Pagi itu, Alena membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang redup menembus tirai kamar, memberikan kesan tenang yang kontras dengan kekacauan di pikirannya. Semalam, ia tertidur dengan banyak pertanyaan—tentang Raffael, tentang dunia yang kini ia masuki, dan tentang dirinya sendiri. Namun, satu hal yang pasti, hubungan mereka semakin dalam, meskipun terkadang terasa seperti berjalan di atas api.
Ketika ia berjalan menuju balkon untuk menghirup udara segar, langkah kaki berat terdengar mendekat. Tidak butuh waktu lama sebelum pintu terbuka, dan Raffael muncul dengan ekspresi serius seperti biasanya. "Kau sudah bangun," ucapnya singkat, suaranya rendah dan tenang, tetapi membawa sedikit nada otoritatif.
Alena menoleh, menatap pria itu dengan mata yang masih setengah terpejam. "Ada apa? Kau terlihat seperti baru saja menyelesaikan sesuatu yang sulit."
Raffael berjalan mendekat, duduk di kursi dekat balkon, dan menghela napas panjang. "Aku harus pergi hari ini," katanya sambil menyilangkan kaki. "Ada urusan keluarga yang perlu diselesaikan."
Alena mengernyit. "Apa aku perlu tahu apa itu?"
Raffael menatapnya, tatapannya lembut tetapi tetap penuh misteri. "Semakin sedikit yang kau tahu, semakin aman dirimu. Tapi aku butuh kau percaya padaku."
Alena hanya mengangguk. Ia tahu mendesak Raffael untuk berbicara lebih banyak tidak akan membawanya ke mana-mana. Pria itu memiliki kebiasaan menjaga jarak saat menyangkut urusan pekerjaannya, dan meskipun itu sering kali membuatnya frustrasi, ia mulai belajar menerimanya.
Raffael berdiri, mendekat ke arah Alena, dan menatapnya dari dekat. "Tunggu aku di rumah, oke? Jangan pergi ke mana-mana tanpa pengawalan."
Nada suaranya yang tegas membuat Alena menghela napas. "Aku bukan tahanan, Raffael."
Raffael tersenyum kecil, tetapi ada sedikit kepedihan di matanya. "Aku tahu. Tapi aku juga tahu dunia ini tidak seaman yang kau pikirkan."
---
Sepeninggal Raffael, Alena mencoba mengalihkan pikirannya dengan berjalan-jalan di taman belakang. Namun, ketenangannya terusik ketika ia melihat seorang pria asing berdiri di dekat pagar, berbicara dengan salah satu penjaga rumah. Pria itu tinggi, mengenakan jaket kulit hitam, dan memiliki tatapan yang tajam.
Rasa ingin tahu mendorong Alena untuk mendekat. "Siapa dia?" tanyanya pada salah satu pelayan yang kebetulan lewat.
Pelayan itu terlihat ragu untuk menjawab. "Itu... seseorang dari keluarga lain, Nona. Dia sepertinya ingin berbicara dengan Tuan Raffael."
Alena merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Dan Raffael tidak ada di rumah. Apa yang dia lakukan di sini?"
Pelayan itu hanya menggelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia tidak tahu lebih banyak. Namun, perasaan tidak nyaman itu tetap ada. Ia tahu bahwa setiap tamu tak diundang yang datang ke rumah Santoro tidak pernah membawa berita baik.
Saat Alena kembali ke dalam rumah, ia melihat Maria, kepala pelayan, sedang berdiri di dekat pintu masuk dengan ekspresi cemas. "Ada apa, Maria?" tanya Alena.
Maria menunduk sedikit, menunjukkan rasa hormat. "Nona Alena, saya hanya ingin mengingatkan Anda untuk tetap di dalam rumah. Keamanan sedang diperketat, dan Tuan Raffael telah memberikan instruksi yang ketat."
Alena mengangguk, meskipun hatinya semakin gelisah. Ada sesuatu yang terjadi, dan ia tidak tahu apa itu. Namun, ia mencoba mengabaikan perasaan itu dan menghabiskan sisa harinya dengan membaca di perpustakaan.
---
Sementara itu, di sisi lain kota, Raffael sedang duduk di sebuah ruangan gelap bersama beberapa pria yang terlihat tidak kalah berbahaya darinya. Di meja di depannya, ada peta besar yang menunjukkan wilayah kekuasaan keluarga-keluarga mafia. Suasana tegang, dan suara hanya berasal dari pria yang berdiri di ujung meja, memberikan laporan tentang aktivitas terbaru musuh mereka.
"Keluarga Moretti semakin berani," kata pria itu. "Mereka mencoba mengambil alih salah satu wilayah kita di pelabuhan."
Raffael mendengarkan dengan saksama, tangannya mengetuk meja dengan ritme yang hampir tidak terdengar. "Dan apa yang sudah kita lakukan?"
"Kami telah mengirim pesan, tetapi sepertinya mereka tidak peduli. Mereka ingin perang."
Raffael mengangkat alisnya. "Mereka ingin perang? Maka kita akan memberikannya. Tapi tidak dengan cara yang mereka harapkan."
Semua orang di ruangan itu mengangguk setuju. Raffael adalah pemimpin yang dihormati, tidak hanya karena keberanian dan kekuatannya, tetapi juga karena kecerdasannya dalam merencanakan strategi. Namun, di balik wajah tenangnya, ada rasa khawatir yang tidak bisa ia tunjukkan pada siapa pun. Ia tahu bahwa setiap keputusan yang ia buat tidak hanya memengaruhi dirinya, tetapi juga Alena.
---
Malam itu, Raffael kembali ke rumah dengan wajah yang terlihat lebih lelah dari biasanya. Ketika ia masuk ke kamar, ia menemukan Alena sudah tertidur di sofa, dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Ia tersenyum kecil, merasa ada sedikit kedamaian di tengah kekacauan yang ia hadapi.
Ia mendekat, mengambil buku dari pangkuan Alena, dan menyelimutinya dengan selimut. Namun, saat ia hendak pergi, Alena membuka matanya perlahan.
"Kau sudah pulang," katanya dengan suara serak karena baru bangun.
"Maaf membangunkanmu," jawab Raffael sambil duduk di sebelahnya.
Alena menggeleng. "Tidak apa-apa. Bagaimana harimu?"
Raffael terdiam sejenak sebelum menjawab. "Berat, seperti biasa. Tapi melihatmu di sini membuat semuanya terasa lebih mudah."
Alena tersenyum tipis. Ia tahu Raffael sedang mencoba melindunginya dari kenyataan yang sebenarnya, tetapi ia tidak akan memaksanya untuk berbicara. "Aku senang kau sudah pulang."
Raffael menatapnya dengan lembut, lalu menggenggam tangannya. "Aku berjanji, Alena. Aku akan melakukan apa pun untuk melindungimu, tidak peduli apa yang harus aku hadapi."
Kata-katanya membuat hati Alena bergetar. Di balik semua ketegangan dan kekerasan yang mengelilingi mereka, ada sesuatu yang tulus dan murni dalam hubungan mereka—sesuatu yang membuat Alena percaya bahwa ia bisa melewati semua ini bersama Raffael.
---
Namun, keheningan malam itu tidak berlangsung lama. Ketika mereka berdua hampir tertidur, suara ledakan keras terdengar dari arah luar rumah. Alena langsung duduk tegak, wajahnya pucat.
"Apa itu?" tanyanya dengan suara panik.
Raffael sudah berdiri, mengenakan jaketnya dengan cepat. "Tetap di sini," katanya dengan nada tegas.
"Tidak! Aku tidak bisa hanya duduk di sini!" Alena memegang lengannya dengan erat, mencoba mencegahnya pergi.
Raffael menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Alena, aku harus memastikan semuanya aman. Aku berjanji akan kembali secepat mungkin. Tapi kau harus tetap di sini, oke?"
Alena akhirnya melepaskan genggamannya, meskipun hatinya berteriak untuk tidak membiarkan Raffael pergi. Ia hanya bisa menonton saat pria itu berjalan keluar kamar, meninggalkannya sendirian dengan rasa takut yang semakin besar.
Ketika Raffael turun ke lantai bawah, ia menemukan beberapa anak buahnya sudah berjaga di depan pintu. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara dingin.
"Seseorang melempar bom molotov ke gerbang depan," jawab salah satu dari mereka. "Tapi kami sudah menangani situasinya."
Raffael mengangguk. "Perkuat keamanan. Aku tidak ingin ada yang masuk tanpa izin, mengerti?"
"Ya, Tuan."
Setelah memastikan semuanya terkendali, Raffael kembali ke kamar. Ia menemukan Alena masih duduk di tempat tidur, memeluk bantal dengan wajah yang penuh kecemasan.
"Sudah aman," katanya sambil mendekat. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan."
Namun, Alena tidak bisa menahan dirinya lagi. "Berapa lama kita harus hidup seperti ini, Raffael? Selalu waspada, selalu takut?"
Raffael terdiam, tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ia tahu bahwa hidupnya adalah hidup yang penuh bahaya, dan membawa Alena ke dalamnya adalah salah satu keputusan paling egois yang pernah ia buat. Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa hidup tanpanya.
"Alena," katanya akhirnya, suaranya lembut tetapi tegas. "Aku tidak bisa menjanjikan hidup yang sempurna. Tapi aku bisa menjanjikan bahwa aku akan melakukan segalanya untuk membuatmu merasa aman."
Kata-katanya tidak sepenuhnya menghapus kekhawatiran Alena, tetapi ia memilih untuk mempercayainya. Ia tahu bahwa cinta mereka tidak sempurna