raffael sudah berada di dalam mobil hitam yang melaju di jalanan kota. Raffael sendiri yang mengemudi, sesuatu yang jarang ia lakukan. Biasanya, ada sopir atau pengawal yang selalu mendampingi mereka.
"Ke mana kita pergi?" tanya Alena, mencoba memecah keheningan.
Raffael meliriknya sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. "Kau akan tahu saat kita sampai di sana."
Jawaban itu tidak memuaskan Alena, tetapi ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya menatap keluar jendela, menikmati pemandangan kota yang perlahan berubah menjadi pedesaan.
Setelah hampir satu jam perjalanan, mobil mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar dengan taman yang indah. Rumah itu terlihat jauh dari keramaian, dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi yang memberikan suasana tenang.
"Apa ini?" tanya Alena, bingung.
Raffael membuka pintu mobil untuknya, lalu mengulurkan tangan. "Ini tempat yang sering aku kunjungi ketika aku butuh ketenangan."
Alena ragu sejenak sebelum menerima uluran tangan Raffael. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah, yang ternyata lebih indah dari yang terlihat dari luar. Interiornya klasik tetapi elegan, dengan perpaduan warna-warna hangat yang memberikan kesan nyaman.
"Kau tinggal di sini?" tanya Alena.
"Tidak," jawab Raffael. "Ini hanya tempat pelarian. Kadang-kadang aku merasa butuh menjauh dari semua tekanan, dan tempat ini memberiku itu."
Alena terkejut mendengar pengakuan itu. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa Raffael adalah orang yang tidak pernah goyah oleh tekanan apa pun. Tetapi, seperti yang ia pelajari belakangan ini, Raffael ternyata memiliki sisi lain yang lebih manusiawi.
---
Hari itu, mereka menghabiskan waktu bersama di rumah itu. Raffael memasak makan siang untuk mereka berdua—sesuatu yang membuat Alena benar-benar kaget.
"Kau bisa memasak?" tanya Alena, tidak percaya melihat Raffael sibuk di dapur.
Raffael tersenyum kecil. "Aku harus bisa. Hidup di dunia mafia tidak selalu berarti bergantung pada orang lain."
Alena tersenyum mendengar jawaban itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa bisa berbicara dengan Raffael tanpa merasa canggung atau takut.
Saat makan siang, suasana di antara mereka terasa lebih santai. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, mulai dari makanan favorit hingga kenangan masa kecil. Alena mulai melihat sisi Raffael yang lebih hangat, yang jarang ia tunjukkan.
Namun, momen itu tidak bertahan lama. Ketika mereka sedang duduk di ruang tamu setelah makan siang, ponsel Raffael berdering.
"Ya?" Raffael menjawab dengan nada serius, wajahnya berubah tegang.
Alena hanya bisa duduk diam, menunggu Raffael selesai berbicara. Ketika panggilan itu berakhir, Raffael berdiri dan menghela napas panjang.
"Ada apa?" tanya Alena, khawatir melihat ekspresi Raffael.
"Masalah di kota," jawab Raffael singkat. "Aku harus kembali."
Alena mengangguk. Ia tahu bahwa kehidupan mereka tidak pernah benar-benar tenang.
"Kau tetap di sini," kata Raffael tiba-tiba.
"Apa? Kenapa?" tanya Alena, bingung.
"Tempat ini lebih aman untukmu," jawab Raffael. "Aku akan mengurus semuanya dan kembali secepat mungkin."
Alena ingin memprotes, tetapi tatapan tegas Raffael membuatnya urung melakukannya. Ia hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran.
---
Malam itu, Alena duduk sendirian di ruang tamu, menatap api yang berkobar di perapian. Suasana di rumah itu terasa terlalu sepi tanpa kehadiran Raffael. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membaca buku, tetapi ia tidak bisa berkonsentrasi.
Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan. Alena meraih ponselnya dan melihat nama Raffael di layar.
"Halo?" katanya, suaranya sedikit gemetar.
"Alena," suara Raffael terdengar, terdengar tegas tetapi penuh kekhawatiran. "Kunci semua pintu dan jangan biarkan siapa pun masuk."
"Ada apa?" tanya Alena, panik.
"Hanya lakukan apa yang aku katakan. Aku akan segera ke sana."
Sebelum Alena sempat bertanya lebih lanjut, panggilan itu terputus. Ia langsung berdiri, merasa ketakutan. Sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi.
Dengan cepat, Alena mengunci semua pintu dan jendela di rumah itu. Ia juga memastikan tirai ditutup, agar tidak ada yang bisa melihat ke dalam. Setelah itu, ia kembali ke ruang tamu, mencoba menenangkan dirinya.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Suara langkah kaki terdengar dari luar, membuat Alena langsung memegang erat teleponnya. Ia ingin menelepon Raffael, tetapi tangannya terlalu gemetar untuk menekan tombol.
Ketika pintu depan diketuk, Alena langsung merasa jantungnya berhenti berdetak.
"Siapa di sana?" tanyanya dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban.
"Pergi! Aku akan menelepon polisi!" teriak Alena, mencoba terdengar tegas.
Ketukan itu berhenti, tetapi Alena tahu bahwa bahaya belum berlalu. Ia berdiri di dekat perapian, mencoba mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk melindungi dirinya.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki kembali terdengar, kali ini semakin dekat dengan jendela. Alena merasa napasnya semakin sesak, tetapi sebelum ia sempat bereaksi, suara pintu depan tiba-tiba terbuka.
"Alena!"
Suara itu membuat Alena langsung menoleh. Itu Raffael.
Ia berlari ke arah Alena dan langsung memeluknya erat. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.
Alena mengangguk, meskipun tubuhnya masih gemetar. "Apa yang terjadi?"
"Orang-orang Marconi," jawab Raffael. "Mereka mencoba menyerang tempat ini."
Alena terkejut mendengar jawaban itu. Ia tidak menyangka bahwa bahaya bisa datang begitu dekat.
"Tapi kau aman sekarang," lanjut Raffael, menatap mata Alena dengan penuh keseriusan. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu."
Alena hanya bisa mengangguk, merasa lega karena Raffael ada di sana. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari ancaman yang lebih besar.
---